Rabu, 27 Mei 2015

Guess! Last

okeh, ini dia bunga yang diceritakan di ceritanya. Cantikkan? Simak deh ceritanya di sini. Silahkan terkagum-kagum dengan bunganya sebelum ilfeel :D



--------------------------------------------------------


“Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya.  

Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?” Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum  puas, yakin dengan apa yang dia katakan. “Si-siapa?” Tanya orang itu. Aku bisa melihat mata coklat orang itu membulat kaget. Ayah tersenyum getir, memandangi orang yang berdiri gemetaran di dekat Orlando. “Ti-tidak aku bukan pelakunya. Di-dia bunuh diri,” ujar orang itu dengan suara yang gemetaran. Lalu dia jatuh terduduk secara tiba-tiba. Menangis. “Bu-bukan aku pembunuhnya,” ujarnya setelah beberapa lama hening mengisi ruangan. Orlando meringis, lalu seolah-olah tersadar oleh sesuatu dia mendengus. Aku tidak  yakin Orlando memikirkan apa yang aku pikirkan, namun pertanyaan itu sudah menggantung di pikiranku. ‘Bagaimana bisa orang itu menuduh korban bunuh diri?’
 

“Adrienne, tunggu di sini sebentar,” perintah Orlando sambil berjalan ke luar kamar. Kamar ini sepenuhnya masih berbau almond yang kuat. Aku melempar tatapan –mau –kemana ke arah Orlando. Dia hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujar Orlando tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Aku mendengus tidak suka. Huh, laki-laki benar-benar melakukan segala hal semau mereka. “Tidak, tolong jangan tangkap saya!” teriak tersangka itu. Sial. “Ikut kami ke kepolisian, tuan” perintah polisi yang memiliki wajah sama sekali tidak ramah itu. Lawan yang diajak bicara itu hanya menggeleng kuat. Tidak mau ikut. “Jangan tangkap dia dulu,” ujarkku memberi perintah. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh makhluk hidup yang ada di kamar. Ayah yang sedang menggosok-gosokkan telapak tangannya berhenti ketika mendengar ucapanku. Tersangka yang terus menggeleng itu pun menghentikan gelengannya. Aku menghela nafas, “Ada yang salah di sini. Kakakku tidak membeberkan deduksinya,” ucapku kemudian. Polisi-polisi itu kaget, lalu berubah seperti hendak menahan tawa. “Lalu, kalau kakakmu tidak membeberkan deduksinya, apa itu akan merubah siapa pelakunya?” Tanya salah seorang polisi yang bertampang paling menyebalkan di antara semua polisi yang ada. “Dengar,” ucapku jengah. “Aku yang paling tahu sikap saudara kembarku. Dia tidak mungkin memerintahku untuk menahan kalian agar tidak membawa tersangka itu kalau dia tidak memiliki alasan yang kuat,” ujarku sambil menunjuk tersangka yang sekarang sedang tersungkur di lantai. Hening mengisi ruangan, tidak ada yang melakukan gerakan yang berarti. “Turuti dia,” ucap polisi yang dari tadi memerintah.

 

“Bagus, tetap begitu,” ucap Orlando yang memasuki ruangan dengan terengah-engah. “Ada apa?” tanyaku penasaran. “Ugh, Ardienne” ucap Orlando memanggilkku sambil mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku menurut, dia membisikku. “Apa kamu melihat ayah membuang sarung tangan?” bisikknya. Aku menggeleng sebagai jawaban dan melihat mata Orlando meredup. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia terus menggosokkan tangannya,” ucapku. Cahaya di mata Orlando kembali lagi. “Masih ada harapan,” tuturnya sambil mengeluarkan kaca pembesar yang entah dia dapat darimana juga. Yang ada di pikiranku saaat ini adalah Orlando pasti sudah merasa benar-benar seperti Sherlock Holmes. Aku memperhatikan Orlando yang yang menunduk-nunduk dengan kaca pembesarnya. Dia terus tersenyum selama penyelidikannya. Aku berani bayar berapapun jika aku bisa tahu apa yang sedang dipikirkan saudara kembarku yang gila misteri itu.
 

