Sabtu, 01 Agustus 2015

Guess, Orlando P.O.V

Bagiku hari ini cukup baik sebelum adik kembarku yang berambut perak itu memintaku untuk menuliskan saja yang telah kutemukan dan tidak dia ketahui pada kasus besar pertama yang kuselesaikan. Aku ingin sekali menarik rambut panjangnya itu. Baiklah, karena kami hanya tinggal berdua di rumah tanpa ayah dan ibu, aku harus menjadi kakak yang baik. Mungkin dengan begini Adrienne tidak akan memasakkan mie rebus lagi untuk makan malam. Tapi menulis itu lebih sulit daripada menyelesaikan kasus, aku tidak tahu harus memulai dari mana, dan setelah aku menanyakan ini kepada Adrienne dia justru menjawab “Tulis saja apa yang ada di pikiranmu, kak.” Lain kali aku akan benar-benar menarik rambutnya. Yah walaupun begitu aku tetap akan mencoba menulis dengan baik. (Sebenarnya aku tidak ingin dikalahkan bahkan oleh adik kembarku sendiri). Adrienne memintaku menuliskan fakta-fakta kasus beberapa hari yang lalu. Umh maksudku fakta-fakta yang belum dia ketahui. Padahal aku sudah bercerita berkali-kali padanya tapi tetap saja dia memaksaku untuk menulis sendiri. Jadilah seperti sekarang ini, aku Orlando yang notabenenya akan menjadi seorang detektif terkenal seperti Shinichi Kudo itu malah menulis cerita tentang apa yang telah kulakukan. Ironis.
Aku akan memulai cerita yang sebenarnya dari sekarang. Dimulai dari foto bunga lily lembah itu. Adrienne pernah menanyakan, kenapa aku tahu ada sidik jari di bunga itu? Dan kenapa aku hanya menyuruhnya untuk memeriksa bunga yang itu saja? Uh, mungkin itu bisa menjadi salah satu yang bisa kuceritakan. Karena jujur saja aku tidak tahu bagian mana yang penting untuk diceritakan dan bagian mana yang tidak perlu. Nah, sekarang aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ah biarlah, aku akan tetap mencoba. Sekarang aku akan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu. Ketika memasuki halaman yang mirip rumah kaca itu, aku memperhatikan tiap-tiap tanaman yang ada. Di tempat itu lebih banyak terdapat tanaman obat yang beracun daripada tanaman obat yang tidak mengandung efek samping. Aroma bunga angels trumpet lah yang menyambut kedatangan kami lebih cepat dari yang lainnya. Bunga itu yang menyadarkanku bahwa mayat yang dilihat ayah pastilah keracunan. Bagaimana mungkin aku bisa tahu kalau mayatnya keracunan? Karena kemungkinan besar dia tidak akan dibunuh di rumahnya sendiri dengan alat membunuh yang sulit dihilangkan. Kalau racun, alat untuk membunuhnya akan hilang ketika korban menelannya. Lalu setelah sadar akan racun sebagai alat membunuh, aku teringat dengan tanaman beracun yang paling mematikan di dunia.  Lily lembah. Tubuhku bergerak sendiri ketika aku menemukan rumpun bunga putih kecil itu. lalu mataku langsung saja menemukan tangkai bunga yang tidak serimbun bunga yang lain. Dalam pikiranku pastilah bunga itu telah dipetik. Karena itu aku meminta Adrienne dengan PCnya yang entah bagaimana cara dia membuatnya itu untuk memeriksa sidik jari pada bunga itu. Kerena bunga yang dipetik pastilah akan meninggalkan sidik jari orang yang memetiknya. Aku tidak menemukan bekas bunga yang telah dipetik lagi selain di situ. Dengan penjelasan anehku di atas, aku sudah menjawab pertanyaan kedua sekaligus yang pertama. Kemudian aku memutuskan untuk masuk ke rumah korban dan memeriksanya.
Pengap. Huh rumah itu lebih pengap daripada kamar adik kembarku yang dipenuhi komik. Ups! semoga dia tidak membaca apa yang kutuliskan ini. Bisa-bisa dia akan menyuapku dengan lily lembah itu. Oke, kembali ke kasus. Aku memperhatikan seisi rumah tapi yang menarik perhatianku adalah dua cangkir kopi yang diletakkan di bawah meja.
Kenapa di bawah meja? Itulah yang menarik perhatianku. Aku mengambil kedua cangkir kopi itu dan memperhatikannya, tidak ada yang aneh. Meskipun tidak ada yang aneh, cangkir kopi itu bisa saja menandakan bahwa ada seseorang yang bertamu sebelum korban meninggal. Karena itu aku meminta Adrienne untuk mengambil sample sidik jari pada cangkir kopi itu juga. Dia menemukan dua sidik jari berbeda pada dua cangkir itu. Sidik jari pada cangkir pertama mirip dengan sidik jari orang yang memetik bunga lily di halaman. Sedangkan sidik jari pada cangkir kedua sama sekali tidak mirip dengan sidik jari pada cangkir pertama.
