Kamis, 06 Agustus 2015

Guess! The Frogs Terror

Aku memperhatikan kakak kembarku yang mengacak-acak rambut hitam kecoklatannya. “Kak?” panggilku sambil memperbaiki program gagal yang kubuat di PCku. Orlando menoleh ke arahku, “Ad, aku mau pinjam komik lagi,” ucapnya. Setelah itu, dia kembali mengacak-acak rambutnya sambil memperhatikan deretan komikku di rak buku. “Ya, jangan dirusak,” tukasku malas. “Nggak ada Detective Conannya Aoyama yang baru ya?” tanyanya. Aku tidak menggubris. Sepertinya Orlando sudah lelah mencari setelah lama kudiamkan. Sekarang dia berjalan ke arah jendela kamar dan menutup sebagian tirainya. “Sinar matahari itu tidak terlalu baik untuk otak,” ucapnya sambil melemparkan diri ke kasur. Aku mendengus. Darimana dia dapat teori aneh seperti itu?
“Adrienne,” panggilnya. Aku bergumam malas sebagai jawaban. “Apa sebaiknya kita berhenti sekolah saja?” tanya Orlando. Aku sontak berbalik untuk menatapnya “Kenapa harus berhenti sekolah?” tanyaku kaget. Orlando menutup matanya, “kita nggak punya uang. Ayah sedang ditahan. Ibu sudah meninggal. Kalau kita sekolah bagaimana kita makan nantinya?” tanyanya. “Bagaimana kalau kakak saja yang berheti sekolah? Kan kakak lebih tua dariku,” ucapku dengan wajah polos yang kupaksakan. “Enak aja!” jawab Orlando cepat. “Cuma beda 5 menit!” lanjut Orlando tidak suka, masih sambil menutup matanya. Aku tertawa. “Aku mau. Berhenti sekolah,” ucapku sambil tersenyum. Orlando membuka matanya lalu terduduk dengan tiba-tiba. “Serius?” tanyanya tidak yakin. Aku mengangguk, membuat rambut perakku terayun pelan. “Haahh,” ujar Orlando sambil menghempaskan tubuhnya di kasur lagi. “Baguslah. Tadi kupikir akan menghabiskan banyak waktu untuk membujuk adik kembarku ini,” ucapnya kemudian. “Eh! Ada syaratnya kakak….” Ucapku masih sambil tersenyum. “Heeh?” tukas Orlando kaget bercampur tidak suka. “Apa syaratnya?” tanya Orlando setelah cukup lama.

Tok…. Tok…. Tok….

“Kak?” aku menatap Orlando bingung. “Aku yang bukain, kamu mau ikut turun?” tanya Orlando sambil berjalan ke arah pintu kamar. “Ikut,” ucapku lalu mensejajari langkahnya.
Kakakku merapikan rambut acak-acakannya ketika menghadapi seorang wanita dewasa yang berdiri di depan kami. “Maaf, sepertinya anda salah rumah,” ucap Orlando sambil menatap wanita cantik di hadapan kami. Wanita itu menggeleng, lalu tersenyum ramah. “Kediaman keluarga Sa’ri kan?” tanyanya. Masih sambil tersenyum. Aku dan Orlando mengangguk gugup karena kami tidak pernah menerima tamu sebelumnya. “Kalau begitu saya tidak salah rumah. Nah, boleh saya masuk?” tanya wanita itu sambil melepas alas kakinya. “Ugh, dipakai saja. Bagian bawah rumah ini jarang kami tempati jadi sedikit berdebu,” ujarku melarang. Wanita itu mengangguk. “Anake,” ucapnya sambil berjalan masuk rumah. “Adrienne, dan ini saudara kembarku, Orlando,” ucapku tangkas. Orlando hanya mendengus malas ketika meyadari bahwa kami benar-benar mendapat tamu sekarang. “Wah tidak perlu bersopan-santun ya?” tanya Nyonya Anake sambil mengibaskan rambut hitamnya. Dia melirik sofa yang sedikit berdubu lalu duduk dengan paksa di atasnya. “Baiklah, aku ke sini untuk meminta bantuan kalian. Aku mendapat kabar di koran bahwa kalian membantu polisi untuk menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan,” ucapnya setelah beberapa lama terdiam. Orlando tidak menggubris sama sekali.

Justru dia sibuk memainkan rambutnya yang mulai menjutai menutupi matanya. “Kami tidak punya apa-apa untuk disuguhi kepada tamu dan kami tidak yakin bisa membantu anda, Nyonya Anake,” ucapku sopan. Wanita itu menggeleng, lalu merogoh sesuatu dari tasnya.
 “Aku bisa memberikan ini kepada kalian asalkan kalian mau membantuku,” ucapnya sambil mengeluarkan selembar cek. Orlando yang tampak tidak peduli itu pada akhirnya melirik cek tersebut. “Wah, 5 Juta? Untuk anak seusia kami?” tanya Orlando tidak yakin dengan angka yang tertera pada cek tersebut. “Aku akan memberikan 5 juta sisanya ketika kalian bisa menyelsaikan masalahku dengan baik,” ucap Nyonya Anake. “Bagus, sekarang apa yang bisa kami lakukan?” tanya Orlando sambil mengantongi cek yang tadi dipegangnya. Dasar mata duitan!
“Aku ingin kalian menyelidiki, ada yang aneh dengan halaman rumahku. Sekitar 3 hari yang lalu uhm sampai sekarang aku mendengar suara kodok yang sangat berisik. Dimulai dari jam 7 malam, lalu ….”

“Maaf? Suara kodok?” potong Orlando tidak yakin.

“Iya, suara kodok”

“Bagaimana bisa ada suara kodok ketika sedang musim kemarau?” ujar Orlando sambil menyerit bingung.

“Itu merupakan salah satu hal aneh juga,”

“Salah satu? Berarti ada hal aneh lainnya?”

“Ya, setiap menjelang tengah malam suara kodok yang keras dan berisik itu lama kelamaan menjadi pelan dan menghilang. Aku tidak pernah melihat kodok di siang hari, bahkan bangkainya pun tidak. Astaga! Jejaknya pun tidak ada,” ucap Nyonya Anake setengah ketakutan.

Orlando meringis, “terror” ucapnya. Aku melongos, “mungkin ada orang iseng yang menyalakan rekaman suara kodok pada jam 7 malam di halaman rumahmu lalu kelelahan ketika sudah mendekati tengah malam,” ujarku tak acuh. “Adrienne yang cantik, itu tidak mungkin!” ucap Orlando. “Itu pasti mengundang pertanyaan untuk orang-orang lewat yang melihatnya,” lanjut Orlando sambil terkekeh. Aku meringis. “Kami akan menginap besok malam untuk melihat sendiri apa yang terjadi, bisa saja itu halusinasi anda,” ucap Orlando setelah hening beberapa menit. “Baiklah, ini kartu namaku,” ucap Nyonya Anake sambil berdiri. “Aku permisi,” ucapnya sambil berjalan keluar rumah.

“Jangan memutuskan segalanya sendirian!” bentakku sesaat setelah Orlando mengunci pintu depan. “Huh? Aku lebih tua darimu. Ingat?” ucap Orlando sambil berjalan menaiki tangga. “Hanya 5 menit lebih tua!” ujarku masih membentak. “Kak, 5 juta itu sudah lumayan. Kenapa mau tambah lagi?” ucapku sambil mengikuti Orlando. “Uhm, tadi itu aku kaget melihat jumlahnya 5 juta, tapi nyonya kaya itu malah menambah jumlahnya. Anak berumur 17 tahun mana yang akan menolak uang sebesar 10 juta tanpa harus bekerja berat?” Aku terdiam ketika mendengar perkataan kakakku. “Kita tetap akan berhenti sekolah kan?” tanyaku. Orlando berbalik dan tersenyum, “tentu saja. Kita akan kaya tanpa harus sekolah,” ucapnya lalu kembali berjalan. Aku mengikutinya. Tersenyum

--------------------------------------------------------------

Kediaman Nyonya Anake terlihat seperti rumah normal lainnya. Cat dindingnya berwarna putih gading dengan tiang besar menyerupai pilar sebagai penyangga. Fondasi rumahnya dibentuk dari tiang-tiang kayu sehingga lantai dasar rumah itu tidak benar-benar menyentuh tanah dan menyisahkan ruang-ruang kecil di bagian bawah rumah. Terdapat tangga rendah yang menghubungkan tanah pada halaman dengan teras rumahnya. Halaman rumahnya cukup luas dan dipenuhi dengan tumbuhan sejenis mawar dan bakung. Hanya tanaman Gelombang Cinta yang tampak lebih mahal daripada tanaman lainnya.

Aku dan Orlando berjalan pelan memasuki rumah setelah dipersilahkan oleh pemiliknya. Ruang tamunya tidak begitu luas dengan karpet beludru berwarna maroon yang dihamparkan. Beberapa bantalan penyangga punggung sebagai hiasan dan meja kecil berkaki rendah di tengah ruangan. Tidak ada tv di ruang keluarga, hanya ada beberapa perabotan rumah tangga dan beberapa rak buku yang menjulang sampai ke atap rumah. Aku dan Orlando mengikuti Nyonya Anake yang berjalan melewati beberapa pintu ruangan. Rumah ini hanya terdiri dari satu lantai dengan ukuran yang tidak begitu besar. “Ini kamar Adrienne dan yang itu kamar untuk Orlando,” ucap Nyona Anake setelah berhenti di depan ruangan yang memeliki pintu coklat tembaga. “Kami tidur berdua saja,” ucap Orlando sambil membuka pintu kamar. Hah, lagi-lagi manusia itu memutuskan sendiri.

Kamar itu memiliki satu jendela kaca yang berada di bagian atas tempat tidur. Lantai kamar tersusun dari ubin kayu yang seakan-akan rapuh. Lampu ruangan hanya terdapat pada bagian tengah kamar, di dekat pintu kamar terdapat sebuah lemari pakaian yang berwarna kelabu, senada dengan warna cat kamar. “Hah, untung aja kasurnya cukup besar,” ucapku senang. “Memangnya kenapa? Kamu nggak mau tidur di samping kakak kembarmu? Yah meski pun kakakmu itu laki-laki” tanya Orlando sambil meletakkan ransel di dalam lemari. “Yah kalau kasurnya kecil aku akan memintamu untuk tidur di lantai kak,” jawabku asal. “Adik durhaka,” ucapnya. Aku terkekeh. “Kak, apa kita datang terlalu pagi?” tanyaku ketika melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 09:00 AM. “Tidak, aku sengaja datang pagi-pagi untuk mengecek siapa saja yang bertamu ke sini,” ucap Orlando, dia lalu menghempaskan dirinya di kasur. “Ugh! Tidak seempuk kasurmu,” ucapnya sedikit kesakitan. “Hah, kasurku jadi seperti itu karena kakak sering menghempaskan diri di atasnya,” ujarku jengkel. “Oh ya?” tanyanya tidak percaya. “Terserahlah, aku akan memberitahu Nyonya Anake kalau kita akan menyelidiki kasus ini ketika ada orang yang bertamu selain kita,” ucapku sambil berjalan keluar kamar.

Sekali lagi aku memperhatikan ruang keluarga milik Nyonya Anake, masih tidak ada yang benar-benar istimewa dengan ruang keluarga ini. Sayup-sayup kudengar suara percakapan dari ruang tamu. Aku berjalan pelan, takut menggaggu kalau sekiranya Nyonya Anake sedang bercakap di telepon. Aku melihat ruang tamu sekilas. Ah! Ada seorang laki-laki duduk di atas karpet beludru itu. Aku memperhatikan tamu itu. Dia memakai jas berwarna hitam berdasi hitam juga. Aku mengambil PCku dan memfoto tamu itu. PCku dengan otomatis mengakses datanya. Orang itu bernama Michael Tirayoh, seorang direktur di sebuah perusahaan besar. 

Aku kembali ke kamar untuk memberitahu Orlando. Setelah aku membuka pintu kamar, Orlando ternyata sedang asik berkutat dengan selimut. Meneruskan tidurnya yang sempat tertunda. “Onii san!” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya keras. Dia terbagun dengan kaget. “Heh? Onii san?” tanyanya bingung. “Siapa yang manggil onii san? Salah denger kali kak,” ucapku.
 “Ah iya mungkin cuma mimpi,” ucapnya masih bingung. “Kak, lihat,” ucapku sambil menunjukkan PCku. “Ah! Tamu?” ucapnya bersemangat. “Bagus…. Bagus…. PC buatan adikku ini memang hebat. Astaga! Seorang direktur? Oke, terima kasih datanya. Sekarang mari kita intip,” lanjutnya berbicara sendiri. Dia memang tergila-gila dengan hal yang seperti ini. Orlando berjalan pelan sambil menenteng PCku, membuka pintu kamar lalu berjalan seolah tidak ada apa-apa menuju ruang tamu. Aku mengikutinya dengan tergesa-gesa. Orlando berhenti di dekat ruang tamu lalu mengamati. Dia menatap bingung. Aku balik menatapnya. Apa?