Orlando mendongak, menatapku sambil memamerkan senyumnya. “Ada apa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang terus meningkat. “Kali ini aku benar-benar tahu siapa pelakunya,” ujar Orlando. Aku bisa merasakan semua pandangan di ruangan ini ditujukan kepada saudara kembarku itu. “Hei, kakak mau bilang kalau pelakunya bukan orang ini?” ujarku sambil menunjuk tersangka yang masih tersungkur. Orlando mengangguk dengan senyum. “Su-sudah ku bilang bahwa korban bunuh diri!” ujar orang yang tadi ku tunjuk. Orlando masih tersenyum. “Ironis,” ujar Orlando sambil membuang muka. Senyum jengahnya berubah menjadi meringis. Aku tersadar dengan apa yang dimaksudkan oleh Orlando. “Ja-jadi pe-lakunya….” Tanyaku tergagap. Orlando menangguk, “maaf, anda pelaku pembunuhannya tuan. Dengan begitu, anda bukan ayah kami lagi,” ujar Orlando sambil membungkukkan badan di depan ayah. Aku terduduk tidak percaya. Apa yang ku pikirkan ternyata benar. Ayah tergagap, sama sekali tidak menduga apa yang keluar dari mulut anak laki-lakinya. Ayah merubah ekspresi wajahnya, menyembunyikan keterkejutannya dalam senyum angkuh yang selama ini sering ayah tunjukkan pada kami. “Anak yang baik, bagaimana bisa kamu menuduh ayahmu sebagai pembunuh?” Tanya ayah dengan tatapan sinis yang ditujukan ke arah Orlando. “Maaf, anda bukan ayah kami lagi,” tutur Orlando tenang. Ayah menyerit, “tunjukkan buktinya kalau aku ini pembunuhnya!” ujar ayah dengan nada membentak.

 

“Aku baru saja akan melakukannya, tuan,” ucap Orlando.  Masih setenang Orlando yang biasanya. Saat ini aku merasa kasihan dengan diriku sendiri, aku tidak mengerti jalan pikiran Orlando yang terlalu banyak likunya itu. Aku meringis, menyadari bahwa aku tidak melakukan apapun untuk membantu Orlando. Orlando berdehem keras, tanda bahwa dia akan segera membeberkan deduksinya. “Sebelumnya, biarkan aku bertanya,” ujar Orlando sambil berjalan mendekati ayah. “Bagaimana tuan bisa menemukan mayat ini?” tanyanya kemudian. Ayah tergagap, terkejut mendapat pertanyaan yang tidak dia duga. “Ka-karena..” aku bisa melihat mata ayah bergerak cepat untuk mencari-cari jawaban. “Karena aku melihatnya!” ujar ayah mantap setelah menghabiskan beberapa menit waktunya. “Oh ya?” Tanya Orlando tidak yakin, lalu suara dengan nada tinggi memecah ketegangan “dia tidak melihatnya!” ujar teresangka yang aku tidak ketahui namanya. Ayah terlonjak kaget. Orlando senyum mengejek, “orang ini tinggal di sini, dan dia pasti tau apa yang terjadi di rumah ini,” ujarnya kemudian. “Sudahlah, cepat jelaskan bagaiman kamu bisa mendapat kesimpulan bahwa ayahmu yang melakukan pembunuhan?” Tanya polisi tidak sabar. “Ku ulangi, pembunuh ini..” ucap Orlando sambil menepuk bahu ayah. “Bukan ayah kami lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.


“Tapi baiklah, biar aku jelaskan. Adik kembarku yang manis ini menemukan sidik jari pada cangkir. Di cangkir yang pertama, dia menemukan sidik jari yang sama dengan sidik jadi yang ada pada kenop pintu. Yaitu sidik jari dia,” ujar Orlando sambil menunjuk tersangka yang sekarang sudah berdiri. “Dan yang satu lagi, kami menduga bahwa itu adalah sidik jari orang ini,” ujar Orlando sambil menunjuk ayah. “Lalu, bagaimana mungkin pelaku tahu bahwa korbannya sudah meminum racunnya atau belum apabila dia tidak melihatnya? Bagaimana mungkin pelaku bisa membukakan pintu tanpa meninggalkan sidik jari pada kenop pintu?” Aku tahu itu adalah pertanyaan retoris. Karena sebentar lagi Orlando akan menjelaskan jawaban dari pertanyaannya sendiri. “Dia melihatnya, bukan. Bukan melihat mayat, tapi melihat calon korbannya meminum racun yang dia berikan,” ujar Orlando tenang. “Lalu bagaimana? Tidak ada sidik jariku di sana!” ucap ayah marah. “Ya, memang tidak ada sidik jari anda, tuan. Karena jari-jari anda telah anda lapisi dengan lilin yang ada di meja itu,” ucap Orlando tegas. Dia menunjuk lilin yang tak beralas di atas meja. “Anda ingin bukti, tuan? Adrienne melihat anda menggosokkan tangan dari tadi. Apa tujuannya? Anda kedinginan? Huh, bagaimana mungkin anda kedinginan dengan suasana rumah yang pengap seperti ni? Jawabannya adalah anda tidak kedinginan, anda berusaha melepas lilin yang menempel di jari-jari anda. Kalau anda mau mengelak, silahkan tunjukkan tangan anda. Aku yakin, sisa lilin masih ada di sana.” Ucap Orlando menjelaskan. Ayah bergeming, itu membuktikan apa yang dikatakan oleh Orlando benar. Aku mendengus kesal, kali ini aku sepenuhnya percaya dengan apa yang Orlando katakan. “Lalu, apa racunnya benar-benar glokosida?” tanyaku penasaran. Orlando mengangguk mantap. “Buktikan kalau aku menyimpan racun itu!” ujar ayah masih dengan nada tinggi dalam suaranya. “Kalau kau menyimpannya, mungkin racunnya sudah layu,” jawab Orlando dengan nada yang sama tingginya. Aku mundur selangkah, memejamkan mata lalu mencoba meresapi aroma almond yang tidak henti-hentinya menggelitik hidungku. “Lalu aroma almond ini?” tanyaku ketika tahu ayah tidak bisa mengelak apapun yang dikatakan oleh Orlando. Laki-laki bermata hijau itu merangkulku, “dengar adikku sayang, almond yang terus-terus kau cium itu bukan berasal dari sianida. Itu berasal dari ini,” ucapnya sambil mengeluarkan pecahan kaca yang sudah berupa serpihan. Aroma almond langsung menyeruak masuk ke hidungku tanpa permisi.
 

“Parfum?” tanyaku sesaat setelah tersadar. Orlando mengangguk  puas, senang dengan otakku yang dengan cepat bisa menanggapinya. Aku  masih menyerit bingung. “Adrienne, bingung dengan racunnya? Baiklah, sekarang coba kita tanyakan kepada tuan ini,” ucap Orlando, mendekati tersangka yang ketakutannya tidak separah tadi. “Apakah korban meminta anda untuk memetik bunga ini?” tanya Orlando. Dia mengambil sesuatu dari tangannya dan memperlihatkan kepada lawan bicaranya. Aku tecekat ketika melihat ayah yang tersedak dengan air liurnya sendiri. Orang yang ditanyai Orlando itu mengangguk mengiyakan, lalu Orlando menatap ayah dengan senyum puas yang sangat mengejek. “The Valley Lilly, bunga yang hanya bisa tumbuh di lembah-lembah. Bunga ini dikenal sebagai suzuran di Jepang, karena melambangkan kematian. Warnanya putih suci yang menggambarkan ketenangan,” ucap Orlando menjelaskan bunga lili lembah itu. “Bunga in mengandung racun glokosida yang dapat merusak pencernaan dan memperlambat kerja jatung. Dalam kasus terburuk,” Orlando mengangkat bahu “Mati,” lanjutnya.
 

