(Cerita ini diadopsi dari cerita Jaka Tarub versi webtoon 7 Wonders karya Metalu)
Rasa kasihnya berasal dari pengasingannya
Rasa kasihnya berasal dari pengasingannya
Keanggunannya berasal dari luka lamanya
Kekuatannya berasal dari ketidakberdayaannya
Ia mengambil,
Tapi tak sepenuhnya memiliki
Ia rapuh,
Tapi tak sepenuhnya hancur
Ia mengasihi,
Tapi hanya untuk jiwa yang bersih
Kisah yang
akan kuceritakan kali ini adalah sebuah kisah yang sudah banyak didengar.
Bahkan oleh seluruh khalayak masyarakat. Jaka Tarub, adalah nama yang diberikan
untukku. Aku lahir dari rahim seorang janda tua yang ingin segera memiliki
cucu. Sangat disayangkan tempat lahirku terletak begitu jauh di dalam hutan.
Begitu jauh dari pemukiman. Hal itu tentu menyulitkanku untuk memenuhi
keinginan ibuku.
Sampai
saat itu tiba.
Sampai
pada saat aku mencuri selendang seorang bidadari. Nawang Wulan namanya.
Kalian
pasti sudah pernah mendengar cerita itu bukan? Cerita dengan akhir menyedihkan
mengenai Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Cerita yang sebenarnya tidak pantas untuk
diceritakan.
Sebagai
Jaka Tarub, sebenarnya aku tak ingin ceritaku berakhir menyedihkan. Tidak
dengan segala jenis pengorbanan yang telah dilakukan Nawang Wulan untukku. Dan
anakku. Maaf, maksudku anak kami.
Nawang
Wulan digambarkan sebagai sosok bidadari jahat, yang dengan teganya
meninggalkan aku suaminya, dan anak semata wayangnya. Sungguh, percayalah
padaku. Nawang Wulan bukanlah gadis yang seperti itu. Meski tak sekuat keenam
saudarinya, Nawang Wulanlah yang memiliki tekad yang paling kuat. Ia akan
mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki agar orang yang ia kasihi
terlindungi.
Bahkan
jiwanya.
Kisah ini
masih bercerita tentang bidadari cinta, Nawang Wulan. Setelah mengetahui
kebohonganku yang tentu saja tak bisa kubantah, Nawang Wulan benar-benar
kembali ke Khayangan. Aku tau, ia rindu. Pada saudarinya. Pada orang tuanya.
Aku pun tau,
bumi dan segala isinya ini takkan bisa menyamai kedudukan Khayangan di hati
Nawang Wulan. Apalagi aku, bagian kecil dari bumi dan isinya ini.
Namun,
Nawang Wulan tetap kembali. Ia datang bersamaan dengan datangnya cahaya bulan
paling terang. Merangkulku, merangkul buah hatinya. Tersenyum padaku. Pada
anaknya.
O, Cinta.
Nawang
Wulanlah arti cinta itu yang sesungguhnya.
Sayangnya,
Nirwana berkata lain.
Khayangan
bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah sepertiku sebagai suami
seorang bidadari cinta. Sebagai suami seorang Nawang Wulan.
Malam itu,
malam pada saat seharusnya bulan bersinar paling terang, Nawang Wulan datang
seperti biasanya. Hanya saja, malam itu bulan bersembunyi di balik awan. Hanya
saja, Nawang Wulan tidak tersenyum seperti yang biasa ia lakukan.
Hanya
saja, ada ketakutan di wajahnya.
Sudah
kukatakan, Khayangan bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah
sepertiku sebagai suami seorang bidadari.
Tidak,
Nawang Wulan tidak diusir dari tempatnya. Atau setidaknya, untuk saat ini,
belum. Siapa yang tega mengusir seorang bidadari ungu yang indah itu? Lagipula
titik mula segala kesalahannya itu berpusat padaku.
“Larilah!”
Itu kata
pertama yang diucapnya setelah melihatku.
Aku diam
saja.
Nawang
Asih, anak kami, bersembunyi di belakang kakiku. Ia ketakutan. Ibunya tidak
pernah datang menghampirinya tanpa senyuman.
“Larilah!”
Nawang Wulan berteriak.
Aku tak
mengerti. Ia tak menjelaskan apapun padaku. “Ada apa?” tanyaku. Berusaha
memahami situasi.
“Kumohon,
lari dan sembunyilah!” tutur Nawang Wulan. Ia jengah, aku belum juga beranjak
dari tempatku berdiri.
Demi cinta
Sang Maha Cinta
Aku
bertaruh nyawa.
Belum
sampai pikirku menggapai kesimpulan, awan-awan yang menutupi bulan itu datang
mendekat. Mengizinkan bulan purnama
memamerkan cahayanya sedikit demi sedikit. Mengizinkan
semburat keindahan menghujani awal malam yang panjang.
“Aku
menyuruhmu lari dan bersembunyi,” Nawang Wulan menangis. “Tapi kau bergeming,
menanti mati,” lanjutnya.
Demi
cinta,
Aku tak
ingin melihat air matanya. Tidak lagi.
Ia sudah
terlalu banyak menangis saat tau bahwa akulah pencuri selendangnya.
Sial.
Awan-awan itu tak jauh lagi.
“Nirwana
sedang murka, Jaka,” Nawang Wulan bersedekap. Ia menahan sisa tangisnya.