Aku tidak ingin menceritakan wajah polisi yang kata adikku congkak (polisi yang tidak mau memberitahu dimana posisi mayat korban), karena aku jadi malas ketika mengingatnya. Ah sungguh, aku benar-benar malas sekarang. Bolehkah aku berhenti bercerita? Ugh, mungkin jawabannya boleh. Dengan syarat aku harus meletakkan satu vas bunga yang terdiri dari angel’s trumpet di kamarku. Terima kasih tapi aku masih ingin hidup. Aku selalu menyimpang dari alur cerita. Sampai mana tadi? Ah, sidik jari pada cangkir kopi. Setelah tahu di mana letak mayatnya aku bergegas untuk melihatnya, tapi aku berhenti untuk memperhatikan pintu ruangannya. Tidak ada kerusakan apa-apa, berarti pembunuhnya membuka pintu ruangan ini dengan memutar kenopnya. Dengan begitu akan ada sidik jari pembunuhnya di kenop pintu. Aku langsung saja mengambil PC milik Adrienne dan mengambil sample sidik jarinya. Satu hal yang tidak diketahui Adrienne, di kenop itu terdapat dua sidik jari yang hampir mirip. Hampir mirip sampai-sampai kalau tidak diperhatikan maka kita akan mengira bahwa sidik jari itu berasal dari orang yang sama. Setelah kuteliti lagi, sidik jari yang pertama persis dengan sidik jari orang yang memetik bunga lily lembah itu. Lalu sidik jari yang sedikit tersamar itu persis dengan sidik jari salah satu dari sidik jari orang yang memegang cangkir kopi. Jadi biar kuasumsikan saja bahwa sidik jari pada cangkir yang satunya adalah milik ayah.
Aku memutar kenop ruangan tempat mayat itu berada. Sedetik setelah aku membukan pintu, aroma almond langsung menyapaku. Aku bisa mendengar Adrienne membisikkan nama racun terkenal dengan aroma almondnya, siannida. Namun, aku tidak boleh benar-benar langsung mengambil kesimpulan bahwa racunnya adalah siannida. Aku melihat mayat yang tergeletak menyeramkan di dekat kasur. Ada beberapa serpihan kacang almond di lantai, tapi yang kutahu kacang almond tidak mengeluarkan bau –meskipun sudah dihancurkan- jadi kemungkinan besar racunnya adalah siannida, bukan bunga lily yang menyeramkan itu (Hipotesaku). Aku mendekati mayat itu, lalu memperhatikannya. Aku tersentak saat melihat serpihan kaca kecil. Aku memungut serpihan itu lalu mendekatkan pada hidungku. Bagus, saat itu aku langsung tahu bahwa mayat di hadapanku itu tidak diracuni dengan siannida. Kenapa? Karena asal aroma almond itu bukan berasal dari racun siannida, tapi dari parfum yang dipecahkan. “Dia keracunan,” ucapku yakin. “Aku tau,” tukas Adrienne jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjut adik kembarku sambil bergidik melihat mayat di hadapannya. “Bukan, bukan sianida,” ucapku sambil memamerkan senyum. “Glokosida,” lanjutku. Adrienne terdiam, seperti memikirkan sesuatu tentang nama racun yang baru saja ku sebut.
Lalu dengan penelitian yang belum benar-benar tuntas aku menuduh X (tersangka selain ayah. Biarkan aku menyebutnya begitu karena sampai sekarang aku tidak tahu nama orang itu) sebagai pelaku. Namun, deduksiku itu jadi goyah saat Mr. X bilang bahwa korban bunuh diri.
“Adrienne, tunggu di sini sebentar,” perintahku sambil berjalan ke luar kamar. Adrienne melempar tatapan –mau –kemana?- ke arahku,aku hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujarku  masih tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Adikku yang berambut perak mendengus tidak suka.
Aku berlari kecil keluar rumah, memeriksa jejak pada halaman. Kemudian memeriksa bagian sol pada sepatu yang ada di teras rumah itu. Klik! Salah satu jejak yang sudah pudar adalah milik ayah, jadi ayah benar-benar bertamu ke rumah ini saat pembunuhan itu terjadi. Nah pantas saja ayah dituduh sebagai tersangka. Lalu aku berlari menuju mobil dan memeriksa mobil itu, -aku sudah mengambil kuncinya secara diam-diam- tidak ada sarung tangan. Bagaimana bisa ayah melihat mayat itu tanpa membuka kenop pintunya? Apa ayah mengikuti Mr.X? Tapi tidak mungkin tamu memeriksa kamar pemilik rumah saat ada orang rumah lainnya yang  memasuki kamar. Lalu bagaimana?
Aku kembali ke ruangan tempat mayat itu tergeletak, kemudian bertanya dengan sedikit berbisik kepada Adrienne, apakah dia melihat ayah membuang sarung tangan. Aku kecewa saat mendapati Adrienne menggeleng. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia terus menggosokkan tangannya,” ucap Adrienne kemudian. Aku sontak menyadari, lalu tersenyum senang. “Masih ada harapan,” ucapku sambil mengeluarkan kaca pembesar. Aku menunduk-nunduk dengan kaca pembesarku. Memperhatikan serpihan lilin tak berbentuk yang berserakan di lantai. Lalu memperhatikan tangan ayah yang masih digosokkan sesekali. Arah lilin itu dari ayah! Aku mendongak ke arah Adrienne dengan senyum. Mengisyaratkan bahwa kali ini aku benar.
Lalu apa yang terjadi setalah itu semuanya persis seperti apa yang Adrienne ceritakan. Astaga! Aku tidak tahu kalau dia berbakat menjadi Watsonku, hahaha *upss* baiklah aku sudah benar-benar lelah bercerita. Nah kalau kalian memiliki kasus yang seru,coba saja datangi aku. Mungkin aku bisa membantu untuk menyelesaikan kasusnya *huk huk* aku bercanda. Sepertinya tulisanku ini benar-benar harus kusudahi. Semoga hal ini cukup untuk memuaskan Adrienne yang menyebalkan itu, dan dia tidak akan memaksaku untuk bercerita lagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar