Rabu, 27 Mei 2015

Guess! Last

okeh, ini dia bunga yang diceritakan di ceritanya. Cantikkan? Simak deh ceritanya di sini. Silahkan terkagum-kagum dengan bunganya sebelum ilfeel :D



--------------------------------------------------------


“Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya.  

Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?” Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum  puas, yakin dengan apa yang dia katakan. “Si-siapa?” Tanya orang itu. Aku bisa melihat mata coklat orang itu membulat kaget. Ayah tersenyum getir, memandangi orang yang berdiri gemetaran di dekat Orlando. “Ti-tidak aku bukan pelakunya. Di-dia bunuh diri,” ujar orang itu dengan suara yang gemetaran. Lalu dia jatuh terduduk secara tiba-tiba. Menangis. “Bu-bukan aku pembunuhnya,” ujarnya setelah beberapa lama hening mengisi ruangan. Orlando meringis, lalu seolah-olah tersadar oleh sesuatu dia mendengus. Aku tidak  yakin Orlando memikirkan apa yang aku pikirkan, namun pertanyaan itu sudah menggantung di pikiranku. ‘Bagaimana bisa orang itu menuduh korban bunuh diri?’
 

“Adrienne, tunggu di sini sebentar,” perintah Orlando sambil berjalan ke luar kamar. Kamar ini sepenuhnya masih berbau almond yang kuat. Aku melempar tatapan –mau –kemana ke arah Orlando. Dia hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujar Orlando tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Aku mendengus tidak suka. Huh, laki-laki benar-benar melakukan segala hal semau mereka. “Tidak, tolong jangan tangkap saya!” teriak tersangka itu. Sial. “Ikut kami ke kepolisian, tuan” perintah polisi yang memiliki wajah sama sekali tidak ramah itu. Lawan yang diajak bicara itu hanya menggeleng kuat. Tidak mau ikut. “Jangan tangkap dia dulu,” ujarkku memberi perintah. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh makhluk hidup yang ada di kamar. Ayah yang sedang menggosok-gosokkan telapak tangannya berhenti ketika mendengar ucapanku. Tersangka yang terus menggeleng itu pun menghentikan gelengannya. Aku menghela nafas, “Ada yang salah di sini. Kakakku tidak membeberkan deduksinya,” ucapku kemudian. Polisi-polisi itu kaget, lalu berubah seperti hendak menahan tawa. “Lalu, kalau kakakmu tidak membeberkan deduksinya, apa itu akan merubah siapa pelakunya?” Tanya salah seorang polisi yang bertampang paling menyebalkan di antara semua polisi yang ada. “Dengar,” ucapku jengah. “Aku yang paling tahu sikap saudara kembarku. Dia tidak mungkin memerintahku untuk menahan kalian agar tidak membawa tersangka itu kalau dia tidak memiliki alasan yang kuat,” ujarku sambil menunjuk tersangka yang sekarang sedang tersungkur di lantai. Hening mengisi ruangan, tidak ada yang melakukan gerakan yang berarti. “Turuti dia,” ucap polisi yang dari tadi memerintah.

 

“Bagus, tetap begitu,” ucap Orlando yang memasuki ruangan dengan terengah-engah. “Ada apa?” tanyaku penasaran. “Ugh, Ardienne” ucap Orlando memanggilkku sambil mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku menurut, dia membisikku. “Apa kamu melihat ayah membuang sarung tangan?” bisikknya. Aku menggeleng sebagai jawaban dan melihat mata Orlando meredup. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia terus menggosokkan tangannya,” ucapku. Cahaya di mata Orlando kembali lagi. “Masih ada harapan,” tuturnya sambil mengeluarkan kaca pembesar yang entah dia dapat darimana juga. Yang ada di pikiranku saaat ini adalah Orlando pasti sudah merasa benar-benar seperti Sherlock Holmes. Aku memperhatikan Orlando yang yang menunduk-nunduk dengan kaca pembesarnya. Dia terus tersenyum selama penyelidikannya. Aku berani bayar berapapun jika aku bisa tahu apa yang sedang dipikirkan saudara kembarku yang gila misteri itu.
 

Orlando mendongak, menatapku sambil memamerkan senyumnya. “Ada apa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang terus meningkat. “Kali ini aku benar-benar tahu siapa pelakunya,” ujar Orlando. Aku bisa merasakan semua pandangan di ruangan ini ditujukan kepada saudara kembarku itu. “Hei, kakak mau bilang kalau pelakunya bukan orang ini?” ujarku sambil menunjuk tersangka yang masih tersungkur. Orlando mengangguk dengan senyum. “Su-sudah ku bilang bahwa korban bunuh diri!” ujar orang yang tadi ku tunjuk. Orlando masih tersenyum. “Ironis,” ujar Orlando sambil membuang muka. Senyum jengahnya berubah menjadi meringis. Aku tersadar dengan apa yang dimaksudkan oleh Orlando. “Ja-jadi pe-lakunya….” Tanyaku tergagap. Orlando menangguk, “maaf, anda pelaku pembunuhannya tuan. Dengan begitu, anda bukan ayah kami lagi,” ujar Orlando sambil membungkukkan badan di depan ayah. Aku terduduk tidak percaya. Apa yang ku pikirkan ternyata benar. Ayah tergagap, sama sekali tidak menduga apa yang keluar dari mulut anak laki-lakinya. Ayah merubah ekspresi wajahnya, menyembunyikan keterkejutannya dalam senyum angkuh yang selama ini sering ayah tunjukkan pada kami. “Anak yang baik, bagaimana bisa kamu menuduh ayahmu sebagai pembunuh?” Tanya ayah dengan tatapan sinis yang ditujukan ke arah Orlando. “Maaf, anda bukan ayah kami lagi,” tutur Orlando tenang. Ayah menyerit, “tunjukkan buktinya kalau aku ini pembunuhnya!” ujar ayah dengan nada membentak.