Aku
menarik Nawang Asih memasuki rumah, mengambil bujur dan panahku. Memerintahkan
Nawang Asih untuk tetap menunggu di dalam. Untuk tidak melihat ayahnya menerima
penghakiman.
Saat
aku melangkahkan kakiku keluar rumah,
Nawang Wulan memunggungiku. Dihadapannya, pasukan Khayangan dengan anggunnya
menungguku menyiapkan busur dan panahku.
Apalah
arti busur dan panah,
Jika
setengah dari mereka memiliki tri netra?
Nawang
Wulan pernah bercerita, para
tetinggi Khayangan memiliki tri netra. Mata ketiga. Mata yang bisa melihat
kebenaran. Sekecil apapun itu. Lalu merubahnya menjadi kekuatan. Sebesar
kekuatan yang bahkan tak akan pernah bisa aku bayangkan.
Tapi aku
adalah Jaka Tarub.
Aku adalah
Jaka Tarub, yang bahkan dengan pongahnya melawan tulisan takdir. Busur dan
panahku telah siap. Hanya tinggal kulepaskan. Maka hancurlah.
Hancurlah
aku,
Hancurlah
gubuk kecilku,
Hancurlah
cinta di hatiku.
Hanya
saja, aku berharap Nawang Wulan tidak hancur hatinya. Tidak hancur jiwanya.
Busur dan
panahku hanya lambang perlawanan. Lambang pemberontakan.
Takkan
pernah bisa sampai untuk dilontarkan pada pasukan Khayangan.
Demi
cinta,
Aku siap
menerima penghakimanku. Aku siap kematian menjemputku. Aku siap.
Namun
ketika panahku lepas dari tarikannya, ketika keberanianku menguap lantas sirna,
ketika aku berada di ujung ajalku. Nawang Wulan, cintaku, berbisik.
“Aku
memberimu jiwaku. Maka bantulah aku dengan kekuatanmu,”
Maka
hilanglah cahaya putih pada sayapnya.
Maka
hilanglah bulu-bulu indah pada pundaknya. Maka semakin perkatlah malam purnama. Sayap Nawang Wulan berganti hitam kelam.
Terlihat perkasa dan cukup tangguh untuk memelukku. Memeluk gubuk kecilku. Namun
begitu rapuh dalam durjana, begitu menyedihkan. Menyeramkan.
“Aku bukan
lagi bagian dari Khayangan,” tuturnya. Nawang Wulan melantangkan suaranya. “Aku
adalah bidadari cinta dengan kekuatan dunia gelap. Sayap putihku berubah hitam,
belas kasihku berubah dendam. Aku tak ingin perlawanan, sebab aku berada di
pihak lawan.”
Maka
hancurlah aku.
Nawang Wulan
menjual jiwanya pada gelap. Pada hitam.
Maka
hancurlah hatinya.
Ia
mengusir dirinya dari lingkarannya. Ia membiarkan dirinya diasingkan dari
sarangnya.
Di
penghujung malam purnama itu, Nirwana menangis. Pasukan Khayangan yang belum
sempat berbuat apapun untuk menghakimiku berbaris kembali dalam dingin malam.
Pulang. Menyimpan sesal.
Lalu,
betapa sakitnya hatiku.
Nawang
Wulan menangis lagi. Nawang Asih yang sedaritadi mengintip, kini berlari
memeluk ibunya. Lalu menangis bersama.
Malam-malam
purnama berikutnya Nawang Wulan tak pernah datang. Tak pernah menunjukkan
senyumannya lagi padaku. Atau pada nawang Asih. Bidadari cinta itu tidak lagi
terikat pada dunia manusia, atau bahkan pada Khayangan. Tidak juga terikat
dengan dunia dimana aku bisa kembali menemukannya. Ia lenyap begitu saja.
Nawang
Asih tumbuh dengan baik. Hanya boleh hidup sebagai manusia di dunia manusia.
Setidaknya itulah yang aku pikirkan.
Sampai
pada suatu malam, ketika ia menarikku ke tepi pantai, di bagian selatan hutan
kami. Bercerita bahwa ia bisa memanggil ibunya hanya dengan menyentuh ombak
pantai. Tentu saja ia berbohong, pikirku.
Nawang
Asih menunduk dan menyentuh ombak. Ingin membuktikan perkataannya padaku.
Lalu di
sanalah ia berdiri.
Dengan
cahaya bulan yang terpantul pada sayap hitamnya.
“Nawang
Wulan,” bisikku. Lebih pada diriku sendiri.
Demi cinta
Sang Maha cinta,
Gadis itu
tersenyum.
Kasihku
tersenyum.
“Lama
tidak bertemu, Jaka,” tuturnya.
Aku
bergeming.
“Nawang
Wulanmu sudah mati, Jaka. Malam itu juga, malam ketika Nirwana murka. Ia sudah
mati, Jaka,” lanjutnya. Memberi jeda sebentar, lalu melanjutkan. “Aku yang
berdiri di hadapanmu ini adalah aku yang baru. Bukan milikmu, bukan milik
anakku. Aku milik semua orang. Aku milik mereka yang berhati bersih. Aku
memberi mereka kasih, dan mereka
memberiku mimpi. Mereka memanggilku si Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul,”
ucapnya.
Lalu di sinilah
aku berdiri. Memandangi sepotong hatiku yang berusaha menguatkan diri. Membulatkan
tekad, untuk menanamkan nama itu jauh di lubuk hatiku. Jauh di dalam relung.
Hingga nanti pada akhir hidupku, aku bisa menyebutnya nama itu dalam helaan
nafas terakhirku.