Aku melirik ruang tamu itu dan mendapati orang bernama Michael Tirayoh sudah berganti menjadi 3 orang lainnya yang tidak kuketahui namanya. Aku meminta PCku, Orlando memberikannya. Kemudian aku memfoto orang-orang itu satu persatu. Ketiganya menggunakan kaos oblong dengan celana jeans lusuh. Seorang dengan rahang yang terkesan kuat bernama Robin Tollan, memakai kaos oblong berwarna merah dengan warna yang sudah pudar di beberapa tempat. Laki-laki yang duduk sopan di sampingnya memakai kaos berwarna hijau pucat. Bernama Andy. Seorang lagi yang warna pakaiannya tidak bisa kugolongkan ke warna apa bernama Erick. Ketiganya adalah kelompok pencinta alam di Universitas Of Berlin. Kelompok itu bernama Stalker Scorpio. Punya hubungan apa orang-orang ini dengan Nyonya Anake? Tanpa pikir panjang aku mengarahkan PCku ke arah Nyonya Anake dan mengambil gambarnya. Heh? Nyonya Anake adalah anggota Stalker Scorpio juga? Wanita cantik seperti Nyonya Anake adalah seorang anggota pencinta alam? Aku memandang Orlando dengan tatapan bingung, namun dia masih mengamati tamu itu. Tidak lama kemudian ketiga tamu itu berpamitan, dengan sigap Orlando menghampiri Nyonya Anake ketika nyonya itu menutup pintu rumahnya.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya Nyonya itu.
“Apakan Tuan Michael Tirayoh adalah tamu pertama anda hari ini?” tanya Orlando.

Nyonya Anake mengangguk sebagai jawaban. “Apakah dia bertamu setiap pagi?” tanya Orlando lagi. Sekali lagi Nyonya Anake mengangguk. “Uhm tapi tidak benar-benar setiap pagi. Kadang-kadang dia juga datang untuk makan malam,” ucap Nyonya Anake setelah terdiam selama beberapa lama. “Apakah saat dia datang untuk makan malam dia bertamu di pagi harinya juga?” ujar Orlando masih bertanya. Aku bisa melihat Nyonya Anake tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kakak kembarku itu. Meskipun begitu, Nyonya Anake tetap mengagguk sebagai jawaban. Orlando tersenyum. “Bagaimana dengan ketiga tamu yang barusan pulang?” tanya Orlando, masih dengan senyuman di wajahnya. Nyonya cantik itu terlihat enggan untuk menjawab, hening mengisi ruangan selama beberapa menit.

“Uhm hanya Robin yang sering datang mengunjungiku, entah kenapa hari ini mereka bertiga datang bersamaan. Tunggu, kenapa kamu bisa mengetahui nama teman-temanku?” tanya Nyonya Anake. “Rahasia,” ucapku sedikit berteriak untuk menanggapi. Aku bisa melihat bahwa Nyonya Anake sedikit kaget dengan teriakanku. “Terima kasih atas informasinya Nyonya, kami kembali ke kamar dulu,” ucap Orlando sambil menarik tanganku kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar Orlando meminta PCku dengan paksa. “Informasi apa yang kamu dapat tentang Nyonya Anake?” tanya Orlando sambil mengotak-atik PCku. “Kakak bisa membacanya sendiri” tukasku jengkel. “Ah ya! Bagus itu dia motifnya,” ujar kakakku sedikit berteriak. Aku menatapnya bingung. “Adrienne, lihat! Nyonya Anake pernah bekerja di perusahaan Tuan Michael itu, lalu dia mengundurkan diri tahun lalu. Tuan Michael masih membutuhkannya sehingga tuan itu membujuk Nyonya Anake agar kembali namun Nyonya cantik itu menolak dan klik! Tuan itu meneror Nyonya Anake lalu berpura-pura untuk membuatnya terhibur dan Nyonya Anake akan kembali bekerja di perusahaan itu,” ujar Orlando tersenyum puas. “Aku tidak mau kakakku terjebak dengan deduksiya yang salah lagi, teliti,” ujarku. Orlando mengangguk mengerti, lalu memperhatikan data tentang Nyonya Anake yang tertera di PCku. “Bisa juga tuan Robin yang menjadi pelaku terror ini. Bagaimana pun dia adalah anggota pencinta alam, dengan begitu dia tahu mana kodok yang bisa tetap hidup di musim kemarau,” ucap Orlando sambil menerawang. “Kalau begitu dua orang sisanya juga bisa dimasukkan ke daftar tersangka,” ucapku. Orlando mengangguk setuju. “Yah, ketiganya adalah pecinta alam,” ucap Orlando lalu meletakkan PCku di atas meja yang berada di samping kasur. Kemudian dia membaringkan tubuhnya di kasur lagi. “Hah aku lupa bawa komikmu,” ujarnya jengah. Aku meringis, sempat-sempatnya dia memikirkan komik ketika ada orang yang ingin meminta bantuannya.

Aku ikut berbaring di sampingnya. Aku memang sering mengantuk di pagi hari. “Kak, kenapa kita harus menyelidiki tamu yang datang?” tanyaku sambil memandang langit-langit kamar. Kamar ini sepertinya selalu bersih meskipun tidak ada yang menempati. Orlando bergumam, “karena mungkin tujuan mereka tidak hanya bertamu,” ujarnya sambil mendengus. Aku terdiam, mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan kakakku. “Maksudnya?” tanyaku saat aku tidak yakin bahwa aku bisa mencerna kalimat itu dengan baik. “Kenapa kamu bertanya?” ujar Orlando balik bertanya. “Daripada nanti aku menyuruh kakak untuk menulis cerita tentang apa yang belum kuketahui,” ucapku sambil menatapnya. “Bagus, bertanya itu lebih baik daripada aku menulis lagi,” ucap Orlando. “Bisa saja salah seorang dari mereka yang bertamu itu bertujuan untuk memeriksa keadaan Nyonya Anake, apakah dia baik-baik saja setelah pelaku terror itu menyebarkan kodok di halaman rumahnya? Atau apakah pelaku itu berhasil membuat Nyonya Anake tertekan?” lanjutnya, lalu menghembuskan nafas keras. Aku mengangguk mengerti, ah ku kira itu hanya pekerjaan iseng yang dilakukan kakakkku untuk mengisi waktu. “Terlebih, Tuan Robin dan Mike datang setiap pagi. Apakah itu tidak mencurigakan?” tanya Orlando. “Mike?” aku menyerit. “Yah nama keren yang ku berikan untuk Tuan Michael untuk menyingkat namanya,” ucap Orlando acuh. Hah. “Terserah kakak saja,” tukasku jengkel. Orlando terkekeh.

--------------------------------------

Suara kodok itu benar-benar terdengar ketika malam datang. Cukup keras sehingga aku mungkin akan menyimpulkan bahwa ada jutaan kodok di luar sana. Orlando menyelinap keluar rumah dan aku membuntutinya, tidak ingin mati penasaran dengan apa yang ada di pikiran kakak kembarku yang menyebalkan itu. Dia menunduk-nunduk ketika sampai di ujung teras rumah. Berhenti tepat di dekat tangga yang menuju ke halaman lalu berbalik. “Astaga! Adrienne!” tukasnya kaget ketika mendapati aku berada di belakangnya. Aku menyengir, “tidak ingin ketinggalan cerita,” ujarku sambil menenteng PCku.

Orlando menggeleng, “benar-benar ada kodok,” ucap Orlando sambil menunjuk tangga tempatnnya berhenti tadi. “Wah, apa kodoknya semenakutkan itu sampai-sampai kakakku bergidik ketika melihatnya?” tanyaku senang karena menyadari bahwa Orlando takut kodok. Aku berjalan mendekati tangga namun Orlando menahanku. “Dart Frog,” ucapnya. Aku melongok ke arah tangga dan mendapati sekitar enam ekor kodok berwarna cerah yang sedang melompat riang sambil mengeluarkan suara yang berisik. Aku bergidik ngeri. Kodok asal Amerika Selatan itu kenapa bisa berada di sini? Di Indonesia? Aku menatap Orlando ngeri. Dia meringis, tidak tau berbuat apa. “Kita tunggu tengah malam,” ucap Orlando, sambil berjalan masuk. Hah tidak ada yang bisa kami lakukan selain membiarkan kodok beracun itu bernyanyi sepuas mereka?

Nyonya Anake memanggil kami untuk makan malam, Orlando menolak makan. Adrienne? Menolak makanan? Mana mungkin. Aku menghabiskan sup asparagus yang dibuat oleh Nyonya Anake, suara kodok itu cukup menghibur kalau saja aku tidak tahu kalau kodok yang sedang berisik itu adalah kodok dengan racun yang bisa membunuh 10 manusia dewasa setiap tetesnya. Aku bisa melihat Orlando yang sedang menggigit coklatnya di ruang keluarga sambil melihat-lihat kumpulan buku yang ada. Huh kami tidak akan berbuat apa-apa sampai tengah malam. Setelah makan malam aku dan Orlando kembali ke kamar, kakakku itu kembali ke kamar dengan membawa 3 novel yang cukup tebal. “Sepertinya buku-buku ini bagus,” ujarnya.

Sialnya aku tertidur setelah beberapa menit berbaring. Sedangkan Orlando –seperti biasa- tidak akan menyadari hal lain ketika asik membaca buku.Orlando baru sadar ketika jam di ponselnya memamerkan angka 03:27 AM, sedangkan aku terjaga dari tidurku karena suara berisik yang ditimbulkan Orlando, dia terburu-buru berlari keluar. Dengan setengah sadar aku berlari mengikuti kakakku itu. Orlando berhenti tepat di dekat tangga seperti tadi, mengucek matanya kasar lalu membuang pandangannya secara terburu-buru. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dia mengacak rambutnya kasar sambil menghela nafas, jengkel. “Kenapa?” tanyaku sambil mendekat. “Cih,” tukasnya ketika aku sudah berada di dekatnya. “Liat Adrienne, peneror itu melaksanakan terornya seperti biasa, padahal aku ada di sini. Ah! Sial!” omel Orlando dengan nada marah yang ditujukan pada dirinya sendiri. “Kodok-kodok itu sudah hilang?” tanyaku penasaran. Lalu menoleh ke arah dimana kodok-kodok beracun itu berada ketika jam makan malam. Aku terkejut ketika menyadari bahwa tidak ada seekor kodok pun, bahkan seekor bangkai kodok pun yang berada di tangga itu. Berarti kemungkinan bahwa kodok itu dimusnakan oleh sesorang adalah kemungkinan yang salah. Kodok itu menghilang dengan cara misterius. “Sial!” Teriak Orlando frustasi. “Masih ada besok kakak, penelitian membutuhkan ketenangan,” ucapku sambil mengelus punggung kakakku. Orlando masih terus mengumpat marah, tidak suka karena dia melakukan kesalahan sepele sehingga dia kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan kasus. Aku memeluknya. Kakakku itu terdiam cukup lama. “Terima kasih, Adrienne” ucapnya. Aku tersenyum menanggapi. “Masih ada besok, jangan terlalu memaksakan diri. Besok pagi kakak bisa meneliti jejaknya. Sekarang sebaiknya kakak istirahat,” ujarku. Hah aku tidak tahu kalau ternyata aku cukup bijak untuk dijadikan seorang penasehat.

----------------------

Sinar keemasan membangunkanku dari tidurku yang mungkin bisa dibilang nyenyak. Aku menggeliat malas. Aku sadar bahwa gravitasi pada kasur lebih kuat daripada gravitasi bumi pada pagi hari. Pukul 07:07 AM, masih terlalu pagi untuk bangun. Aku menoleh ke sisi kananku, Orlando sudah tidak ada di tempat dia terlelap tadi. Astaga! Orang itu benar-benar tidak sabaran. Aku berlari keluar dengan wajah bangun tidur dan rambut acak-acakanku. “Orlando Sa’ri?” panggilku sambil berjalan sopan melintasi ruang tamu. Lalu aku mendapati Orlando yang sedang berjongkok di dekat tanaman mawar. “Wah adikku sudah bangun, sepertinya rambut perakmu itu harus di sisir,” ucap Orlando tanpa mengalihkan padangannya ke arahku. “Sudah ku bilang aku tidak mau ketinggalan cerita kak,” ucapku jengkel sambil berusaha merapikan rambutku dengan jari. Tidak berpengaruh apa-apa, rambutku masih berantakan. “Nyonya Anake masih tidur sepertinya,” ucap Orlando sambil berdiri. “Dan penelitianku sudah selesai,” lanjutnya. “Bagus, kakak mendapatkan sesuatu?” tanyaku kikuk karena lupa membawa PCku. “Ya, sudah ku foto,” ucapnya sambmil mengangkat PCku sampai di depan dada. Ah ternyata Orlando sudah membawanya. “Tidak banyak, hanya ada jejak garis panjang di rumput ,” lanjutnya sambil menunjuk sesuatu di rumput. Aku tidak mendapati apa-apa, rumput itu masih berembun. “Perhatikan lagi, embun di sana tidak setebal embun di tempat lain,” ucap Orlando, menyadari bahwa aku tidak cukup jeli untuk memperhatikan. Ah! Garis itu memanjang dengan meliuk-liuk dan salling bertindih. Kalau dikira-kira lebarnya hanya sekitar 2 cm. “Ujung garisnya di?” tanyaku sambil memperhatikan garis meliuk yang saling bertabrakan itu. “Di tanah. Tidak ada jejak di sana karena debu pada tanahnya sudah dibasahi embun,” ucap Orlando. “Menurut kakak, itu apa? Sepertinya apapun itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucapku. Orlando mengangkat bahu, “entahlah, itu tidak mungkin dart frog yang kita lihat tadi malam. Karena meskipun kodok itu bisa berjalan, mereka tidak akan bisa berjalan sejauh itu,” Orlando menjelaskan. Aku mengangguk mengerti. “Hanya itu?” tanyaku. Orlando mengangguk kesal. “Tidak ada apa-apa lagi di sini. Aku sudah berkeliling halaman dan hanya mendapati jejak samar dari sesuatu yang tidak ku ketahui. Aku setuju bahwa apapun itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucap Orlando sambil berjalan memasuki rumah.

“Hah, aku lapar. Tolong ambilkan coklatku di tas,” Orlando menghempaskan dirinya di sofa ruang keluarga. Aku berjalan gontai memasuki kamar, mengambil coklat di tas Orlando lalu melemparkan coklat itu ke arahnya. “Nice pass,” ucapnya sambil menangkap coklat yang ku lempar. Aku mendengus. Lalu kembali ke kamar untuk menyisir rambutku dan menguncirnya secara acak-acakan. “Kak, kamar mandi di sebelah mana?” tanyaku, sambil berdiri tepat di pintu kamar. “Di kamarmu ada kamar mandinya,” ucap Nyonya Anake dengan tiba-tiba. “Astaga, anda mengagetkanku,” pekikku kaget. Nyonya Anake dan Orlando terkekeh. Aku merenggut jengkel. “Di sebelah mana?” tanyaku bingung, karena walaupun sudah ku perhatikan berkali-kali aku tidak mendapati ada pintu lain selain pintu keluar-masuk di kamar itu. Nyonya Anake berjalan masuk, lalu menggeser dinding di dekat lemari pakaian. “Sebelah sini,” ucapnya sambil menunjuk dinding yang sudah bergeser sepenuhnya, digantikan dengan kamar mandi yang tidak bisa dikatakan luas. “Terima kasih,” ucapku sambil berjalan masuk. Tidak ada bathup di kamar mandi ini, yah aku memang lebih suka mandi menggunakan shower daripada berendam lama di bathup. Awalnya aku hanya berniat untuk mencuci muka, tapi entah kenapa aku berubah pikiran. Aku mandi sekenanya dengan malas-malasan.

---------------

Orlando keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan sekitar 20 menit waktunya untuk mandi. Dia mengeringkan rambut hitam kecoklatannya itu. “Sepertinya rambut kakak perlu dipotong,” ucapku memberi saran. Orlando meringis lalu menatapku malas dengan mata hijau menyebalkannya itu. “Kalau kamu yang potong aku mau,” ujarnya dengan nada malas yang dibuat-buat.
“Kita ngapain hari ini kak?” tanyaku mengabaikan ucapan kakakku.
“Menguping pembicaraan tuan Robin dan Mike yang akan datang sebentar lagi. Astaga! Novelnya belum ku selesaikan. Adrienne, kamu saja yang menguping ya? Aku ingin menyelesaikan novelnya dulu” pinta Orlando seenaknya.
“Tidak mau,”
“Ayolah…. Sekali-sekali turuti perintah kakakmu,”
“Aku sudah sering menuruti perintah kakak kembarku yang menyebalkan itu,”
“Bagus, dengan begitu kamu hanya perlu menurutinya lagi,”
“Ayolah, kenapa aku?”
“Kamu tidak mau ketinggalan ceritanya kan?”
Aku terdiam. Menyesal karena mengatakan kalimat itu berkali-kali sebelumnya. Aku harus mengelak, tapi bagaimana caranya? “Nah, sebaiknya memang kamu yang menguping. Aku selalu berharap punya saudara kembar yang bisa diandalkan,” ucap Orlando dengan nada mengejek. “Hah kakak yang jahat,” ucapku jengkel. “Apa PC buatanku itu tidak bisa kakak pakai untuk membantu penelitian hah? Atau apa aku tidak bisa diandalkan untuk menghibur kakakku ketika sedang stress dengan pengamatan gagalnya?” ujarku jengah. Orlando terkekeh ringan. “Wajahmu lucu,” ucapnya di sela tawanya. Aku mendengus kesal. “Jangan marah begitu, akan ku belikan 4 buah komik kalau kamu mau menguping,” ucap Orlando. “Lima,” pintaku. Sekarang Orlando yang mendengus. “Oke, lima buah komik,” ucapnya menyerah. “Bagus,” aku menurut lalu berjalan keluar kamar. Sambil memasang wajah ceria aku berjalan menuju ruang tamu dan mendapati Tuan Robin sudah duduk dengan santai di atas beludru maroon. Nyonya Anake masih menggunakan piyamanya dan memaksakan diri untuk tersenyum meskipun wajahnya terlihat masih mengantuk.

“Kamu ingat waktu kita mendaki Merapi?” tanya Tuan Robin setelah meneguk tehnya.

“Ya, Erick melamarku di sana. Bagaimana aku bisa lupa?” jawab Nyonya Anake.

“Wah aku baru tahu,” ucap Tuan Robin. Dia mengankat bahunya. “Lalu bagaimana?” lanjutnya.

