Kamis, 29 November 2018

Nawang Wulan


(Cerita ini diadopsi dari cerita Jaka Tarub versi webtoon 7 Wonders karya Metalu)

Rasa kasihnya berasal dari pengasingannya
Keanggunannya berasal dari luka lamanya
Kekuatannya berasal dari ketidakberdayaannya

Ia mengambil,
Tapi tak sepenuhnya memiliki
Ia rapuh,
Tapi tak sepenuhnya hancur
Ia mengasihi,
Tapi hanya untuk jiwa yang bersih



Kisah yang akan kuceritakan kali ini adalah sebuah kisah yang sudah banyak didengar. Bahkan oleh seluruh khalayak masyarakat. Jaka Tarub, adalah nama yang diberikan untukku. Aku lahir dari rahim seorang janda tua yang ingin segera memiliki cucu. Sangat disayangkan tempat lahirku terletak begitu jauh di dalam hutan. Begitu jauh dari pemukiman. Hal itu tentu menyulitkanku untuk memenuhi keinginan ibuku.

Sampai saat itu tiba.

Sampai pada saat aku mencuri selendang seorang bidadari. Nawang Wulan namanya.

Kalian pasti sudah pernah mendengar cerita itu bukan? Cerita dengan akhir menyedihkan mengenai Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Cerita yang sebenarnya tidak pantas untuk diceritakan.

Sebagai Jaka Tarub, sebenarnya aku tak ingin ceritaku berakhir menyedihkan. Tidak dengan segala jenis pengorbanan yang telah dilakukan Nawang Wulan untukku. Dan anakku. Maaf, maksudku anak kami.

Nawang Wulan digambarkan sebagai sosok bidadari jahat, yang dengan teganya meninggalkan aku suaminya, dan anak semata wayangnya. Sungguh, percayalah padaku. Nawang Wulan bukanlah gadis yang seperti itu. Meski tak sekuat keenam saudarinya, Nawang Wulanlah yang memiliki tekad yang paling kuat. Ia akan mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki agar orang yang ia kasihi terlindungi.

Bahkan jiwanya.

Kisah ini masih bercerita tentang bidadari cinta, Nawang Wulan. Setelah mengetahui kebohonganku yang tentu saja tak bisa kubantah, Nawang Wulan benar-benar kembali ke Khayangan. Aku tau, ia rindu. Pada saudarinya. Pada orang tuanya.

Aku pun tau, bumi dan segala isinya ini takkan bisa menyamai kedudukan Khayangan di hati Nawang Wulan. Apalagi aku, bagian kecil dari bumi dan isinya ini.

Namun, Nawang Wulan tetap kembali. Ia datang bersamaan dengan datangnya cahaya bulan paling terang. Merangkulku, merangkul buah hatinya. Tersenyum padaku. Pada anaknya.

O, Cinta.

Nawang Wulanlah arti cinta itu yang sesungguhnya.

Sayangnya, Nirwana berkata lain.

Khayangan bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah sepertiku sebagai suami seorang bidadari cinta. Sebagai suami seorang Nawang Wulan.

Malam itu, malam pada saat seharusnya bulan bersinar paling terang, Nawang Wulan datang seperti biasanya. Hanya saja, malam itu bulan bersembunyi di balik awan. Hanya saja, Nawang Wulan tidak tersenyum seperti yang biasa ia lakukan.

Hanya saja, ada ketakutan di wajahnya.

Sudah kukatakan, Khayangan bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah sepertiku sebagai suami seorang bidadari.

Tidak, Nawang Wulan tidak diusir dari tempatnya. Atau setidaknya, untuk saat ini, belum. Siapa yang tega mengusir seorang bidadari ungu yang indah itu? Lagipula titik mula segala kesalahannya itu berpusat padaku.

“Larilah!”

Itu kata pertama yang diucapnya setelah melihatku.

Aku diam saja.

Nawang Asih, anak kami, bersembunyi di belakang kakiku. Ia ketakutan. Ibunya tidak pernah datang menghampirinya tanpa senyuman.

“Larilah!” Nawang Wulan berteriak.

Aku tak mengerti. Ia tak menjelaskan apapun padaku. “Ada apa?” tanyaku. Berusaha memahami situasi.

“Kumohon, lari dan sembunyilah!” tutur Nawang Wulan. Ia jengah, aku belum juga beranjak dari tempatku berdiri.

Demi cinta Sang Maha Cinta

Aku bertaruh nyawa.

Belum sampai pikirku menggapai kesimpulan, awan-awan yang menutupi bulan itu datang mendekat.  Mengizinkan bulan purnama memamerkan cahayanya sedikit demi sedikit. Mengizinkan semburat keindahan menghujani awal malam yang panjang.

“Aku menyuruhmu lari dan bersembunyi,” Nawang Wulan menangis. “Tapi kau bergeming, menanti mati,” lanjutnya.

Demi cinta,

Aku tak ingin melihat air matanya. Tidak lagi.
Ia sudah terlalu banyak menangis saat tau bahwa akulah pencuri selendangnya.

Sial. Awan-awan itu tak jauh lagi. 

“Nirwana sedang murka, Jaka,” Nawang Wulan bersedekap. Ia menahan sisa tangisnya.