 

“Aku baru saja akan melakukannya, tuan,” ucap Orlando.  Masih setenang Orlando yang biasanya. Saat ini aku merasa kasihan dengan diriku sendiri, aku tidak mengerti jalan pikiran Orlando yang terlalu banyak likunya itu. Aku meringis, menyadari bahwa aku tidak melakukan apapun untuk membantu Orlando. Orlando berdehem keras, tanda bahwa dia akan segera membeberkan deduksinya. “Sebelumnya, biarkan aku bertanya,” ujar Orlando sambil berjalan mendekati ayah. “Bagaimana tuan bisa menemukan mayat ini?” tanyanya kemudian. Ayah tergagap, terkejut mendapat pertanyaan yang tidak dia duga. “Ka-karena..” aku bisa melihat mata ayah bergerak cepat untuk mencari-cari jawaban. “Karena aku melihatnya!” ujar ayah mantap setelah menghabiskan beberapa menit waktunya. “Oh ya?” Tanya Orlando tidak yakin, lalu suara dengan nada tinggi memecah ketegangan “dia tidak melihatnya!” ujar teresangka yang aku tidak ketahui namanya. Ayah terlonjak kaget. Orlando senyum mengejek, “orang ini tinggal di sini, dan dia pasti tau apa yang terjadi di rumah ini,” ujarnya kemudian. “Sudahlah, cepat jelaskan bagaiman kamu bisa mendapat kesimpulan bahwa ayahmu yang melakukan pembunuhan?” Tanya polisi tidak sabar. “Ku ulangi, pembunuh ini..” ucap Orlando sambil menepuk bahu ayah. “Bukan ayah kami lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.


“Tapi baiklah, biar aku jelaskan. Adik kembarku yang manis ini menemukan sidik jari pada cangkir. Di cangkir yang pertama, dia menemukan sidik jari yang sama dengan sidik jadi yang ada pada kenop pintu. Yaitu sidik jari dia,” ujar Orlando sambil menunjuk tersangka yang sekarang sudah berdiri. “Dan yang satu lagi, kami menduga bahwa itu adalah sidik jari orang ini,” ujar Orlando sambil menunjuk ayah. “Lalu, bagaimana mungkin pelaku tahu bahwa korbannya sudah meminum racunnya atau belum apabila dia tidak melihatnya? Bagaimana mungkin pelaku bisa membukakan pintu tanpa meninggalkan sidik jari pada kenop pintu?” Aku tahu itu adalah pertanyaan retoris. Karena sebentar lagi Orlando akan menjelaskan jawaban dari pertanyaannya sendiri. “Dia melihatnya, bukan. Bukan melihat mayat, tapi melihat calon korbannya meminum racun yang dia berikan,” ujar Orlando tenang. “Lalu bagaimana? Tidak ada sidik jariku di sana!” ucap ayah marah. “Ya, memang tidak ada sidik jari anda, tuan. Karena jari-jari anda telah anda lapisi dengan lilin yang ada di meja itu,” ucap Orlando tegas. Dia menunjuk lilin yang tak beralas di atas meja. “Anda ingin bukti, tuan? Adrienne melihat anda menggosokkan tangan dari tadi. Apa tujuannya? Anda kedinginan? Huh, bagaimana mungkin anda kedinginan dengan suasana rumah yang pengap seperti ni? Jawabannya adalah anda tidak kedinginan, anda berusaha melepas lilin yang menempel di jari-jari anda. Kalau anda mau mengelak, silahkan tunjukkan tangan anda. Aku yakin, sisa lilin masih ada di sana.” Ucap Orlando menjelaskan. Ayah bergeming, itu membuktikan apa yang dikatakan oleh Orlando benar. Aku mendengus kesal, kali ini aku sepenuhnya percaya dengan apa yang Orlando katakan. “Lalu, apa racunnya benar-benar glokosida?” tanyaku penasaran. Orlando mengangguk mantap. “Buktikan kalau aku menyimpan racun itu!” ujar ayah masih dengan nada tinggi dalam suaranya. “Kalau kau menyimpannya, mungkin racunnya sudah layu,” jawab Orlando dengan nada yang sama tingginya. Aku mundur selangkah, memejamkan mata lalu mencoba meresapi aroma almond yang tidak henti-hentinya menggelitik hidungku. “Lalu aroma almond ini?” tanyaku ketika tahu ayah tidak bisa mengelak apapun yang dikatakan oleh Orlando. Laki-laki bermata hijau itu merangkulku, “dengar adikku sayang, almond yang terus-terus kau cium itu bukan berasal dari sianida. Itu berasal dari ini,” ucapnya sambil mengeluarkan pecahan kaca yang sudah berupa serpihan. Aroma almond langsung menyeruak masuk ke hidungku tanpa permisi.
 

“Parfum?” tanyaku sesaat setelah tersadar. Orlando mengangguk  puas, senang dengan otakku yang dengan cepat bisa menanggapinya. Aku  masih menyerit bingung. “Adrienne, bingung dengan racunnya? Baiklah, sekarang coba kita tanyakan kepada tuan ini,” ucap Orlando, mendekati tersangka yang ketakutannya tidak separah tadi. “Apakah korban meminta anda untuk memetik bunga ini?” tanya Orlando. Dia mengambil sesuatu dari tangannya dan memperlihatkan kepada lawan bicaranya. Aku tecekat ketika melihat ayah yang tersedak dengan air liurnya sendiri. Orang yang ditanyai Orlando itu mengangguk mengiyakan, lalu Orlando menatap ayah dengan senyum puas yang sangat mengejek. “The Valley Lilly, bunga yang hanya bisa tumbuh di lembah-lembah. Bunga ini dikenal sebagai suzuran di Jepang, karena melambangkan kematian. Warnanya putih suci yang menggambarkan ketenangan,” ucap Orlando menjelaskan bunga lili lembah itu. “Bunga in mengandung racun glokosida yang dapat merusak pencernaan dan memperlambat kerja jatung. Dalam kasus terburuk,” Orlando mengangkat bahu “Mati,” lanjutnya.
 

“Pertanyaannya, bagaimana cara tuan ini membuat korban mau memakan racun yang anda berikan?” tanya Orlando, sekali lagi dengan pertanyaan retorisnya. Aku meringis, mengetahui apa kalimat yang akan terlontar dari bibir Orlando. “Almond,” ucapku tegas. Orlando mengalihkan pandangannya kepadaku sambil melempar senyum. “Korban menderita penyakit jantung ringan, lalu anda memberitahunya bahwa almond yang dimakan dengan lili lembah akan menyembuhkan segala penyakit, termasuk penyakit jantung,” lanjutku sambil memamerkan data tentang korban yang berhasil ku dapatkan dari salah satu website rumah sakit. Yah, terkadang aku bisa diandalkan dalam hal yang bersangkutan dengan gadget dan informasi.  Orlando masih tersenyum  puas ketika aku menatapnya meminta persetujuan. Ayah masih bergeming, tidak ada sedikit pun pembelaan yang ia lontarkan. “Korban dengan bodohnya langsung saja percaya, tapi dia tidak menunjukkannya di depan orang ini,” ujar Orlando. Dia menunjuk ayah dengan gaya yang sangat tidak sopan. “Korban ke kamar dan meminta tuan tersangka sebelumnya ini memetikkan beberapa the valley lilly untuknya. Lalu dia memakannya bersamaan dengan almond, bisa kita lihat masih ada serpihan almond di lantai. Sebagai bukti kalau almond itu sudah tercampur dengan racun glokosida dan sudah di makan sebagian oleh korban, silahkan tim forensik memeriksanya,” Orlando menyelsaikan penjelasannya. Aku tersenyum lalu menggandeng lengannya. Lalu kami berdua menatap ayah, meminta penjelasan. Ayah terduduk di lantai, lututnya terkulai lemas seakan-akan tulangnya tidak lagi kuat untuk menopang tubuhnya. “Ironis sekali, aku meminta kalian membantuku agar aku tidak tertangkap, tapi justru kalian mengetahui kebenarannya,” ujar ayah sambil menunduk. “Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi ayah yang baik. Orang itu…. Dia….” Suara ayah tercekat, lalu isaknya terdengar. “Aku tidak membunuhnya karena jabatan di intel. Aku membunuhnya karena dia telah membunuh istriku! Dia membunuh ibu kalian!” teriak ayah tiba-tiba. Gandenganku pada Orlando terlepas dengan sendirinya. Ibu dibunuh? “Manusia bejat itu membunuh ibu kalian! Dia membunuh wanita yang tidak bersalah!” teriak ayah di sela-sela tangisnya. “Apakah salah, kalau wanita memilih suami yang menurutnya cocok dengan dirinya? Apakah salah apabila wanita memilih orang yang dia sayangi untuk menghabisakan sisa hidupnya?” tanya ayah lirih. “Hah?! Jawab aku! Apakah salah?” teriak ayah, suaranya melengking pilu. “Orang itu, dia membunuh istriku karena dia tidak suka istriku menikah denganku,” ujar ayah. Tangisnya kembali pecah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran bahwa korban adalah orang yang membunuh ibuku karena ibu menolak lamarannya memenuhi pikiranku. Menggerogoti hatiku dengan sayatan dalam.  Aku membuang muka, mengalihkan pandangan dari ayah. “Kejahatan tetaplah kejahatan. Kami mau pulang,” ucap Orlando, berusaha menutupi kekesalan yang dirasakannya. Aku bisa merasakan tatapan Orlando pada rambut perakku yang tidak biasa ini. Seisi ruangan diam mendengarkan suara Orlando yang tetap tegas meskipun lirih. “Terima kasih karena telah membongkar identitas pembunuh yang sebenarnya,” ucap ayah ketika kami melewatinya. Polisi segera bertindak dan membawa ayah yang pasrah.


 Tidak lama setelah kejadian itu, aku dan Orlando menjalani hari-hari kami seperti biasa. Berita tentang seorang intel yang membunuh rekannya sudah tidak lagi terdengar dimana pun. Begitu juga dengan berita bahwa ibu kami dibunuh. Orlando menasehatiku ketika aku menangis di hadapannya, “perempuan yang hebat adalah perempuan yang siap menerima kejutan apapun dalam hidupnya,” ujarnya sambil melemparkan senyum. Mata hijaunya setenang air hujan. “Kejahatan tetaplah kejahatan, apapun alasannya. Karena setiap kejahatan, pasti akan merugikan pihak lain yang mungkin tidak bersalah,” ucapnya ketika ia sadar bahwa aku juga memikirkan ayah yang sedang menjalani hukumannya.
 

----------------------------

Selesai juga ternyata :v bikin cerita detektif menguras otak dan tenaga juga. Gimana? sebelumnya ada yang menduga ayahnya pembunuhnya? 

Senin, 25 Mei 2015

Guess!

yo! minna! bagi para pecinta misteri, aku bikin cerbung misteri :D tenang chapternya 2 kok '-' yosha! check it out!


------------------------------------


"Adrienne, pinjamkan aku komik barumu, dong?” pinta Orlando yan tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. “Hoi! Kalau masuk kamar cewek itu ketuk pintu dulu! Dasar mesum!” bentakku tidak suka. Orlando menatapku jengah. “Aku masuk karena aku tau kalau kamu tidak sedang ganti baju,” tukasnya sambil melihat deretan komik yang baru ku beli kemarin. Dia memilah mana yang menurutnya menarik dan mana yang tidak. “Nah, aku pinjam yang ini,” ucapnya kemudian sambil membawa 3 buah komik Detective Conan. “Huh, jangan sampai rusak,” ucapku member izin. Sudut bibirnya terangkat, aku menatapnya jengah. “Tentu saja,” ucapnya lalu melangkah ke kasurku. Aku memperhatikan kelakuan Orlando lalu menyerit. “Nah, adik kembarku yang manis biarkan kakakmu ini membaca dengan tenang,” perintahnya sambil tiduran di kasurku. Mata hijaunya bergerak mengejek. “Ya Tuhan, kenapa laki-laki selalu bertingkah semau mereka?” ujarku bergumam. Orlando terkekeh mendengar gumamanku. Aku melihat laptopku yang berkedip-kedip, menandakan adanya pesan masuk. Dengan semangat aku membukanya dan mendapati pesan dari ayahku. Semangatku hilang seketika itu juga.
 

Ada yang ingin ayah bicarakan. Cepat ajak kakakmu turun. 


Aku meringis. Rasanya ingin sekali ku banting laptop merah pucatku sekarang juga. Ayah selalu seperti ini. “Hoi! Kak,” ucapku sedikit berteriak. Orlando hanya melirikku dengan ekor matanya. “Ada yang ingin di bicarakan oleh ayah. Dia meminta kita untuk turun,” lanjutku. Aku menghembuskan nafas, lalu berdiri. “Ayo kak,” ujarku sambil menyakinkan diri sendiri di depan cermin.

 Sepertinya aku sudah bercerita terlalu banyak sebelum memperkenalkan diri. Kalau begitu, kenalkan namanya Adrienne Sa’ri. Aku memiliki garis keturunan yang bercampur antara Eropa dengan Indonesia. Ibuku sudah lama meninggal, aku tidak tau pastinya kenapa. Jadi ku pikir ibuku meninggal ketika melahirkanku dengan kakakku karena aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Oh iya, kakak yang ku maksud di sini adalah Orlando Sa’ri, kakak kembarku. Aku selalu menyukai senyum jengahnya dan tatapan jenaka mata hijau menenangkannya. Berbeda denganku, mataku berwarna abu-abu pucat. Rambut Oralando dipotong acak dan –bagiku- terlihat malas. Aku juga menyukai rambut hitam kecoklatannya, yang terlihat sangat cocok dengan mata hijaunya. Yah, hal ini membuatku membenci rambut berwarna perak milikku yang –walaupun- cocok-dengan-warna-mataku aku merasa seperti memiliki banyak uban di usia mudaku. Baiklah, kembali pada kakakku. Dia ini seorang otaku tingkat berat. Sebenarnya aku juga otaku, tapi aku lebih suka membaca komik daripada menonton anime. Jadi mungkin aku tidak bisa digolongkan ke otaku tingkat berat. Aku selalu mengagumi kakakku yang memiliki otak secerdas Holmes. Ah aku lupa memberitahumu bahwa kakakku ini penggila misteri seperti Shinichi Kudo dalam serial Detective Conan. Terkadang aku berharap bisa menjadi Watson untuknya, tapi aku tidak suka menulis. Aku lebih suka mengotak – atik laptopku untuk membuat program baru yang bisa berguna untuk diriku sendiri. Ralat, untukku dan kakakku. Selain itu, kakakku tidak pernah benar-benar memecahkan kasus besar seperti pembunuhan massal ataupun perampokan. Aku hanya memperhatikannya sesekali ketika memecahkan permasalahan kecil di sekolah.
 

Kami sampai di ujung tangga ketika ayah berdiri sambil melipat tangannya di dada. “Duduklah,” ucap ayah sambil menunjuk sofa coklat di depannya. Kami menurut sambil melihat ayah yang berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Hening mengisi waktu selama beberapa saat. Orlando terlihat tidak peduli namun senyum jengahnya memberitahuku bahwa dia malas berhadapan dengan ayah yang jarang sekali pulang. Ayah kami berkerja sebagai intel di kepolisian. Aku tidak tau pekerjaan seperti apa yang ayah lakukan sampai-sampai dia jarang memiliki waktu untuk mengurusiku dan Oralando. “Karena kalian sudah kelas 2 SMA aku akan mengajak kalian untuk ikut bersamaku,” ujar ayah secara tiba-tiba. Aku dan Orlando mendengus secara bersamaan. “Aku tidak mau,” ucap Orlando, masih dengan wajah malas yang terang-terangan di tunjukkannya. “Tolonglah,” ucap ayah dengan nada gusar yang jarang sekali ia tunjukkan pada kami. Ugh, bahkan seingatku dia tidak pernah menggunakan nada menyebalkan itu di hadapan kami. Orlando mendengus kesal. Lalu menatap ayah sinis. “Ceritakan,” ucapnya kemudian. Aku bisa melihat tubuh ayah gemetar, lalu tungkainya melemah dan dia jatuh terduduk di lantai. “Aku.. mayat…” ucap ayah meracau. Kedua alis Orlando menyerit tak suka. “Ceritakan dengan jelas. Kami tidak yakin bisa membantu, tapi kami akan mencoba melakukannya demi….” Orlando terdiam sejenak. Lalu sambil menghela nafas dia melanjutkan “Demi ayah.”

Ayah mendongak melihat Orlando. Memastikan tidak ada kebohongan di mata anak laki-lakinya. Lalu samar-samar ayah tersenyum getir. “Itulah yang aku harapkan dari anak-anakku,” ucapnya sambil berdiri. Lalu ayah memalingkan wajahnya ke langit-langit. “Aku melihat mayat, terbujur kaku. Wajahya menyeramkan, ku pikir karena ketakutan yang berlebih,” ujar ayah. Masih menatap langit-langit. Aku bisa melihat mata Orlando membulat penasaran. “Lalu, apa yang ayah inginkan dari kami?” Tanya Orlando. Ayah tersenyum nanar. Merasa enggan untuk meminta bantuan kepada anaknya. “Itu pertanyaan retoris?” ucapnya kemudian, balik bertanya. Orlando mendengus tak puas. Aku mendekatinya, menggenggam tangannya untuk memberi kesabaran. Dia menatapku dalam diam, lalu tersenyum samar. “Bergegaslah untuk bersipa-siap,” ucap ayah. Kalau aku tidak salah dengar, aku mendapati nada takut dalam suara ayah yang memerintah itu. Kami mengangguk bersamaan. Penasaran dengan kejutan apa yang akan ayah berikan kepada kami.

---------------------------------------------------------


“Seperti rumah kaca,” ucap Orlando. Aku mengangguk setuju, mendapati bahwa diriku dikelilingi oleh berbagai macam tumbuhan. “Angel trumpet,” gumamku ketika aku mencium aroma yang jarang sekali ku cium, namun tidak kunjung menemukan sumber aroma tersebut. Orlando menatapku cemas, “hati-hati,” ujarnya sambil mengelus rambut perakku. Aku mengangguk, lalu menutup hidung dengan jari telunjukku. Angel trumpet adalah tanaman dengan bunga yang bisa di golongkan narkotika. Hal ini dikarenakan aroma angel trumpet dapat menimbulkan halusinasi yang berlebihan pada penghirupnya. Dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kematian. Orlando menyerit sembentar memandangi rumpun bunga kecil yang bejajar rapi di dinding pagar yang menyerupai lembah. “Lily,” gumamnya pelan. “Huh?” tanyaku bingung. Dia menggeleng. Aku memperhatikan arah pandangan Orlando. Bunga-bunga kecil iu berwarna putih, menunduk seolah-olah patuh menghormati pengunjung yang datang melihat. Aku berjalan menghampiri bunga itu. “Adrienne, bisa tolong ambilkan sample sidik jari dari bunga itu?” pinta Orlando yang tiba-tiba berada di sampingku. Dia menunjuk rumpun bunga yang tidak sebanyak bunga yang lainnya. Aku mengangguk lalu mengambil tablet pc ku dan memotret bunga itu. Lalu memasukkan foto itu ke aplikasi yang ku buat sendiri untuk mendapatkan sidik jari. Aku member isyarat kepada Orlando, bahwa aku selesai. Orlando tersenyum mengiyakan.


Ayah menuntun kami masuk ke dalam rumah yang sudah di penuhi orang-orang berseragam polisi. “Biarkan kami melihat mayatnya,” ucap ayah meminta kepada polisii-polisi itu. “Tersangka tidak boleh melihat korban,” ucap salah satu dari polisi. Aku bisa merasa bahwa mataku membulat, terkejut. Ayah kami.. tersangka? Aku menatap ayah, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Uhm, maaf apa aku boleh bertanya?” ujarku sambil mendekati salah satu polisi yang menurutku ramah. “Silahkan saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Ke-kenapa ayahku bisa menjadi tersangka?” ujarku pelan, takut salah memilih kata. “Ada beberapa alasan, yang pertama ayahmu berada di sini ketika waktu kejadian dan yang kedua ayahmu memiliki motif untuk membunuh korban,” tutur polisi itu. “Lalu apa motif ayah?” tanyaku lagi. “Mereka berdua sedang memperebutkan posisi intel tertinggi di kepolisian, dengan membunuh korban, ayahmu tidak memiliki saingan lagi,” jawabnya jelas. Aku mengangguk mengerti, “lalu, selain ayah, apakah ada tersangka yang lain?” tanyaku setelah beberapa saat diam. Polisi itu mengangguk, “Dia sedang di toilet sekarang,” ucap salah satu polisi yang terkesan ramah. “Jangan melibatkan anak kecil, bodoh!” bentak polisi lainnya. Aku tersenyum meminta maaf lalu mengalihkan perhatianku kepada Orlando. Berbeda denganku, Orlando terlihat memperhatikan seluruh isi ruangan. Dia mendekati lilin tak beralas di atas meja. Memperhatikannya dengan baik lalu memanggilku. Dia mengangkat dua cangkir kopi di bawah meja. “Itu juga,” ucapnya sambil meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Aku mengangguk mengerti lalu melakukan hal serupa yang ku lakukan untuk bunga di luar tadi. Salah satu cangkir tersebut memiliki sidik jari yang bisa dikatakan sama dengan sidik jadi yang ku temukan di bunga tadi. Sesudahnya aku baru memperhatikan rumah itu. Walaupun dari luar rumah ini terlihat asri namun dalamnya terasa suram dan sedikit pengap. Ayah berdiri di dekat lemari besar sambil memandang kosong ke arah kami. 


“Dimana mayatnya?” Tanya Orlando. Polisi-polisi itu tak acuh. Aku memandang ayah, lalu melihatnya menunjuk ke arah kamar yang pintunya tertutup.  Pintu kamar itu menjulang tinggi dan besar. “Di situ,” tunjukku sambil menggenggam tangan Orlando. Dia menatapku sebentar lalu mengangguk dan menarikku kea rah pintu tersebut. “Jangan disentuh,” ucapnya tepat ketika aku hendak memegang kenop pintu. Orlando kemudian mengambil pcku lalu mendeketsi sidik jari di kenop itu. “Apa sidik jari ini memiliki kesamaan dengan salah satu sidik jari di cangkir?” Tanya Orlando, sambil menatapku. Aku mengangguk. Matanya membulat. “Sama dengan sidik jari yang ada di bunga kecil tadi,” lanjutku. Orlando mendengus. Sejauh ini aku belum bisa mengetahui apa yang benar-benar dia pikirkan. Dia mengecek ponselnya sesaat lalu berbisik padaku, “sidik jari di cangkir yang satunya adalah milik ayah.”


“Kalau begitu, bisa dipastikan bahwa bukan ayah pelakunya,” ucapku mantap. Ekor mataku melirik ayah yang masih berdiri di tempatnya tadi. Dia menggosokkan tangannya, huh mungkin dia kedinginan. Aku mengekor Orlando yang memasuki kamar setelah membuka kenopnya dengan sapu tangan yang entah darimana asalnya. Aroma almond langsung menyeruak menusuk hidung. “Sianida?” tanyaku setelah beberapa langkah. Orlando menggeleng, “bukan,” ucapnya. Lalu duduk untuk memungguti beberapa pecahan kacang almond yang remuk. “Kacang almond tidak mengeluarkan bau,” ucapku membisik Orlando. “Aku tahu,” ujarnya. Wajahnya tampak berpikir namun pandangannya tetap menelusuri seisi kamar. “Itu dia,” ucapnya setelah beberapa menit. Aku masih terus mengekornya sampai dia berlutut di hadapan mayat yang benar-benar kaku terlentang di dekat kasur. Mata mayat itu terbuka, menatap nyalang dengan aura murka. Seakan-akan dia akan menyerang siapa saja yang mendekatinya. Mulutnya menganga menyeramkan, seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat memilukan. Namun tetap saja, tubuh menyeramkan di hadapanku ini sudah lama mati dengan mengenaskan. Aku memperhatikan Orlando yang sepertinya sedang mengumpulkan sesuatu. Sial, aku tidak tahu apa yang sedang dia kumpulkan, dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. “Dia keracunan,” ucap Orlando yakin. “Aku tau,” tukasku jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya. Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?”Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum puas, yakin dengan apa yang dia katakanya. “Si-siapa?” 

Minggu, 24 Mei 2015

Burning Red #2

Judul: Burning Red (2)
Rate: T
Genre: romance,family
Author: El
Lenght: Chaptered
Disclaimer: Gosho Aoyama
RnR *beta fict* 
J
Pair: Ran Mouri, Shinichi Kudo, Kuroba Kaito

check this out desu!
--------------------------------------------

*Loving him is like trying to change your mind, once you already flying through the freefall. Like the colors in autumn so bright, just before they lose it all…*
  
“Silahkan masuk,Ojii-san to oba-san,” ucapku sambil tersenyum. Mempersilahkan tamu kami masuk. Sepertinya aku pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, tapi entahlah kapan. “Wah Ran-chan, kau cantik sekali. Obasan heran kenapa Shin-chan bisa memutuskan hubungan kalian,” ucap bibi itu sambil berjalan masuk ke rumahku. Aku terdiam selama beberapa saat. Banyak hal yang menggantung dalam pikiranku saat ini. Shin-chan? Shin-chan memutuskan hubungannya denganku? Siapa Shin-chan itu? Aku meringis. Hal itu hanya membuatku pusing.

“Konbawa Ran-chan.”

Aku menoleh ke asal suara itu. Suara yang kerap ku dengar membisikan janji-janji kosongnya padaku. Tepat di hadapanku laki-laki dengan rambut hitam kecoklatan itu berdiri angkuh. Dua manik berwarna langit cerah menatapku, menunggu respon dari sapaannya.

“Shi-Shinichi?” responku gelalapan. Sakit mulai merayapi hatiku. Aku mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, lalu dengan suara keras membentaknya “Apa yang kau lakukan di sini, Brengsek?” bentakku. Sial. Suaraku tidak sekeras yang ku inginkan. Shinichi Kudo menatapku lebih dalam. Seakan akan menikmati suara lirih bernada kasar yang tadi ku lontarkan. “Entahlah. Untuk menghadiri undangan makan malam mungkin?” ucapnya kemudian sambil mengankat bahu. Shinichi Kudo, seseorang dengan mata biru cerah yang menenangkan. Seseorang yang pernah mengisi tempat spesial dalam hatiku. Dia selalu bisa membuat ku tersenyum, dulu. Sampai suatu hari dia memutuskan hubunganya dengan ku. Aku tidak mau mendengar alasan konyolnya, tapi suaranya yang berat itu tetap saja menyerobot masuk dalam ingatanku. “Aku tidak menyayangimu lagi” begitulah ucapannya ketika itu. Suaranya terus terngiang seakan-akan aku ini manusia bodoh yang sangat ingin dia permainkan.

“Keluar dari rumahku atau kau mau ku paksa keluar?” ucapku mengancam. Berusaha menatapnya sesinis mungkin.

Shinichi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Senyum tipis terlukis di wajahnya. “Keduanya bukan pilihan yang baik. Bagaimana kalau kau saja yang keluar?” tukasnya angkuh. Melirikku dengan tatapan mengejek yang menjengkelkan.

“Sial! ini rumahku dan aku berhak untuk menerima atau menolak tamu yang datang,” balasku jengkel. Melipat tanganku di dada, lalu tersenyum puas. Merasa menang.

“Aku dan keluargaku diundang oleh ayahmu. Jadi aku ini tamu ayahmu bukan tamumu. Permisi,” ucapnya sambil menyerobot masuk. Aku terdiam sesaat, memandangi punggung Shinichi yang berjalan semakin jauh ke dalam rumah. Sepertinya dia yang menang. Aku meringis. Berani-beraninya dia, jujur saja aku tidak mau makan malam bersama sesorang yang pernah membuatku berada dalam kondisi terburukku.

Aku terdiam beberapa saat. Memikirkan skenario terburuk ketika aku harus makan satu meja dangan orang yang ku benci. Aku memutuskan untuk berlari keluar rumah, aku bisa merenung lebih baik di bawah langit yang pekat.

Aku berlari menuju danau yang tadi ku lihat. Lampu-lampu di sekitarnya berkelip tanpa lelah. Aku duduk di sebuah bangku memanjang yang menghadap ke danau. Menatap lily jingga yang merunduk menahan dingin. Pikirku berkecamuk. Kenapa ayah mengundang orang itu? Kenapa harus pada makan malam pertama di rumah baruku? Kenapa harus dia? Kenangan bersama Shinichi menyerobot masuk dalam pikiranku. Aku tertunduk, menatap kosong pada gaun satin putihku yang mulai basah oleh titik-titik air. Sial. Kenapa aku harus menangisi orang seperti Shinichi?


*Remembering him comes in flashback and echoes… tell myself it’s time now, gotta let go… but moving on from him is impossible when I still see all in my head…*

“Butuh teman, Mouri-Chan?” sapa seseorang yang langsung duduk di sampingku tanpa permisi.

“Tidak, terima kasih,” ucapku sambil menghapus air mataku.

“Kau boleh menangis di bahuku.”

“Aku tidak menagis di depan orang asing,” ucapku parau. Aku masih ingin menangis. “Lihat, ini aku Kaito. Kita sudah kenal sehari, apa itu masih disebut orang asing?” Kaito memegang daguku dan mengubah arah pandangku hingga melihatnya. Dia tersenyum, matanya seakan-akan mencari celah pada mataku. Hanya hening yang mengisi selama beberapa menit dan entah bagaimana aku pun menangis di bahu Kaito. Menceritakan segala hal tentang Shinichi, segala hal yang berhubungan dengannya. Aku baru mengenal Kaito hari ini, dan pertemuan kami pun sepertinya tidak bisa dibilang menyenangkan tapi tidak ada salahnya kalau aku ingin berteman dengannya, kan? Dia sudah memegang rahasia ku. Menangis di bahunya.

Setelah menangis, aku pun pulang dengan mata sembab. Tiba-tiba saja aku berpikir bagaimana bisa aku menangis di bahu orang yang baru saja ku temui? Astaga. Itu sangat memalukan. Aku berhenti berjalan dan menengadah ke langit. Menatap bintang sambil berharap Kaito tidak mengungkit-ungkit apa yang tadi aku lakukan. “Sebaiknya aku melupakan masalah ini, karena ku rasa masalah baru pasti akan muncul,” ucapku pada diri sendiri.

Benar saja dugaanku, tepat di depan gerbang rumah ayah sudah berdiri sambil berkacak pinggang. Yah itu salah satu kebiasaan ayah kalau ayah sedang marah berat. “Ran Mouri, apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?” sambut ayah marah tepat ketika aku berada di hadapannya. “Ya, tentu saja,” ucapku tetap melangkah masuk ke rumah tanpa mempedulikan ayah yang masih berdiri marah. “Kau membuat otousanmu ini malu Ran!” ucap ayah dengan nada kesal sambil mengekor masuk ke rumah. Aku dapat melihat ayah dengan ekor mataku, wajahnya merah padam. “Sebelumya, aku lapar tousan. Boleh aku makan dulu sebelum otousan melanjutkan marah-marahnya?” ucapku mengambil sepotong roti dan membawa ke kamar. “Ya Tuhan Ran! Don’t you know how to act politely? I was your father!” ujar ayah semakin marah. “Sorry father. But for now, the answer is no,” ucapku mempercepat langkahku menaiki tangga dan memasuki kamar lalu menunci pintunya. Aku bersandar pada pintu kamar. ‘Sumimasen otousan, aku butuh waktu untuk diriku sendiri,” lalu menutup wajahku dan membiarkan tangis menemani malamku.

-----------------------------
#Next day

“Sumimasen. Saya ingin bertemu dengan Alex Sensei. Saya membutuhkan buku-buku saya sekarang,” ucapku setelah memasuki ruang guru. “I’m Alex” ucap seseorang dengan rambut pirang di hadapanku. “Well, Biar saya tebak, Ran Mouri?” ucap guru berperawakan tinggi dan cantik didepanku. Aku mengiyakan. “Buku apa saja yang kurang?” tanya guru itu sambil mengisyaratkan agar aku mengikutinnya. “Biologi, kimia, bahasa inggris, sosial dan matematika,” ucapku sambil berjalan mengikutinya. Beberapa menit setelahnya kami sampai di sebuah ruangan yang dipenuhi buku. Alex sensei mengambil buku-buku yang ku sebutkan tadi dan memberikannya kepadaku. “Ini bukumu dan belajarlah yang giat,” ucap guru itu sambil berjalan keluar dari ruangan ini. “Terima kasih,” ucapku sambil memegang buku yang diberikan oleh Alex sensei. “Ano, Sensei.. Apa aku boleh tau lokerku dimana?” tanyaku mengekor Alex sensei. “Pilih saja loker kosong yang berada di dekat kelas” ucapnya menoleh ke arahku. “Nee, Mouri-chan, sebaiknya kau kembali ke kelas. Jam pertama akan segera dimulai,” ucapnya tersenyum. Ak mengangguk dan bergegas berjalan menuju kelas.

Ada beberapa loker kosong di dekat kelasku, dan aku memilih loker pada baris kedua dari kiri. Lalu meletakkan buku-buku yang tadi ku pegang ke dalamnya. “Kau baik-baik saja?” Tanya seseorang tepat di telingaku. Aku meringis lalu menoleh. Lalu mendapati seorang anak laki-laki tersenyum. “Kenapa kemunculanmu selalu tiba-tiba?” ucapku dengan nada jengkel. “Ambil buku kimiamu. Jam pertama untuk hari ini adalah matematika,” ucapnya mengalihkan topik. Dia masih tersenyum. “Bercandamu tidak lucu,” responku malas. Kaito hanya meringis.“Aku berharap semoga tempat dudukku dipindahkan,” ucapku sambil bersandar pada lokerku. “Kau pasti akan kecewa. Kelas kita tidak menggunakan sistem seperti itu,” ucap Kaito sambali berjalan pergi. “Ah semoga Tuhan mencabut nyawaku sekarang,” ucapku menyusul. Kaito menoleh padaku dengan senyum tertahan. “Kau ini, sudah jangan bercanda! Kelas akan segera dimulai,” ucapnya sambil mempercepat langkahnya.

“Hei! Kuroba Kaito! Tunggu aku,” ucapku mencoba untuk mensejajarkan langkah ku. “Ternyata kamu masih membutuhkan ku” ucapnya. Lalu berhenti dan tertawa. “Ayo Ran! Kelas akan dimulai beberapa menit lagi, larilah!” ucapnya. “Aku tidak ingin melakukan ini lagi,” ucapku. Lalu berlari menuju kelas dengan malas. “Sepertinya aku harus membantumu,” ucap Kaito lalu menarik tanganku dan mengajak ku berlari.

*Touching him is like realizing all you ever wanted was right there in front of you…*
------------------------------

To be continue


Sabtu, 23 Mei 2015

Burning Red #1

oi oi readers! elsya kembali dengan fanfict anime :3 elsya masih belajar dalam hal ini jadi harap maklum! nah di sini ada bbrp bahasa jepang yg biasa di gunakan bagi kalian yg gak paham silahkan di tanyakan di kolom komentar! kyaa check this out!

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Judul: Burning Red
Rate: T
Genre: romance,family
Author: El
Lenght: Chaptered
Disclaimer: Gosho Aoyama
RnR *beta fict* 
J
Pair: Ran Mouri, Shinichi Kudo, Kaito Kuroba

“Saya Ran Mouri. Saya pindah ke sini karena perkerjaan ayah saya. Terima kasih”

“Terima kasih atas perkenalannya Mouri-chan. Nah sekarang silahkan duduk”

“Tapi sensei, saya duduk dimana?”

“Kau bisa duduk di samping Kuroba-kun,” ucap guru itu sambil menunjuk bangku kosong di samping seorang anak laki-laki.

“Arigatto sensei,” tukasku sambil berjalan menuju bangku kosong.

---------------------------------------------------

“Hey, aku Ran. Boleh pinjam buku mu, Kuroba-san?” ucapku mencoba untuk berbicara dengan teman kelasku yang baru. Dia memberikan buku itu tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. Aku menyerit kesal. Tidak mengerti apa yang membuat anak berambut hitam kecoklatan di sampingku ini tidak menoleh sedikit pun. “Hey! Kau tidak tau cara bersikap sopan pada perempuan, ya?” ucapku lagi, merasa jengkel. Dia menoleh sesaat, lalu kembali menatap ke depan. Sial. Aku mendengus.  Kenapa aku harus pindah ke sini hanya karena urusan pekerjaan ayahku?

#Bel Berdering

“Kau bisa meminta buku itu ke wali kelas kita,” ucap Kuroba sambil  merapikan buku-bukunya. Dia tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya ke arahku. “Yah, terima kasih atas informasinya Kuroba-san, tapi sayangnya aku tidak tau siapa wali kelas kita,” balasku kesal sambil ikut merapikan buku-buku ku. Laki-laki di hadapanku terdiam selama beberapa saat. Lalu menatapku jengah. “Kaito. Panggil aku Kaito. Kau hanya perlu pergi ke ruang guru lalu carilah Alex Sensei,” ucapnya sambil berjalan pergi. “Tuhan. Semoga wali kelas kita punya alasan yang baik atas sikap muridnya yang buruk itu” ucapku. Setelah itu aku memasukkan buku-buku ku ke dalam loker dan mencoba untuk pulang. Ah, rumah pasti akan terasa sepi tanpa ayah dan Conan (Dia adikku dan dia masih di LA bersama kakek-nenekku).

Aku mengemudikan mobil ku pelan-pelan. Berusaha untuk selambat mungkin sampai ke rumah. Aku menikmati suasana Jepang yang nyaman ini.  Sesampainya di rumah tiba-tiba saja handphoneku berbunyi.

“yup”

“Bagaimana sekolahnya sayang?”

“Baik, kenapa?”

“Oh, tidak ada yang salah, kok

“Ok”

“Jangan lupa makan siang ya? Tadi tousan sudah buatkan sushi lihat saja di meja makan”

“Hai otousan. Love you”

“Jaa”

Sepertinya aku butuh tidur siang.

--------------------------------------

Loving him is like driving a new maseraty down a dead end street. Faster than then wind, passionate as sin, ended so suddenly…

“Tousan, sepertinya aku membutuhkan jalan-jalan sebentar. Yah, aku mau mengenal lingkungan baru kita,” ucapku berdiri di depan pintu depan. Warna emas sudah menghiasi langit, seakan-akan merebutan untuk memamerkan warna indahnya pada penikmat di bumi. “itu ide yang bagus. Kamu mau tou-san ikut?” Tanya ayahku menawarkan diri. “Ah! Sepertinya tidak perlu. Mungkin nanti aku bisa berteman dengan orang-orang yang baru ku temui,” ucapku sambil tersenyum. Ayahku memang sedikit khawatiran. “Anakku sudah lebih dewasa ternyata. Ya sudah kau boleh pergi” ucap ayah mempersilahkan. Aku berjalan ke luar rumah, mulai melihat sekitar dan mencoba menikmati suasana sore. “Ran! Jangan lupa pulang sebelum jam makan malam!” ucap ayah sedikit berteriak. Aku menoleh, lalu mengangguk. “Dimengerti!” balasku sedikit berteriak juga.

Aku memilih lagu favoritku di Ipod dan berjalan-jalan pelan. Lingkungan di sini sangat indah. Daun-daun berwarna hijau berubah menjadi sedikit keemasan ditimpa matahari sore. Aku mendelik ketika menemukan danau kecil yang berada dekat dengan rumahku. Pikirku, ternyata ada juga danau menyerupai kanal di sini. Kalau aku bosan ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk melepas penat. Aku melihat beberapa pasangan yang sedang menikmati indahnya danau. Danau itu di kelilingi oleh rumpun lily berwarna jingga. Selaras dengan warna senja yang terpantul di genanang danau. Seandainya aku bisa menjadi salah satu dari mereka dengan pacar baruku. Mantan ku benar-benar tidak pantas ditawari untuk menikmati keindahan danau ini dengan ku. Aku masih menikmati keindahan danau sampai tiba-tiba ada yang menegurku.

“Sumiimasen, jika kau tidak langsung memindahkan langkahmu, kau akan terjatuh ke danau” ucapnya dengan nada peduli yang dipaksakan.
“A-arigatto..” ucapku kaget lalu menoleh untuk memerhatikan orang yang menegurku. “Ah! Kaito-kun!” ucapku sedikit berteriak karena lebih kaget dari sebelumnya.

“Kau tidak perlu sekaget itu. Uhh!? Ran? Apa yang kamu…”

“Apa yang aku lakukan di sini? Jalan-jalan,” tukasku memotongnya.

“Tapi kenapa….”

“Kenapa ke sini? Tentu saja karena rumahku berada tidak jauh dari sini”

“Hey! Kau membaca pikiranku!”

“Jangan salah paham dulu. Pikiranmu itu terlalu mudah untuk dilihat!”

“Ya ampun. Kenapa kamu harus pindah ke sini, sih?”

“Ya ampun juga, aku sudah memberitahukan alasannya”

“Ya apa katamu saja. Aku harus pergi”

“Sepertinya aku juga harus pergi. Ini sudah hampir waktu makan malam. Senang bertemu denganmu di sini Kaito-kun,” ucapku berbalik sambil melambaikan tangan.

“Buruk bertemu denganmu, Ran Mouri”

“Kau bisa bercanda ternyata” balasku sambil berjalan meninggalkan Kaito di belakangku. Sesampainya di rumah aku mendapati banyak sekali makanan yang tersajikan di meja makan. Ayah memang sangat baik dalam urusan masak dan masakan buatannya pun sangat pas di lidah. Terima kasih Tuhan untuk hal itu.

“Dengar Ran. Malam ini kita akan kedatangan tamu untuk makan malam. Jadi bersikap manislah dan berpakaianlah yang baik,” ucap Ayah sambil merapikan tatanan meja makan. Aku meringis tak suka. Ini makan malam pertama di rumah ini dan kami kedatangnan tamu? Ah hari yang buruk. “Ha’I,” ucapku malas. “Otousan tau kamu akan senang setelah bertemu dengan tamu kita nanti,” ucap ayah sambil tersenyum. “Aku berharap,” ucapku semakin malas. Sespesial apakah tamu kami kali ini? Sampai ayah ku yang selalu tenang itu memerintahkan hal yang tidak biasa padaku. “Jadilah putri yang cantik untuk otousan nanti malam,” ucap ayah kemudian masih tersenyum. “I’m just beautiful me” tukasku malas.

-----------------------

Loving him is like trying to change your mind, once you already flying through the freefall. Like the colors in autumn so bright, just before they lose it all…

“Silahkan masuk,Ojii-san to oba-san,” ucapku sambil menundukkan badan, mempersilahkan tamu kami masuk. Sepertinya aku pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Tapi entahlah kapan. “Wah Ran-chan, kau cantik sekali. Oba-san heran kenapa Shin-chan bisa memutuskan hubungan kalian,” ucap bibi itu sambil berjalan masuk ke rumahku. Rambutnya berwarna coklat terurai panjang, lalu melengkung di bagian depannya. Aku menyukai mata birunya yang menenangkan itu. Tunggu dulu, Shin-chan? Shin-chan memutuskan hubungannya denganku? Siapa Shin-chan itu? Aku termenung memikirkannya. Namun menyerah setelah beberapa menit tebuang percuma. Itu hanya membuatku pusing.

“Konbawa Ran-chan,” suara seorang laki-laki yang terasa familiar di telingaku.


Aku menoleh lalu mendapati diri bahwa aku sudah tenggelam dalam mata birunya. Rambut coklat kehitamannya menjuntai menutupi beberapa bagian di wajahnya. Tunkaiku terasa lemas seketika, lalu air mata di pelupukku seakan berkumpul untuk memaksa keluar. “Ah! Kenapa kau di sini, brengsek?!” bentakku. Berusaha untuk tidak terpengaruhi oleh senyum laki-laki berpostur tinggi di hadapanku.

-------------------------------------------------------------------

Okeeh sepertinya akan berlanjut :3 ditunggu ya lanjutannya. *semoga ada yang penasaran* Jaaa