“Ku tolak, aku masih terlalu muda untuk menikah waktu itu,”

“Ugh, begitu ya ternyata,”

“Kenapa?”

“Ah bukan apa-apa. Oh iya, apa tidak ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?”
Aku mendekatkan diri lagi agar bisa mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi antara Tuan Robin dan Nyonya Anake. Aku bisa melihat wajah Nyonya Anake berubah pasi mendengar pertanyaan Tuan Robin. “Ada, tapi aku baik-baik saja. Ada anak remaja yang menemaniku di sini,” jawab Nyonya Anake. Tuan Robin cepat menyembunyikan ekspresi kaget dan uhm takut? Lalu digantikan dengan senyum aneh.  “Ada apa?” tanya Nyonya Anake karena tidak mendapat respon apa-apa dari Tuan Robin. Tuan Robin menggeleng cepat. “Huh, mencurigakan,” gumamku pelan. Tuan Robin tampak seperti ingin berbicara tapi dengan tiba-tiba terdengar suara orang lain yang datang. Aku mencondongkan tubuhku sedikit agar bisa melihat siapa yang datang. Tuan Michael? Wah aku beruntung!

“Ah aku datang di saat yang kurang tepat rupanya,” ucap Tuan Michael sambil memasuki ruangan. Nyonya Anake menggeleng sambil tersenyum, “sebenarnya kalian berdua datang di saat yang tidak tepat. Aku belum mandi,” ucap Nyonya Anake dengan nada bercanda yang dibuat-buat. Kedua tamu itu tertawa. “Ada apa Mike? Aku tidak mau membicarakan perusahaanmu lagi. Aku sedang ingin menulis,” ucap Nyonya Anake setelah tawa laki-laki di hadapannya reda. Mike? Panggilan yang sama dengan panggilan yang diberikan Orlando. “Ah kamu bisa membaca pikiranku ya?” ucap Tuan Michael sambil tertawa. “Begini, kamu bisa kembali  bekerja di perusahaanku setelah kamu menyelsaikan tulisanmu,” ucap Tuan Michael. Astaga! Orlando benar tentang dugaannya bahwa Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali bekerja di perusahaannya. Aku bisa melihat Nyonya Anake menggeleng sopan. “Aku akan terus menulis,” ucapnya. Tuan Robin yang daritadi diam akhirnya membuka mulut, “uh, aku permisi sekarang. Ada yang harus ku kerjakan,” ucap Tuan Robin sambil berdiri. Lalu Aku bisa melihat Tuan Robin yang berjalan keluar dengan terburu-buru. Kenapa dia terburu-buru?

“Dengar Anake, aku uh maksudku perusahaanku membutuhkanmu. Jadi ayolah,” ujar Tuan Michael memohon. Nyonya Anake menggeleng. “Mau minum apa?” tanya Nyonya Anake mengalihkan pembicaraan. “Tidak usah, aku akan berkunjung lagi nanti malam,” ucap Tuan Michael sambil berdiri. Nyonya Anake terlihat bingung untuk merespon. Hah Tuan itu ternyata menyebalkan. Aku berjalan cepat menuju Nyonya Anake lalu berdiri membelakangi Tuan Michael, “tante, nanti malam kita jalan-jalan ya?” pintaku sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Nyonya Anake untuk mengajaknya berkompromi. Nyonya Anake mengangguk, “ide bagus. Nanti malam kita jalan-jalan. Ajak Orl juga ya,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. “Maaf, nanti malam aku tidak bisa menerima tamu. Keponakanku ingin jalan-jalan,” aku bisa mendengar ucapan Nyonya Anake yang menolak Tuan Michael halus.

Aku sadar kenapa Nyonya Anake terlihat bingung saat merespon, dia tidak ingin ada orang yang mengetahui terror yang terjadi di rumahnya ketika malam hari. Karena itulah Adrienne yang cantik ini membantu di saat yang tepat. Haaah aku merasa seperti pahlawan. Beberapa detik setelah aku memuji diri sendiri, Tuan Michael sudah pergi meninggalkan teras rumah. Aku cepat-cepat duduk sopan di sofa.

 “Terima kasih bantuannya, tadi itu sangat membantu,” ucap Nyonya Anake sambil tersenyum. “Sama-sama,” ucapku ‘maaf karena aku menguping,’ tambahku dalam hati. “Aku mau mandi dulu. Kalau kamu mau sarapan, panaskan sendiri makanannya,” ucap Nyonya Anake sambil berjalan memasuki kamarnya. Aku mengangguk senang. Yes, makan.

Setelah mengahbiskan sarapan sekaligus makan siangku, aku kembali ke kamar untuk melaporkan informasi yang kudapat dari percakapan Nyonya Anake dengan kedua tamunya tadi. Orlando menutup bukunya tepat ketika aku duduk di sampingnya. “Berapa orang tamu?” tanyanya. “Dua, Tuan Mike dan Robin,” ucapku. Orlando tersenyum, “Ada percakapan yang menarik?” tanyanya. “Nyonya Anake pernah di lamar oleh Tuan Erick ketika mendaki Merapi, tapi Nyonya Anake menolaknya. Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali ke perusahaannya, tapi Nyonya Anake menolak juga,” ucapku menjelaskan. Orlando mengangguk paham. “Ada lagi?” tanyanya, aku menggeleng. “Hah, ku pikir ada salah satu diantara mereka yang menanyakan tentang keadaan Nyonya Anake,” ucap Orlando malas. Aku terperangah, “tunggu dulu, sepertinya aku melewatkan sesuatu,” ucapku. Orlando kembali bersemangat, “apa itu?” ujarnya dengan nada penasaran. “Tadi Tuan Robin menanyakan apakah ada hal yang menggagu Nyonya Anake, lalu Nyonya itu menjawab ada tapi dia baik-baik saja,”

“Klik!” pekik Orlando senang, “itu dia, dia mencurigakan. Tapi kalau Tuan Mike dan Tuan Erick memiliki motif untuk melakukan terror, Tuan Robin tidak memiliki motif apapun,” lanjut Orlando sambil meringis. Aku menahan senyum, “Tuan Robin dan Tuan Erick bersahabat. Apakah kakak tidak akan dendam pada wanita yang menolak sahabat kakak?” tanyaku. Orlando terperangah, lalu tersenyum. “Itu bisa dijadikan motif,” ucapnya. “Sekarang kita punya 3 tersangka tetap,” ucap Orlando senang. Ini artinya kami semakin dekat dengan kesimpulan. “Tapi kita belum mengetahui dengan pasti siapa pelakunya dan bagaimana kronologi kejadiannya,” ujar Orlando. “Nanti malam, jangan membaca novel lagi,” ucapku mengingatkan. Orlando menyengir “padahal aku sudah niat ingin menyelsaikan satu novel lagi,” ucapnya. Aku melemparnya dengan novel yang baru selesai dia baca. “Oke, aku tidak akan baca novel malam ini,” ucap Orlando sambil tersenyum.

---------------------------

Entah kenapa, malam ini dingin terasa lebih menusuk daripada biasanya. Bahkan pada musim kemarau pun udaranya masih terasa dingin. Pemanasan global sepertinya benar-benar sudah terjadi. Orlando duduk menunggu di tangga teras, berharap kodok-kodok itu menyapanya dengan nyanyian mereka yang cukup merdu untuk mengisi hening. Aku menggigit coklat yang kucuri dari tas kakakku. Dia pernah mengatakan kalau coklat bisa memperkuat jantung sehingga jantung akan memompa darah ke otak dengan lebih baik. Dengan lancarnya peredaran darah ke otak, manusia bisa berpikir dengan lebih baik. Alasan Orlando memang baik, tapi kurasa alasanku lebih baik, aku menggigit dan menelan coklat ini karena aku lapar. Orlando berdiri tiba-tiba ketika mendengar suara kodok yang samar terdengar. “Terrornya masih terjadi, ayo kita lihat apakah kodoknya sejenis dengan yang kemarin atau tidak,” ucap Orlando sambil menarikku. Cepat-cepat aku memasukkan coklatku ke saku jaket dan ikut Orlando yang sedang berlari menuju sumber suara.

 Kami sampai di dekat tanaman rendah yang tanpa bunga. Tidak ada apa-apa di sana, padahal kami yakin kalau suara kodok itu berasal dari sini. Orlando menunduk dengan kaca pembesarnya, aku membantu pengcahayaannya dengan PCku. Aku tahu PCku memang sangat  berguna. Dia menggeleng. Tidak ada apa-apa di sana, apa pendengaran kami mulai error? Kenapa bisa error dengan bersamaan? Suara kodok itu terdengar lagi, Orlando langsung berlari dengan cepat. Aku berjalan enggan sambil berpikir, bisa saja kami tidak akan mendapat apa-apa lagi saat sampai di asal suara. Yah, tidak ada salahnya juga untuk melihat.

Asal suara itu ternyata benar-benar dari kodok berwarna cerah yang sedang melompat-lompat di atas tangga. Kodok itu berwarna kuning keemasan, dart frog. Kodok yang sama dengan kodok kemarin, dan di tempat yang sama dengan tempat yang kemarin. “Ada yang berbeda,” ucap Orlando sambil menunjuk kodok yang menyilaukan terkena pantulan cahaya lampu. Aku memperhatikan kodok itu sekali lagi. Lalu terkejut, “warnanya,” ujarku pelan. Orlando mengangguk menyetujui. “Kodok yang kemarin berwarna biru, malam ini mereka berwarna kuning,” ucap Orlando. “Bagaimana cara kita memasuki rumah?” tanyaku mengalihkan perhatian Orlando dari kodok yang warnanya tidak sama dengan kodok yang kami lihat kemarin. Seakan-akan tersadar bahwa dart frog menyebalkan itu memblokir jalan Orlando menolehkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri untuk melihat apakah ada jalan masuk lain selain pintu ini. Nihil. Aku melempar tatapan tanya ke Orlando.Kemudian dia mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku meringis, sedetik kemudian aku terkejut melihat Orlando yang melompat naik ke teras. Melawati kodok-kodok beracun di bawahnya. Aku mendengus, “aku bagaimana?” tanyaku bingung. “Lompat saja,” ucapnya. Tanpa benar-benar berpikir, aku melompat naik. Orlando saja bisa, masa aku tidak? Ketika kakiku sudah menginjak lantai teras, aku terpeleset. Sial, selain sakit aku akan mati karena racun dari kodok itu.

Tentu saja Orlando tidak akan membiarkanku mati, dia menarikku dan membiarkanku tersungkur di lantai teras. Aku berteriak kaget sekaligus kesakitan. “Sama-sama,” ucapnya, lalu berjalan masuk. Hah kali ini kumaafkan karena dia sudah menolongku dari racun dart frog. “Hoi, Adrienne!” panggil Orlando dari dalam rumah. “Di luar dingin, masuklah,” ucapnya. Kakak yang menjengkelkan, seandainya aku yang lahir lima menit lebih cepat itu. Aku menurut, berjalan masuk sambil terpincang-pincang lalu duduk di karpet berludru milik Nyonya Anake. Nyonya Anake sedang tidak di rumah. Orlando memintanya untuk menginap di tempat lain malam ini. “Kita diam di sini saja, lalu mengecek kenapa suara kodok itu menghilang ketika mendekati tengah malam,” ucap Orlando sambil duduk di sampingku. Aku meringis, lalu menyandarkan kepalaku di bahu Orlando sambil berharap semoga tengah malam datang dengan cepat.

Waktu berlalu seperti merangkak, suara kodok di luar tidak berhenti. Aku melirik jam tangan dan mendapati bahwa tengah malam sudah lewat. Aku melihat Orlando yang tertidur di sampingku. Hah dia pulas sekali. Aku lalu berjalan keluar rumah untuk melihat keadaan kodok beracun itu. Rambut perak panjangku, kubiarkan tergerai untuk mengurangi dingin malam. Daun-daun mawar bergoyang pelan tertiup angin. Suara kodok semakin keras terdengar ketika aku berada dekat dengan tangga. Aku menunduk untuk melihat kodok berwarna kuning keemasan itu. Kodok itu masih di sana, aku tersenyum lalu berbalik. Ketika aku berbalik, sekilas aku melihat ada yang mengganggu pengelihatanku. Aku membatalkan niatku untuk masuk ke rumah dan berjongkok di dekat tangga.

