Senin, 25 Mei 2015

Guess!

yo! minna! bagi para pecinta misteri, aku bikin cerbung misteri :D tenang chapternya 2 kok '-' yosha! check it out!


------------------------------------


"Adrienne, pinjamkan aku komik barumu, dong?” pinta Orlando yan tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. “Hoi! Kalau masuk kamar cewek itu ketuk pintu dulu! Dasar mesum!” bentakku tidak suka. Orlando menatapku jengah. “Aku masuk karena aku tau kalau kamu tidak sedang ganti baju,” tukasnya sambil melihat deretan komik yang baru ku beli kemarin. Dia memilah mana yang menurutnya menarik dan mana yang tidak. “Nah, aku pinjam yang ini,” ucapnya kemudian sambil membawa 3 buah komik Detective Conan. “Huh, jangan sampai rusak,” ucapku member izin. Sudut bibirnya terangkat, aku menatapnya jengah. “Tentu saja,” ucapnya lalu melangkah ke kasurku. Aku memperhatikan kelakuan Orlando lalu menyerit. “Nah, adik kembarku yang manis biarkan kakakmu ini membaca dengan tenang,” perintahnya sambil tiduran di kasurku. Mata hijaunya bergerak mengejek. “Ya Tuhan, kenapa laki-laki selalu bertingkah semau mereka?” ujarku bergumam. Orlando terkekeh mendengar gumamanku. Aku melihat laptopku yang berkedip-kedip, menandakan adanya pesan masuk. Dengan semangat aku membukanya dan mendapati pesan dari ayahku. Semangatku hilang seketika itu juga.
 

Ada yang ingin ayah bicarakan. Cepat ajak kakakmu turun. 


Aku meringis. Rasanya ingin sekali ku banting laptop merah pucatku sekarang juga. Ayah selalu seperti ini. “Hoi! Kak,” ucapku sedikit berteriak. Orlando hanya melirikku dengan ekor matanya. “Ada yang ingin di bicarakan oleh ayah. Dia meminta kita untuk turun,” lanjutku. Aku menghembuskan nafas, lalu berdiri. “Ayo kak,” ujarku sambil menyakinkan diri sendiri di depan cermin.

 Sepertinya aku sudah bercerita terlalu banyak sebelum memperkenalkan diri. Kalau begitu, kenalkan namanya Adrienne Sa’ri. Aku memiliki garis keturunan yang bercampur antara Eropa dengan Indonesia. Ibuku sudah lama meninggal, aku tidak tau pastinya kenapa. Jadi ku pikir ibuku meninggal ketika melahirkanku dengan kakakku karena aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Oh iya, kakak yang ku maksud di sini adalah Orlando Sa’ri, kakak kembarku. Aku selalu menyukai senyum jengahnya dan tatapan jenaka mata hijau menenangkannya. Berbeda denganku, mataku berwarna abu-abu pucat. Rambut Oralando dipotong acak dan –bagiku- terlihat malas. Aku juga menyukai rambut hitam kecoklatannya, yang terlihat sangat cocok dengan mata hijaunya. Yah, hal ini membuatku membenci rambut berwarna perak milikku yang –walaupun- cocok-dengan-warna-mataku aku merasa seperti memiliki banyak uban di usia mudaku. Baiklah, kembali pada kakakku. Dia ini seorang otaku tingkat berat. Sebenarnya aku juga otaku, tapi aku lebih suka membaca komik daripada menonton anime. Jadi mungkin aku tidak bisa digolongkan ke otaku tingkat berat. Aku selalu mengagumi kakakku yang memiliki otak secerdas Holmes. Ah aku lupa memberitahumu bahwa kakakku ini penggila misteri seperti Shinichi Kudo dalam serial Detective Conan. Terkadang aku berharap bisa menjadi Watson untuknya, tapi aku tidak suka menulis. Aku lebih suka mengotak – atik laptopku untuk membuat program baru yang bisa berguna untuk diriku sendiri. Ralat, untukku dan kakakku. Selain itu, kakakku tidak pernah benar-benar memecahkan kasus besar seperti pembunuhan massal ataupun perampokan. Aku hanya memperhatikannya sesekali ketika memecahkan permasalahan kecil di sekolah.
 

