Bagiku hari ini cukup
baik sebelum adik kembarku yang berambut perak itu memintaku untuk menuliskan
saja yang telah kutemukan dan tidak dia ketahui pada kasus besar pertama yang
kuselesaikan. Aku ingin sekali menarik rambut panjangnya itu. Baiklah, karena
kami hanya tinggal berdua di rumah tanpa ayah dan ibu, aku harus menjadi kakak
yang baik. Mungkin dengan begini Adrienne tidak akan memasakkan mie rebus lagi
untuk makan malam. Tapi menulis itu lebih sulit daripada menyelesaikan kasus,
aku tidak tahu harus memulai dari mana, dan setelah aku menanyakan ini kepada
Adrienne dia justru menjawab “Tulis saja apa yang ada di pikiranmu, kak.” Lain
kali aku akan benar-benar menarik rambutnya. Yah walaupun begitu aku tetap akan
mencoba menulis dengan baik. (Sebenarnya aku tidak ingin dikalahkan bahkan oleh
adik kembarku sendiri). Adrienne memintaku menuliskan fakta-fakta kasus
beberapa hari yang lalu. Umh maksudku fakta-fakta yang belum dia ketahui.
Padahal aku sudah bercerita berkali-kali padanya tapi tetap saja dia memaksaku
untuk menulis sendiri. Jadilah seperti sekarang ini, aku Orlando yang notabenenya
akan menjadi seorang detektif terkenal seperti Shinichi Kudo itu malah menulis
cerita tentang apa yang telah kulakukan. Ironis.
Aku akan memulai cerita
yang sebenarnya dari sekarang. Dimulai dari foto bunga lily lembah itu.
Adrienne pernah menanyakan, kenapa aku
tahu ada sidik jari di bunga itu? Dan kenapa aku hanya menyuruhnya untuk
memeriksa bunga yang itu saja? Uh, mungkin itu bisa menjadi salah satu yang
bisa kuceritakan. Karena jujur saja aku tidak tahu bagian mana yang penting untuk
diceritakan dan bagian mana yang tidak perlu. Nah, sekarang aku tidak tahu
bagaimana menjelaskannya. Ah biarlah, aku akan tetap mencoba. Sekarang aku akan
menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu. Ketika memasuki halaman yang mirip
rumah kaca itu, aku memperhatikan tiap-tiap tanaman yang ada. Di tempat itu
lebih banyak terdapat tanaman obat yang beracun daripada tanaman obat yang
tidak mengandung efek samping. Aroma bunga angels
trumpet lah yang menyambut kedatangan kami lebih cepat dari yang lainnya.
Bunga itu yang menyadarkanku bahwa mayat yang dilihat ayah pastilah keracunan.
Bagaimana mungkin aku bisa tahu kalau mayatnya keracunan? Karena kemungkinan
besar dia tidak akan dibunuh di rumahnya sendiri dengan alat membunuh yang
sulit dihilangkan. Kalau racun, alat untuk membunuhnya akan hilang ketika
korban menelannya. Lalu setelah sadar akan racun sebagai alat membunuh, aku
teringat dengan tanaman beracun yang paling mematikan di dunia. Lily
lembah. Tubuhku bergerak sendiri ketika aku menemukan rumpun bunga putih kecil
itu. lalu mataku langsung saja menemukan tangkai bunga yang tidak serimbun
bunga yang lain. Dalam pikiranku pastilah bunga itu telah dipetik. Karena itu
aku meminta Adrienne dengan PCnya yang entah bagaimana cara dia membuatnya itu
untuk memeriksa sidik jari pada bunga itu. Kerena bunga yang dipetik pastilah
akan meninggalkan sidik jari orang yang memetiknya. Aku tidak menemukan bekas
bunga yang telah dipetik lagi selain di situ. Dengan penjelasan anehku di atas,
aku sudah menjawab pertanyaan kedua sekaligus yang pertama. Kemudian aku
memutuskan untuk masuk ke rumah korban dan memeriksanya.
Pengap. Huh rumah itu
lebih pengap daripada kamar adik kembarku yang dipenuhi komik. Ups! semoga dia
tidak membaca apa yang kutuliskan ini. Bisa-bisa dia akan menyuapku dengan lily
lembah itu. Oke, kembali ke kasus. Aku memperhatikan seisi rumah tapi yang
menarik perhatianku adalah dua cangkir kopi yang diletakkan di bawah meja.
Kenapa di bawah meja?
Itulah yang menarik perhatianku. Aku mengambil kedua cangkir kopi itu dan
memperhatikannya, tidak ada yang aneh. Meskipun tidak ada yang aneh, cangkir
kopi itu bisa saja menandakan bahwa ada seseorang yang bertamu sebelum korban
meninggal. Karena itu aku meminta Adrienne untuk mengambil sample sidik jari pada cangkir kopi itu juga. Dia menemukan dua
sidik jari berbeda pada dua cangkir itu. Sidik jari pada cangkir pertama mirip
dengan sidik jari orang yang memetik bunga lily di halaman. Sedangkan sidik
jari pada cangkir kedua sama sekali tidak mirip dengan sidik jari pada cangkir
pertama.