Aku menarik Nawang Asih memasuki rumah, mengambil bujur dan panahku. Memerintahkan Nawang Asih untuk tetap menunggu di dalam. Untuk tidak melihat ayahnya menerima penghakiman.
Saat aku  melangkahkan kakiku keluar rumah, Nawang Wulan memunggungiku. Dihadapannya, pasukan Khayangan dengan anggunnya menungguku menyiapkan busur dan panahku.

Apalah arti busur dan panah,
Jika setengah dari mereka memiliki tri netra?

Nawang Wulan pernah bercerita, para tetinggi Khayangan memiliki tri netra. Mata ketiga. Mata yang bisa melihat kebenaran. Sekecil apapun itu. Lalu merubahnya menjadi kekuatan. Sebesar kekuatan yang bahkan tak akan pernah bisa aku bayangkan.

Tapi aku adalah Jaka Tarub.

Aku adalah Jaka Tarub, yang bahkan dengan pongahnya melawan tulisan takdir. Busur dan panahku telah siap. Hanya tinggal kulepaskan. Maka hancurlah.

Hancurlah aku,

Hancurlah gubuk kecilku,

Hancurlah cinta di hatiku.

Hanya saja, aku berharap Nawang Wulan tidak hancur hatinya. Tidak hancur jiwanya.
Busur dan panahku hanya lambang perlawanan. Lambang pemberontakan.
Takkan pernah bisa sampai untuk dilontarkan pada pasukan Khayangan.

Demi cinta,

Aku siap menerima penghakimanku. Aku siap kematian menjemputku. Aku siap.

Namun ketika panahku lepas dari tarikannya, ketika keberanianku menguap lantas sirna, ketika aku berada di ujung ajalku. Nawang Wulan, cintaku, berbisik.

“Aku memberimu jiwaku. Maka bantulah aku dengan kekuatanmu,”

Maka hilanglah cahaya putih pada sayapnya.

Maka hilanglah bulu-bulu indah pada pundaknya. Maka semakin perkatlah malam purnama. Sayap Nawang Wulan berganti hitam kelam. Terlihat perkasa dan cukup tangguh untuk memelukku. Memeluk gubuk kecilku. Namun begitu rapuh dalam durjana, begitu menyedihkan. Menyeramkan.

“Aku bukan lagi bagian dari Khayangan,” tuturnya. Nawang Wulan melantangkan suaranya. “Aku adalah bidadari cinta dengan kekuatan dunia gelap. Sayap putihku berubah hitam, belas kasihku berubah dendam. Aku tak ingin perlawanan, sebab aku berada di pihak lawan.”

Maka hancurlah aku.

Nawang Wulan menjual jiwanya pada gelap. Pada hitam.

Maka hancurlah hatinya.

Ia mengusir dirinya dari lingkarannya. Ia membiarkan dirinya diasingkan dari sarangnya.
Di penghujung malam purnama itu, Nirwana menangis. Pasukan Khayangan yang belum sempat berbuat apapun untuk menghakimiku berbaris kembali dalam dingin malam. Pulang. Menyimpan sesal.

Lalu, betapa sakitnya hatiku.  

Nawang Wulan menangis lagi. Nawang Asih yang sedaritadi mengintip, kini berlari memeluk ibunya. Lalu menangis bersama.

Malam-malam purnama berikutnya Nawang Wulan tak pernah datang. Tak pernah menunjukkan senyumannya lagi padaku. Atau pada nawang Asih. Bidadari cinta itu tidak lagi terikat pada dunia manusia, atau bahkan pada Khayangan. Tidak juga terikat dengan dunia dimana aku bisa kembali menemukannya. Ia lenyap begitu saja.

Nawang Asih tumbuh dengan baik. Hanya boleh hidup sebagai manusia di dunia manusia. Setidaknya itulah yang aku pikirkan.

Sampai pada suatu malam, ketika ia menarikku ke tepi pantai, di bagian selatan hutan kami. Bercerita bahwa ia bisa memanggil ibunya hanya dengan menyentuh ombak pantai. Tentu saja ia berbohong, pikirku.

Nawang Asih menunduk dan menyentuh ombak. Ingin membuktikan perkataannya padaku.

Lalu di sanalah ia berdiri.

Dengan cahaya bulan yang terpantul pada sayap hitamnya.

“Nawang Wulan,” bisikku. Lebih pada diriku sendiri.

Demi cinta Sang Maha cinta,

Gadis itu tersenyum.

Kasihku tersenyum.

“Lama tidak bertemu, Jaka,” tuturnya.

Aku bergeming.



“Nawang Wulanmu sudah mati, Jaka. Malam itu juga, malam ketika Nirwana murka. Ia sudah mati, Jaka,” lanjutnya. Memberi jeda sebentar, lalu melanjutkan. “Aku yang berdiri di hadapanmu ini adalah aku yang baru. Bukan milikmu, bukan milik anakku. Aku milik semua orang. Aku milik mereka yang berhati bersih. Aku memberi  mereka kasih, dan mereka memberiku mimpi. Mereka memanggilku si Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul,” ucapnya.

Lalu di sinilah aku berdiri. Memandangi sepotong hatiku yang berusaha menguatkan diri. Membulatkan tekad, untuk menanamkan nama itu jauh di lubuk hatiku. Jauh di dalam relung. Hingga nanti pada akhir hidupku, aku bisa menyebutnya nama itu dalam helaan nafas terakhirku.