Kami sampai di ujung tangga ketika ayah berdiri sambil melipat tangannya di dada. “Duduklah,” ucap ayah sambil menunjuk sofa coklat di depannya. Kami menurut sambil melihat ayah yang berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Hening mengisi waktu selama beberapa saat. Orlando terlihat tidak peduli namun senyum jengahnya memberitahuku bahwa dia malas berhadapan dengan ayah yang jarang sekali pulang. Ayah kami berkerja sebagai intel di kepolisian. Aku tidak tau pekerjaan seperti apa yang ayah lakukan sampai-sampai dia jarang memiliki waktu untuk mengurusiku dan Oralando. “Karena kalian sudah kelas 2 SMA aku akan mengajak kalian untuk ikut bersamaku,” ujar ayah secara tiba-tiba. Aku dan Orlando mendengus secara bersamaan. “Aku tidak mau,” ucap Orlando, masih dengan wajah malas yang terang-terangan di tunjukkannya. “Tolonglah,” ucap ayah dengan nada gusar yang jarang sekali ia tunjukkan pada kami. Ugh, bahkan seingatku dia tidak pernah menggunakan nada menyebalkan itu di hadapan kami. Orlando mendengus kesal. Lalu menatap ayah sinis. “Ceritakan,” ucapnya kemudian. Aku bisa melihat tubuh ayah gemetar, lalu tungkainya melemah dan dia jatuh terduduk di lantai. “Aku.. mayat…” ucap ayah meracau. Kedua alis Orlando menyerit tak suka. “Ceritakan dengan jelas. Kami tidak yakin bisa membantu, tapi kami akan mencoba melakukannya demi….” Orlando terdiam sejenak. Lalu sambil menghela nafas dia melanjutkan “Demi ayah.”

Ayah mendongak melihat Orlando. Memastikan tidak ada kebohongan di mata anak laki-lakinya. Lalu samar-samar ayah tersenyum getir. “Itulah yang aku harapkan dari anak-anakku,” ucapnya sambil berdiri. Lalu ayah memalingkan wajahnya ke langit-langit. “Aku melihat mayat, terbujur kaku. Wajahya menyeramkan, ku pikir karena ketakutan yang berlebih,” ujar ayah. Masih menatap langit-langit. Aku bisa melihat mata Orlando membulat penasaran. “Lalu, apa yang ayah inginkan dari kami?” Tanya Orlando. Ayah tersenyum nanar. Merasa enggan untuk meminta bantuan kepada anaknya. “Itu pertanyaan retoris?” ucapnya kemudian, balik bertanya. Orlando mendengus tak puas. Aku mendekatinya, menggenggam tangannya untuk memberi kesabaran. Dia menatapku dalam diam, lalu tersenyum samar. “Bergegaslah untuk bersipa-siap,” ucap ayah. Kalau aku tidak salah dengar, aku mendapati nada takut dalam suara ayah yang memerintah itu. Kami mengangguk bersamaan. Penasaran dengan kejutan apa yang akan ayah berikan kepada kami.

---------------------------------------------------------


“Seperti rumah kaca,” ucap Orlando. Aku mengangguk setuju, mendapati bahwa diriku dikelilingi oleh berbagai macam tumbuhan. “Angel trumpet,” gumamku ketika aku mencium aroma yang jarang sekali ku cium, namun tidak kunjung menemukan sumber aroma tersebut. Orlando menatapku cemas, “hati-hati,” ujarnya sambil mengelus rambut perakku. Aku mengangguk, lalu menutup hidung dengan jari telunjukku. Angel trumpet adalah tanaman dengan bunga yang bisa di golongkan narkotika. Hal ini dikarenakan aroma angel trumpet dapat menimbulkan halusinasi yang berlebihan pada penghirupnya. Dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kematian. Orlando menyerit sembentar memandangi rumpun bunga kecil yang bejajar rapi di dinding pagar yang menyerupai lembah. “Lily,” gumamnya pelan. “Huh?” tanyaku bingung. Dia menggeleng. Aku memperhatikan arah pandangan Orlando. Bunga-bunga kecil iu berwarna putih, menunduk seolah-olah patuh menghormati pengunjung yang datang melihat. Aku berjalan menghampiri bunga itu. “Adrienne, bisa tolong ambilkan sample sidik jari dari bunga itu?” pinta Orlando yang tiba-tiba berada di sampingku. Dia menunjuk rumpun bunga yang tidak sebanyak bunga yang lainnya. Aku mengangguk lalu mengambil tablet pc ku dan memotret bunga itu. Lalu memasukkan foto itu ke aplikasi yang ku buat sendiri untuk mendapatkan sidik jari. Aku member isyarat kepada Orlando, bahwa aku selesai. Orlando tersenyum mengiyakan.