“Pertanyaannya, bagaimana cara tuan ini membuat korban mau memakan racun yang anda berikan?” tanya Orlando, sekali lagi dengan pertanyaan retorisnya. Aku meringis, mengetahui apa kalimat yang akan terlontar dari bibir Orlando. “Almond,” ucapku tegas. Orlando mengalihkan pandangannya kepadaku sambil melempar senyum. “Korban menderita penyakit jantung ringan, lalu anda memberitahunya bahwa almond yang dimakan dengan lili lembah akan menyembuhkan segala penyakit, termasuk penyakit jantung,” lanjutku sambil memamerkan data tentang korban yang berhasil ku dapatkan dari salah satu website rumah sakit. Yah, terkadang aku bisa diandalkan dalam hal yang bersangkutan dengan gadget dan informasi.  Orlando masih tersenyum  puas ketika aku menatapnya meminta persetujuan. Ayah masih bergeming, tidak ada sedikit pun pembelaan yang ia lontarkan. “Korban dengan bodohnya langsung saja percaya, tapi dia tidak menunjukkannya di depan orang ini,” ujar Orlando. Dia menunjuk ayah dengan gaya yang sangat tidak sopan. “Korban ke kamar dan meminta tuan tersangka sebelumnya ini memetikkan beberapa the valley lilly untuknya. Lalu dia memakannya bersamaan dengan almond, bisa kita lihat masih ada serpihan almond di lantai. Sebagai bukti kalau almond itu sudah tercampur dengan racun glokosida dan sudah di makan sebagian oleh korban, silahkan tim forensik memeriksanya,” Orlando menyelsaikan penjelasannya. Aku tersenyum lalu menggandeng lengannya. Lalu kami berdua menatap ayah, meminta penjelasan. Ayah terduduk di lantai, lututnya terkulai lemas seakan-akan tulangnya tidak lagi kuat untuk menopang tubuhnya. “Ironis sekali, aku meminta kalian membantuku agar aku tidak tertangkap, tapi justru kalian mengetahui kebenarannya,” ujar ayah sambil menunduk. “Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi ayah yang baik. Orang itu…. Dia….” Suara ayah tercekat, lalu isaknya terdengar. “Aku tidak membunuhnya karena jabatan di intel. Aku membunuhnya karena dia telah membunuh istriku! Dia membunuh ibu kalian!” teriak ayah tiba-tiba. Gandenganku pada Orlando terlepas dengan sendirinya. Ibu dibunuh? “Manusia bejat itu membunuh ibu kalian! Dia membunuh wanita yang tidak bersalah!” teriak ayah di sela-sela tangisnya. “Apakah salah, kalau wanita memilih suami yang menurutnya cocok dengan dirinya? Apakah salah apabila wanita memilih orang yang dia sayangi untuk menghabisakan sisa hidupnya?” tanya ayah lirih. “Hah?! Jawab aku! Apakah salah?” teriak ayah, suaranya melengking pilu. “Orang itu, dia membunuh istriku karena dia tidak suka istriku menikah denganku,” ujar ayah. Tangisnya kembali pecah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran bahwa korban adalah orang yang membunuh ibuku karena ibu menolak lamarannya memenuhi pikiranku. Menggerogoti hatiku dengan sayatan dalam.  Aku membuang muka, mengalihkan pandangan dari ayah. “Kejahatan tetaplah kejahatan. Kami mau pulang,” ucap Orlando, berusaha menutupi kekesalan yang dirasakannya. Aku bisa merasakan tatapan Orlando pada rambut perakku yang tidak biasa ini. Seisi ruangan diam mendengarkan suara Orlando yang tetap tegas meskipun lirih. “Terima kasih karena telah membongkar identitas pembunuh yang sebenarnya,” ucap ayah ketika kami melewatinya. Polisi segera bertindak dan membawa ayah yang pasrah.


 Tidak lama setelah kejadian itu, aku dan Orlando menjalani hari-hari kami seperti biasa. Berita tentang seorang intel yang membunuh rekannya sudah tidak lagi terdengar dimana pun. Begitu juga dengan berita bahwa ibu kami dibunuh. Orlando menasehatiku ketika aku menangis di hadapannya, “perempuan yang hebat adalah perempuan yang siap menerima kejutan apapun dalam hidupnya,” ujarnya sambil melemparkan senyum. Mata hijaunya setenang air hujan. “Kejahatan tetaplah kejahatan, apapun alasannya. Karena setiap kejahatan, pasti akan merugikan pihak lain yang mungkin tidak bersalah,” ucapnya ketika ia sadar bahwa aku juga memikirkan ayah yang sedang menjalani hukumannya.
 

----------------------------

Selesai juga ternyata :v bikin cerita detektif menguras otak dan tenaga juga. Gimana? sebelumnya ada yang menduga ayahnya pembunuhnya? 

1 komentar:

  1. Review untuk segi cerita ya
    Ceritanya udah bagus, kayak di Conan, menimbulkan rasa penasaran terhadap kasus. Tapi alur nya kayak ngebut ya, sama kayak ada yg hambar.
    Seperti di bagian awal Orlando meminta di deteksikan sidik jari di bunga Valley Lily, kenapa, sementara bunga yg lainnya tidak (penjelasan awal kurang)
    Terus Orlando yg menghilang juga tidak ada penjelasan apa yg dia lakukan
    Itu aja mungkin ya yg aku liat sejauh mata membaca. Ww
    Sisanya keren!
    Nah, keep writing

    BalasHapus