Waktu itu baru saja aku memasuki semester kedua di bangku
SMA ku. Aku adalah seorang santri di salah satu Pondok Pesantren terkenal di
Jawa Tengah. Panggil saja aku Elena Ketika itu dua minggu sekembalinya aku dari
Liburan panjang yang ku habiskan di kampung halaman ku. Sumbawa Barat. Hari itu
sama seperti biasanya. Hiruk pikuk terburu-buru mengantri kamar mandi terdengar
dari kamarku yang berada di lantai 2. Tidak ada yang berbeda sampai ku rasa ada
dua benjolan sebesar kelereng di tengkukku. Tapi benjolan itu tidak ku
pedulikan. ‘Besok juga hilang’ batinku lantas segera bersiap untuk berangkat
sekolah. Sambil menunggu teman sekamarku berangkat sekolah, aku memakai sepatu
ku. Tak lama kemudian yang ku tunggu pun datang, lalu kami sama-sama menuju kelas.
Kelasku berada tidak jauh dari kamar. Tak sampai 5 menit aku sudah duduk santai
di kelas. Aku memang tidak terbiasa sarapan di resto yang disediakan. Jadi aku
baru akan sarapan ketika kantin buka pada pukul 09.30 nanti.
Pelajaran ku lalui dengan biasa saja. Tak ada yang
benar-benar istimewa hari ini. Hanya saja badanku terasa sedikit sakit. Pada
jam istirahat aku merasa sangat pusing. Sehingga memutuskan untuk tidak ke
kantin yang pasti sangat ramai. 15 menit kemudian bel tanda memulai pelajaran
setelah istirahat berbunyi. Semua santri masuk kelas dengan tertib. Aku masih
meletakkan kepala ku diatas meja ketika ustadzah masuk untuk mengajar. Kali
itu, aku tidak memperdulikan apa saja yang dijelaskan ustadzah di depan, kepala
ku serasa berat.
“El.. El.. bangun. Balik kamar yuk” ajak Syifa teman
sebangku sekaligus sahabatku itu. “loh? Aku dari tadi tidur to?” Tanya ku
setengah sadar. “sst.. ngomong e loh.. ojo keras-keras. Ini hari bahasa tau”
tutur nya dengan sedikit logat jawa yang dipaksakan. Orang tua Syifa memang
orang Jawa, namun Syifa dibesarkan di Mataram. Tentu saja logat lomboknya lebih
jelas tedengar daripada logat jawanya. “lah, itu antum ngomongnya pakai bahasa
jawa malahan” ujarku. “El, kamu sakit tah? Ku antar sampai kamar mu ya?”
tawarnya, tak acuh dengan ucapanku. Kamarku dengan Syifa meman berbeda asramah.
Asramah di pondokku memang dibedakan berdasarkan prestasi santri. Santri yang
memiliki prestasi akademik dan ekstrakulikuller diposisikan di asramah Daarul
Arqom. Yang berprestasi dibidang akademik diposisikan di asramah Daarul Qolam.
Yang berprestasi dibidang ekstrakulikullerr diposisikan di aseamah Daarul Ulum.
Yang posisikan tidak berdasarkan prestasi hanya kelas 12 dan kelas 7. Kelas 12
diposisikan di Daarul Najah lantaran akan menghadapi ujian nasional. Kelas 7
diposisikan di mantiqotu ula, lantaran masih perlu pembinaan dari ustadazah
(mantiqo ula berada didekat pemukiman ustadzah). “Ayo El” ajak Syifa sambil
membopongku. Aku menurut. Melangkah pelan-pelan dengan dipegangi Syifa.
Sesampainya dikamar aku langsung tiduran tanpa memikirkan
I’lan yang sudah mencapai hitungan ke 4 atau arba’a. I’lan adalah pemberitahuan, I’lan kali ini
ada pemberitahuan untuk solat bejamaah di masjid. Persiapan solat hanya
diberikan waktu sampai hitungan ke 5 atau homsah. aku miminta temanku untuk
mematikan AC di kamar. Rasanya hari ini dingin sekali. Teman-temanku bingung
namun menurut. Mereka mematkan AC yang berada didekat ku dan mebiarkan yang
satu nya tetap menyala.
Aku terbangun ketika badanku diguncangkan. “Hayya ukthti.
Kum” ujar Uul, tetangga kamarku membangunkan. “limadza?” Tanya ku. “Latihan
ukhti. Antum kan narrator drama bahasa” ucapku sambil memangunka pemeran drama
bahasa yang lain. Dengan malas aku kembali memejamkan mata. Aku bisa medengar
Uul yang menggerutu lantaran aku tidur lagi. Namun teman kamarku memberitahu
bahwa aku memang sedang tidak enak badan. Dengan begitu Uul pun mengijanku
untuk tidak latihan hari itu. Hari itu ku lalui dengan malas.
Aku merasa lebih baik setelah mendengar itu. Langsung saja
aku kembali ke kamar dan beristirahat. aku bangun karena Uul membangunkanku
untuk latihan lagi. Aku memaksakan diri untuk bangun, teman-temanku menatap ku
aneh. “kenapa?” Tanya ku bingung dengan tatapan aneh mereka. “El, kok badanmu
merah-merah gitu?” Tanya Citra. Aku bingung lalu melihat tanganku, kemudian
kakiku lalu berlari kecil ke cermin untuk melihat wajahku. Badanku dipenuhi
bercak merah. Dari tangan, kaki, dan wajah. Semuanya dipenuhi bercak merah.
Lalu aku bergegas menuju UKP lagi untuk memeriksakan.
Dokter mengatakan bahwa aku sakit campak dan diperbolahkan
untuk pulang ke rumah. Dokterpun menelpokan papa untuk menjemputku. Hari itu
aku menginap di UKP lantaran campak adalah salah satu penyakit yang
menular. Esok nya papa menjemput dan
langsung membawaku pulang. Aku diberi waktu 2 minggu untuk istirahat di rumah.
Hari itu juga aku langsung menuju mataram. Malamnya papa membawaku ke dokter
THT untuk memeriksakan benjolan dibelakang leherku. Dokter menanyakan keluhan
ku, lalu diam sebentar. Kemdudian beliau memutuskan untuk memeriksakan aku ke labolatorium
karena rambutku yang rontok dalam jumlah banyak. Aku pun cek darah dan urin di
lab. Hasilkan baru bisa diambil seminggu kemudian.
Dirumah aku hanya makan, tidur, solat. Tak ada pekerjaan
lain yang bisa ku lalukan karena badanku masih saja tidak enak. Satu minggu
berlalu, aku dan papa kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil lab dan
mengkonsultasikannya dengan dokter. Beberapa saat setelah dokter membaca hasil
lab, aku dipersilahkan menunggu di luar. Hanya papa yang dibiarkan mendengar hasil
labku. Perasaan ku tak enak. Aku menunggu cemas. Berharap semoga saja tidak ada
hal buruk yang terjadi. Lama berselang papa keluar dari ruang dokter dengan
tersenyum. Aku lega melihatkan. Belakang aku sadari, ada yang aneh dengan
senyum papa kali ini.
Kita dulu pernah sepondok loh hehe
BalasHapus