Aku tidak ingin
menceritakan wajah polisi yang kata adikku congkak (polisi yang tidak mau
memberitahu dimana posisi mayat korban), karena aku jadi malas ketika
mengingatnya. Ah sungguh, aku benar-benar malas sekarang. Bolehkah aku berhenti
bercerita? Ugh, mungkin jawabannya boleh. Dengan syarat aku harus meletakkan
satu vas bunga yang terdiri dari angel’s trumpet di kamarku. Terima kasih tapi
aku masih ingin hidup. Aku selalu menyimpang dari alur cerita. Sampai mana
tadi? Ah, sidik jari pada cangkir kopi. Setelah tahu di mana letak mayatnya aku
bergegas untuk melihatnya, tapi aku berhenti untuk memperhatikan pintu
ruangannya. Tidak ada kerusakan apa-apa, berarti pembunuhnya membuka pintu
ruangan ini dengan memutar kenopnya. Dengan begitu akan ada sidik jari pembunuhnya
di kenop pintu. Aku langsung saja mengambil PC milik Adrienne dan mengambil
sample sidik jarinya. Satu hal yang tidak diketahui Adrienne, di kenop itu
terdapat dua sidik jari yang hampir mirip. Hampir mirip sampai-sampai kalau
tidak diperhatikan maka kita akan mengira bahwa sidik jari itu berasal dari
orang yang sama. Setelah kuteliti lagi, sidik jari yang pertama persis dengan
sidik jari orang yang memetik bunga lily lembah itu. Lalu sidik jari yang sedikit
tersamar itu persis dengan sidik jari salah satu dari sidik jari orang yang
memegang cangkir kopi. Jadi biar kuasumsikan saja bahwa sidik jari pada cangkir
yang satunya adalah milik ayah.
Aku memutar kenop
ruangan tempat mayat itu berada. Sedetik setelah aku membukan pintu, aroma
almond langsung menyapaku. Aku bisa mendengar Adrienne membisikkan nama racun
terkenal dengan aroma almondnya, siannida. Namun, aku tidak boleh benar-benar
langsung mengambil kesimpulan bahwa racunnya adalah siannida. Aku melihat mayat
yang tergeletak menyeramkan di dekat kasur. Ada beberapa serpihan kacang almond
di lantai, tapi yang kutahu kacang almond tidak mengeluarkan bau –meskipun
sudah dihancurkan- jadi kemungkinan besar racunnya adalah siannida, bukan bunga
lily yang menyeramkan itu (Hipotesaku). Aku mendekati mayat itu, lalu
memperhatikannya. Aku tersentak saat melihat serpihan kaca kecil. Aku memungut
serpihan itu lalu mendekatkan pada hidungku. Bagus, saat itu aku langsung tahu
bahwa mayat di hadapanku itu tidak diracuni dengan siannida. Kenapa? Karena
asal aroma almond itu bukan berasal dari racun siannida, tapi dari parfum
yang dipecahkan. “Dia keracunan,” ucapku yakin. “Aku tau,” tukas Adrienne
jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond
yang berasal dari mayat ini,” lanjut adik kembarku sambil bergidik melihat
mayat di hadapannya. “Bukan, bukan sianida,” ucapku sambil memamerkan senyum.
“Glokosida,” lanjutku. Adrienne terdiam, seperti memikirkan sesuatu tentang
nama racun yang baru saja ku sebut.
Lalu dengan penelitian
yang belum benar-benar tuntas aku menuduh X (tersangka selain ayah. Biarkan aku
menyebutnya begitu karena sampai sekarang aku tidak tahu nama orang itu)
sebagai pelaku. Namun, deduksiku itu jadi goyah saat Mr. X bilang bahwa korban
bunuh diri.
“Adrienne, tunggu di
sini sebentar,” perintahku sambil berjalan ke luar kamar. Adrienne melempar
tatapan –mau –kemana?- ke arahku,aku hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan
biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujarku
masih tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Adikku yang berambut perak
mendengus tidak suka.
Aku berlari kecil
keluar rumah, memeriksa jejak pada halaman. Kemudian memeriksa bagian sol pada
sepatu yang ada di teras rumah itu. Klik! Salah satu jejak yang sudah pudar
adalah milik ayah, jadi ayah benar-benar bertamu ke rumah ini saat pembunuhan
itu terjadi. Nah pantas saja ayah dituduh sebagai tersangka. Lalu aku berlari menuju
mobil dan memeriksa mobil itu, -aku sudah mengambil kuncinya secara diam-diam-
tidak ada sarung tangan. Bagaimana bisa ayah melihat mayat itu tanpa membuka
kenop pintunya? Apa ayah mengikuti Mr.X? Tapi tidak mungkin tamu memeriksa
kamar pemilik rumah saat ada orang rumah lainnya yang memasuki kamar.
Lalu bagaimana?
Aku kembali ke ruangan
tempat mayat itu tergeletak, kemudian bertanya dengan sedikit berbisik kepada
Adrienne, apakah dia melihat ayah membuang sarung tangan. Aku kecewa saat
mendapati Adrienne menggeleng. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia
terus menggosokkan tangannya,” ucap Adrienne kemudian. Aku sontak menyadari,
lalu tersenyum senang. “Masih ada harapan,” ucapku sambil mengeluarkan kaca
pembesar. Aku menunduk-nunduk dengan kaca pembesarku. Memperhatikan serpihan
lilin tak berbentuk yang berserakan di lantai. Lalu memperhatikan tangan ayah
yang masih digosokkan sesekali. Arah lilin itu dari ayah! Aku mendongak ke arah
Adrienne dengan senyum. Mengisyaratkan bahwa kali ini aku benar.
Lalu apa yang terjadi
setalah itu semuanya persis seperti apa yang Adrienne ceritakan. Astaga! Aku
tidak tahu kalau dia berbakat menjadi Watsonku, hahaha *upss* baiklah aku sudah
benar-benar lelah bercerita. Nah kalau kalian memiliki kasus yang seru,coba
saja datangi aku. Mungkin aku bisa membantu untuk menyelesaikan kasusnya *huk
huk* aku bercanda. Sepertinya tulisanku ini benar-benar harus kusudahi. Semoga
hal ini cukup untuk memuaskan Adrienne yang menyebalkan itu, dan dia tidak akan
memaksaku untuk bercerita lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar