yo! minna! bagi para pecinta misteri, aku bikin cerbung misteri :D tenang chapternya 2 kok '-' yosha! check it out!
------------------------------------
"Adrienne, pinjamkan aku komik barumu, dong?” pinta Orlando
yan tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. “Hoi! Kalau masuk kamar cewek
itu ketuk pintu dulu! Dasar mesum!” bentakku tidak suka. Orlando menatapku jengah.
“Aku masuk karena aku tau kalau kamu tidak sedang ganti baju,” tukasnya sambil
melihat deretan komik yang baru ku beli kemarin. Dia memilah mana yang
menurutnya menarik dan mana yang tidak. “Nah, aku pinjam yang ini,” ucapnya
kemudian sambil membawa 3 buah komik Detective Conan. “Huh, jangan sampai
rusak,” ucapku member izin. Sudut bibirnya terangkat, aku menatapnya jengah.
“Tentu saja,” ucapnya lalu melangkah ke kasurku. Aku memperhatikan kelakuan
Orlando lalu menyerit. “Nah, adik kembarku yang manis biarkan kakakmu ini
membaca dengan tenang,” perintahnya sambil tiduran di kasurku. Mata hijaunya
bergerak mengejek. “Ya Tuhan, kenapa laki-laki selalu bertingkah semau mereka?”
ujarku bergumam. Orlando terkekeh mendengar gumamanku. Aku melihat laptopku yang
berkedip-kedip, menandakan adanya pesan masuk. Dengan semangat aku membukanya
dan mendapati pesan dari ayahku. Semangatku hilang seketika itu juga.
Ada yang ingin ayah
bicarakan. Cepat ajak kakakmu turun.
Aku
meringis. Rasanya ingin sekali ku banting laptop merah pucatku sekarang juga.
Ayah selalu seperti ini. “Hoi! Kak,” ucapku sedikit berteriak. Orlando hanya
melirikku dengan ekor matanya. “Ada yang ingin di bicarakan oleh ayah. Dia
meminta kita untuk turun,” lanjutku. Aku menghembuskan nafas, lalu berdiri.
“Ayo kak,” ujarku sambil menyakinkan diri sendiri di depan cermin.
Sepertinya
aku sudah bercerita terlalu banyak sebelum memperkenalkan diri. Kalau begitu,
kenalkan namanya Adrienne Sa’ri. Aku memiliki garis keturunan yang bercampur
antara Eropa dengan Indonesia. Ibuku sudah lama meninggal, aku tidak tau
pastinya kenapa. Jadi ku pikir ibuku meninggal ketika melahirkanku dengan
kakakku karena aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Oh iya, kakak yang ku
maksud di sini adalah Orlando Sa’ri, kakak kembarku. Aku selalu menyukai senyum
jengahnya dan tatapan jenaka mata hijau menenangkannya. Berbeda denganku,
mataku berwarna abu-abu pucat. Rambut Oralando dipotong acak dan –bagiku-
terlihat malas. Aku juga menyukai rambut hitam kecoklatannya, yang terlihat
sangat cocok dengan mata hijaunya. Yah, hal ini membuatku membenci rambut
berwarna perak milikku yang –walaupun- cocok-dengan-warna-mataku aku merasa
seperti memiliki banyak uban di usia mudaku. Baiklah, kembali pada kakakku. Dia
ini seorang otaku tingkat berat. Sebenarnya aku juga otaku, tapi aku lebih suka
membaca komik daripada menonton anime. Jadi mungkin aku tidak bisa digolongkan
ke otaku tingkat berat. Aku selalu mengagumi kakakku yang memiliki otak
secerdas Holmes. Ah aku lupa memberitahumu bahwa kakakku ini penggila misteri
seperti Shinichi Kudo dalam serial Detective Conan. Terkadang aku berharap bisa
menjadi Watson untuknya, tapi aku tidak suka menulis. Aku lebih suka mengotak –
atik laptopku untuk membuat program baru yang bisa berguna untuk diriku
sendiri. Ralat, untukku dan kakakku. Selain itu, kakakku tidak pernah
benar-benar memecahkan kasus besar seperti pembunuhan massal ataupun
perampokan. Aku hanya memperhatikannya sesekali ketika memecahkan permasalahan
kecil di sekolah.
Kami
sampai di ujung tangga ketika ayah berdiri sambil melipat tangannya di dada.
“Duduklah,” ucap ayah sambil menunjuk sofa coklat di depannya. Kami menurut
sambil melihat ayah yang berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Hening mengisi
waktu selama beberapa saat. Orlando terlihat tidak peduli namun senyum
jengahnya memberitahuku bahwa dia malas berhadapan dengan ayah yang jarang
sekali pulang. Ayah kami berkerja sebagai intel di kepolisian. Aku tidak tau
pekerjaan seperti apa yang ayah lakukan sampai-sampai dia jarang memiliki waktu
untuk mengurusiku dan Oralando. “Karena kalian sudah kelas 2 SMA aku akan
mengajak kalian untuk ikut bersamaku,” ujar ayah secara tiba-tiba. Aku dan
Orlando mendengus secara bersamaan. “Aku tidak mau,” ucap Orlando, masih dengan
wajah malas yang terang-terangan di tunjukkannya. “Tolonglah,” ucap ayah dengan
nada gusar yang jarang sekali ia tunjukkan pada kami. Ugh, bahkan seingatku dia
tidak pernah menggunakan nada menyebalkan itu di hadapan kami. Orlando
mendengus kesal. Lalu menatap ayah sinis. “Ceritakan,” ucapnya kemudian. Aku
bisa melihat tubuh ayah gemetar, lalu tungkainya melemah dan dia jatuh terduduk
di lantai. “Aku.. mayat…” ucap ayah meracau. Kedua alis Orlando menyerit tak
suka. “Ceritakan dengan jelas. Kami tidak yakin bisa membantu, tapi kami akan
mencoba melakukannya demi….” Orlando terdiam sejenak. Lalu sambil menghela
nafas dia melanjutkan “Demi ayah.”
Ayah
mendongak melihat Orlando. Memastikan tidak ada kebohongan di mata anak
laki-lakinya. Lalu samar-samar ayah tersenyum getir. “Itulah yang aku harapkan
dari anak-anakku,” ucapnya sambil berdiri. Lalu ayah memalingkan wajahnya ke
langit-langit. “Aku melihat mayat, terbujur kaku. Wajahya menyeramkan, ku pikir
karena ketakutan yang berlebih,” ujar ayah. Masih menatap langit-langit. Aku
bisa melihat mata Orlando membulat penasaran. “Lalu, apa yang ayah inginkan
dari kami?” Tanya Orlando. Ayah tersenyum nanar. Merasa enggan untuk meminta
bantuan kepada anaknya. “Itu pertanyaan retoris?” ucapnya kemudian, balik
bertanya. Orlando mendengus tak puas. Aku mendekatinya, menggenggam tangannya
untuk memberi kesabaran. Dia menatapku dalam diam, lalu tersenyum samar.
“Bergegaslah untuk bersipa-siap,” ucap ayah. Kalau aku tidak salah dengar, aku
mendapati nada takut dalam suara ayah yang memerintah itu. Kami mengangguk
bersamaan. Penasaran dengan kejutan apa yang akan ayah berikan kepada kami.
---------------------------------------------------------
“Seperti
rumah kaca,” ucap Orlando. Aku mengangguk setuju, mendapati bahwa diriku dikelilingi
oleh berbagai macam tumbuhan. “Angel trumpet,” gumamku ketika aku mencium aroma
yang jarang sekali ku cium, namun tidak kunjung menemukan sumber aroma tersebut.
Orlando menatapku cemas, “hati-hati,” ujarnya sambil mengelus rambut perakku.
Aku mengangguk, lalu menutup hidung dengan jari telunjukku. Angel trumpet
adalah tanaman dengan bunga yang bisa di golongkan narkotika. Hal ini
dikarenakan aroma angel trumpet dapat menimbulkan halusinasi yang berlebihan
pada penghirupnya. Dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kematian. Orlando
menyerit sembentar memandangi rumpun bunga kecil yang bejajar rapi di dinding
pagar yang menyerupai lembah. “Lily,” gumamnya pelan. “Huh?” tanyaku bingung.
Dia menggeleng. Aku memperhatikan arah pandangan Orlando. Bunga-bunga kecil iu
berwarna putih, menunduk seolah-olah patuh menghormati pengunjung yang datang
melihat. Aku berjalan menghampiri bunga itu. “Adrienne, bisa tolong ambilkan
sample sidik jari dari bunga itu?” pinta Orlando yang tiba-tiba berada di
sampingku. Dia menunjuk rumpun bunga yang tidak sebanyak bunga yang lainnya.
Aku mengangguk lalu mengambil tablet pc ku dan memotret bunga itu. Lalu
memasukkan foto itu ke aplikasi yang ku buat sendiri untuk mendapatkan sidik
jari. Aku member isyarat kepada Orlando, bahwa aku selesai. Orlando tersenyum
mengiyakan.
Ayah
menuntun kami masuk ke dalam rumah yang sudah di penuhi orang-orang berseragam
polisi. “Biarkan kami melihat mayatnya,” ucap ayah meminta kepada
polisii-polisi itu. “Tersangka tidak boleh melihat korban,” ucap salah satu
dari polisi. Aku bisa merasa bahwa mataku membulat, terkejut. Ayah kami..
tersangka? Aku menatap ayah, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan
ketakutannya. “Uhm, maaf apa aku boleh bertanya?” ujarku sambil mendekati salah
satu polisi yang menurutku ramah. “Silahkan saja,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ke-kenapa ayahku bisa menjadi tersangka?” ujarku pelan, takut salah memilih
kata. “Ada beberapa alasan, yang pertama ayahmu berada di sini ketika waktu
kejadian dan yang kedua ayahmu memiliki motif untuk membunuh korban,” tutur
polisi itu. “Lalu apa motif ayah?” tanyaku lagi. “Mereka berdua sedang
memperebutkan posisi intel tertinggi di kepolisian, dengan membunuh korban,
ayahmu tidak memiliki saingan lagi,” jawabnya jelas. Aku mengangguk mengerti,
“lalu, selain ayah, apakah ada tersangka yang lain?” tanyaku setelah beberapa
saat diam. Polisi itu mengangguk, “Dia sedang di toilet sekarang,” ucap salah
satu polisi yang terkesan ramah. “Jangan melibatkan anak kecil, bodoh!” bentak
polisi lainnya. Aku tersenyum meminta maaf lalu mengalihkan perhatianku kepada
Orlando. Berbeda denganku, Orlando terlihat memperhatikan seluruh isi ruangan.
Dia mendekati lilin tak beralas di atas meja. Memperhatikannya dengan baik lalu
memanggilku. Dia mengangkat dua cangkir kopi di bawah meja. “Itu juga,” ucapnya
sambil meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Aku mengangguk mengerti lalu
melakukan hal serupa yang ku lakukan untuk bunga di luar tadi. Salah satu
cangkir tersebut memiliki sidik jari yang bisa dikatakan sama dengan sidik jadi
yang ku temukan di bunga tadi. Sesudahnya aku baru memperhatikan rumah itu.
Walaupun dari luar rumah ini terlihat asri namun dalamnya terasa suram dan
sedikit pengap. Ayah berdiri di dekat lemari besar sambil memandang kosong ke
arah kami.
“Dimana mayatnya?” Tanya Orlando. Polisi-polisi itu tak acuh. Aku
memandang ayah, lalu melihatnya menunjuk ke arah kamar yang pintunya
tertutup. Pintu kamar itu menjulang
tinggi dan besar. “Di situ,” tunjukku sambil menggenggam tangan Orlando. Dia
menatapku sebentar lalu mengangguk dan menarikku kea rah pintu tersebut. “Jangan
disentuh,” ucapnya tepat ketika aku hendak memegang kenop pintu. Orlando
kemudian mengambil pcku lalu mendeketsi sidik jari di kenop itu. “Apa sidik
jari ini memiliki kesamaan dengan salah satu sidik jari di cangkir?” Tanya
Orlando, sambil menatapku. Aku mengangguk. Matanya membulat. “Sama dengan sidik
jari yang ada di bunga kecil tadi,” lanjutku. Orlando mendengus. Sejauh ini aku
belum bisa mengetahui apa yang benar-benar dia pikirkan. Dia mengecek ponselnya
sesaat lalu berbisik padaku, “sidik jari di cangkir yang satunya adalah milik
ayah.”
“Kalau
begitu, bisa dipastikan bahwa bukan ayah pelakunya,” ucapku mantap. Ekor mataku
melirik ayah yang masih berdiri di tempatnya tadi. Dia menggosokkan tangannya,
huh mungkin dia kedinginan. Aku mengekor Orlando yang memasuki kamar setelah
membuka kenopnya dengan sapu tangan yang entah darimana asalnya. Aroma almond
langsung menyeruak menusuk hidung. “Sianida?” tanyaku setelah beberapa langkah.
Orlando menggeleng, “bukan,” ucapnya. Lalu duduk untuk memungguti beberapa
pecahan kacang almond yang remuk. “Kacang almond tidak mengeluarkan bau,”
ucapku membisik Orlando. “Aku tahu,” ujarnya. Wajahnya tampak berpikir namun
pandangannya tetap menelusuri seisi kamar. “Itu dia,” ucapnya setelah beberapa
menit. Aku masih terus mengekornya sampai dia berlutut di hadapan mayat yang
benar-benar kaku terlentang di dekat kasur. Mata mayat itu terbuka, menatap
nyalang dengan aura murka. Seakan-akan dia akan menyerang siapa saja yang
mendekatinya. Mulutnya menganga menyeramkan, seperti menahan rasa sakit yang
teramat sangat memilukan. Namun tetap saja, tubuh menyeramkan di hadapanku ini
sudah lama mati dengan mengenaskan. Aku memperhatikan Orlando yang sepertinya
sedang mengumpulkan sesuatu. Sial, aku tidak tahu apa yang sedang dia
kumpulkan, dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. “Dia keracunan,”
ucap Orlando yakin. “Aku tau,” tukasku jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita
bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku
sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap
Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya. Aku terdiam,
berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di
telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan
lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub.
Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?”Tanya
seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam.
Orlando tersenyum puas, yakin dengan apa yang dia katakanya. “Si-siapa?”
Halo ^^ Aku baru pertama ini berkunjung ke blog mu, dan mau kasih review
BalasHapusDari segi ketikan, di bagian awal sama di pertengahan ada typo ya. Kapan" dicek lagi sebelum publish. Terus ada salah penempatan font. Waktu bagian awal menggunakan font "A", waktu di bagian pesan ayah sengaja dibedakan menggunakan font "B", tapi setelahnya kebablasan tidak di kembalikan ke font "A". Lalu, begitu banyak dialog yang dijadikan 1 paragraf membuat pembacaannya jadi agak rumit. Lebih baik tiap dialog dijadikan 1 baris sendiri dan diberi space
Untuk segi cerita, di post berikutnya saja ya, karena ini kan masih berlanjut. Sekian dan keep writing