Ayah menuntun kami masuk ke dalam rumah yang sudah di penuhi orang-orang berseragam polisi. “Biarkan kami melihat mayatnya,” ucap ayah meminta kepada polisii-polisi itu. “Tersangka tidak boleh melihat korban,” ucap salah satu dari polisi. Aku bisa merasa bahwa mataku membulat, terkejut. Ayah kami.. tersangka? Aku menatap ayah, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Uhm, maaf apa aku boleh bertanya?” ujarku sambil mendekati salah satu polisi yang menurutku ramah. “Silahkan saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Ke-kenapa ayahku bisa menjadi tersangka?” ujarku pelan, takut salah memilih kata. “Ada beberapa alasan, yang pertama ayahmu berada di sini ketika waktu kejadian dan yang kedua ayahmu memiliki motif untuk membunuh korban,” tutur polisi itu. “Lalu apa motif ayah?” tanyaku lagi. “Mereka berdua sedang memperebutkan posisi intel tertinggi di kepolisian, dengan membunuh korban, ayahmu tidak memiliki saingan lagi,” jawabnya jelas. Aku mengangguk mengerti, “lalu, selain ayah, apakah ada tersangka yang lain?” tanyaku setelah beberapa saat diam. Polisi itu mengangguk, “Dia sedang di toilet sekarang,” ucap salah satu polisi yang terkesan ramah. “Jangan melibatkan anak kecil, bodoh!” bentak polisi lainnya. Aku tersenyum meminta maaf lalu mengalihkan perhatianku kepada Orlando. Berbeda denganku, Orlando terlihat memperhatikan seluruh isi ruangan. Dia mendekati lilin tak beralas di atas meja. Memperhatikannya dengan baik lalu memanggilku. Dia mengangkat dua cangkir kopi di bawah meja. “Itu juga,” ucapnya sambil meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Aku mengangguk mengerti lalu melakukan hal serupa yang ku lakukan untuk bunga di luar tadi. Salah satu cangkir tersebut memiliki sidik jari yang bisa dikatakan sama dengan sidik jadi yang ku temukan di bunga tadi. Sesudahnya aku baru memperhatikan rumah itu. Walaupun dari luar rumah ini terlihat asri namun dalamnya terasa suram dan sedikit pengap. Ayah berdiri di dekat lemari besar sambil memandang kosong ke arah kami. 


“Dimana mayatnya?” Tanya Orlando. Polisi-polisi itu tak acuh. Aku memandang ayah, lalu melihatnya menunjuk ke arah kamar yang pintunya tertutup.  Pintu kamar itu menjulang tinggi dan besar. “Di situ,” tunjukku sambil menggenggam tangan Orlando. Dia menatapku sebentar lalu mengangguk dan menarikku kea rah pintu tersebut. “Jangan disentuh,” ucapnya tepat ketika aku hendak memegang kenop pintu. Orlando kemudian mengambil pcku lalu mendeketsi sidik jari di kenop itu. “Apa sidik jari ini memiliki kesamaan dengan salah satu sidik jari di cangkir?” Tanya Orlando, sambil menatapku. Aku mengangguk. Matanya membulat. “Sama dengan sidik jari yang ada di bunga kecil tadi,” lanjutku. Orlando mendengus. Sejauh ini aku belum bisa mengetahui apa yang benar-benar dia pikirkan. Dia mengecek ponselnya sesaat lalu berbisik padaku, “sidik jari di cangkir yang satunya adalah milik ayah.”


“Kalau begitu, bisa dipastikan bahwa bukan ayah pelakunya,” ucapku mantap. Ekor mataku melirik ayah yang masih berdiri di tempatnya tadi. Dia menggosokkan tangannya, huh mungkin dia kedinginan. Aku mengekor Orlando yang memasuki kamar setelah membuka kenopnya dengan sapu tangan yang entah darimana asalnya. Aroma almond langsung menyeruak menusuk hidung. “Sianida?” tanyaku setelah beberapa langkah. Orlando menggeleng, “bukan,” ucapnya. Lalu duduk untuk memungguti beberapa pecahan kacang almond yang remuk. “Kacang almond tidak mengeluarkan bau,” ucapku membisik Orlando. “Aku tahu,” ujarnya. Wajahnya tampak berpikir namun pandangannya tetap menelusuri seisi kamar. “Itu dia,” ucapnya setelah beberapa menit. Aku masih terus mengekornya sampai dia berlutut di hadapan mayat yang benar-benar kaku terlentang di dekat kasur. Mata mayat itu terbuka, menatap nyalang dengan aura murka. Seakan-akan dia akan menyerang siapa saja yang mendekatinya. Mulutnya menganga menyeramkan, seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat memilukan. Namun tetap saja, tubuh menyeramkan di hadapanku ini sudah lama mati dengan mengenaskan. Aku memperhatikan Orlando yang sepertinya sedang mengumpulkan sesuatu. Sial, aku tidak tahu apa yang sedang dia kumpulkan, dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. “Dia keracunan,” ucap Orlando yakin. “Aku tau,” tukasku jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya. Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?”Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum puas, yakin dengan apa yang dia katakanya. “Si-siapa?” 

1 komentar:

  1. Halo ^^ Aku baru pertama ini berkunjung ke blog mu, dan mau kasih review

    Dari segi ketikan, di bagian awal sama di pertengahan ada typo ya. Kapan" dicek lagi sebelum publish. Terus ada salah penempatan font. Waktu bagian awal menggunakan font "A", waktu di bagian pesan ayah sengaja dibedakan menggunakan font "B", tapi setelahnya kebablasan tidak di kembalikan ke font "A". Lalu, begitu banyak dialog yang dijadikan 1 paragraf membuat pembacaannya jadi agak rumit. Lebih baik tiap dialog dijadikan 1 baris sendiri dan diberi space

    Untuk segi cerita, di post berikutnya saja ya, karena ini kan masih berlanjut. Sekian dan keep writing

    BalasHapus