 Seketika itu juga aku membeku. Darahku seakan-akan berhenti mengalir. Aku mual dan pusing. Ingin berteriak, tapi suaraku seperti tertahan. Tercekat di tenggorokan. Aku bisa mendengar suara langkah Orlando yang berlari menghampiriku. Orlando mendekatiku, “ada apa?” ucapnya khawatir. Aku bergeming, lalu tidak sadar menangis. Orlando terlihat semakin khawatir, “hey hey, kenapa?” tanyanya bingung. Aku menunjuk. Di sana, tepat di hadapanku. Seorang laki-laki terbujur tidak berdaya di tanah dengan kepala mendongak. Matanya menatapku seakan-akan membenciku. Kulitnya pucat pasi, seakan-akan membiru. Orlando terlonjak kaget lalu memelukku. “Ra- cun e-mas,” rintih laki-laki yang terbujur itu lalu terkulai lagi di tanah. “Dia sudah mati,” ucap Orlando sambil menuntunku masuk ke rumah. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku menggigil ketakutan. “Yah, Tuan Robin Tollan sudah mati,” ucap Orlando. Aku tau dia kesulitan berpikir sekarang. 

-----
 To be Continue ^^

Sabtu, 01 Agustus 2015

Guess, Orlando P.O.V

Bagiku hari ini cukup baik sebelum adik kembarku yang berambut perak itu memintaku untuk menuliskan saja yang telah kutemukan dan tidak dia ketahui pada kasus besar pertama yang kuselesaikan. Aku ingin sekali menarik rambut panjangnya itu. Baiklah, karena kami hanya tinggal berdua di rumah tanpa ayah dan ibu, aku harus menjadi kakak yang baik. Mungkin dengan begini Adrienne tidak akan memasakkan mie rebus lagi untuk makan malam. Tapi menulis itu lebih sulit daripada menyelesaikan kasus, aku tidak tahu harus memulai dari mana, dan setelah aku menanyakan ini kepada Adrienne dia justru menjawab “Tulis saja apa yang ada di pikiranmu, kak.” Lain kali aku akan benar-benar menarik rambutnya. Yah walaupun begitu aku tetap akan mencoba menulis dengan baik. (Sebenarnya aku tidak ingin dikalahkan bahkan oleh adik kembarku sendiri). Adrienne memintaku menuliskan fakta-fakta kasus beberapa hari yang lalu. Umh maksudku fakta-fakta yang belum dia ketahui. Padahal aku sudah bercerita berkali-kali padanya tapi tetap saja dia memaksaku untuk menulis sendiri. Jadilah seperti sekarang ini, aku Orlando yang notabenenya akan menjadi seorang detektif terkenal seperti Shinichi Kudo itu malah menulis cerita tentang apa yang telah kulakukan. Ironis.
Aku akan memulai cerita yang sebenarnya dari sekarang. Dimulai dari foto bunga lily lembah itu. Adrienne pernah menanyakan, kenapa aku tahu ada sidik jari di bunga itu? Dan kenapa aku hanya menyuruhnya untuk memeriksa bunga yang itu saja? Uh, mungkin itu bisa menjadi salah satu yang bisa kuceritakan. Karena jujur saja aku tidak tahu bagian mana yang penting untuk diceritakan dan bagian mana yang tidak perlu. Nah, sekarang aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ah biarlah, aku akan tetap mencoba. Sekarang aku akan menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu. Ketika memasuki halaman yang mirip rumah kaca itu, aku memperhatikan tiap-tiap tanaman yang ada. Di tempat itu lebih banyak terdapat tanaman obat yang beracun daripada tanaman obat yang tidak mengandung efek samping. Aroma bunga angels trumpet lah yang menyambut kedatangan kami lebih cepat dari yang lainnya. Bunga itu yang menyadarkanku bahwa mayat yang dilihat ayah pastilah keracunan. Bagaimana mungkin aku bisa tahu kalau mayatnya keracunan? Karena kemungkinan besar dia tidak akan dibunuh di rumahnya sendiri dengan alat membunuh yang sulit dihilangkan. Kalau racun, alat untuk membunuhnya akan hilang ketika korban menelannya. Lalu setelah sadar akan racun sebagai alat membunuh, aku teringat dengan tanaman beracun yang paling mematikan di dunia.  Lily lembah. Tubuhku bergerak sendiri ketika aku menemukan rumpun bunga putih kecil itu. lalu mataku langsung saja menemukan tangkai bunga yang tidak serimbun bunga yang lain. Dalam pikiranku pastilah bunga itu telah dipetik. Karena itu aku meminta Adrienne dengan PCnya yang entah bagaimana cara dia membuatnya itu untuk memeriksa sidik jari pada bunga itu. Kerena bunga yang dipetik pastilah akan meninggalkan sidik jari orang yang memetiknya. Aku tidak menemukan bekas bunga yang telah dipetik lagi selain di situ. Dengan penjelasan anehku di atas, aku sudah menjawab pertanyaan kedua sekaligus yang pertama. Kemudian aku memutuskan untuk masuk ke rumah korban dan memeriksanya.
Pengap. Huh rumah itu lebih pengap daripada kamar adik kembarku yang dipenuhi komik. Ups! semoga dia tidak membaca apa yang kutuliskan ini. Bisa-bisa dia akan menyuapku dengan lily lembah itu. Oke, kembali ke kasus. Aku memperhatikan seisi rumah tapi yang menarik perhatianku adalah dua cangkir kopi yang diletakkan di bawah meja.
Kenapa di bawah meja? Itulah yang menarik perhatianku. Aku mengambil kedua cangkir kopi itu dan memperhatikannya, tidak ada yang aneh. Meskipun tidak ada yang aneh, cangkir kopi itu bisa saja menandakan bahwa ada seseorang yang bertamu sebelum korban meninggal. Karena itu aku meminta Adrienne untuk mengambil sample sidik jari pada cangkir kopi itu juga. Dia menemukan dua sidik jari berbeda pada dua cangkir itu. Sidik jari pada cangkir pertama mirip dengan sidik jari orang yang memetik bunga lily di halaman. Sedangkan sidik jari pada cangkir kedua sama sekali tidak mirip dengan sidik jari pada cangkir pertama.
Aku tidak ingin menceritakan wajah polisi yang kata adikku congkak (polisi yang tidak mau memberitahu dimana posisi mayat korban), karena aku jadi malas ketika mengingatnya. Ah sungguh, aku benar-benar malas sekarang. Bolehkah aku berhenti bercerita? Ugh, mungkin jawabannya boleh. Dengan syarat aku harus meletakkan satu vas bunga yang terdiri dari angel’s trumpet di kamarku. Terima kasih tapi aku masih ingin hidup. Aku selalu menyimpang dari alur cerita. Sampai mana tadi? Ah, sidik jari pada cangkir kopi. Setelah tahu di mana letak mayatnya aku bergegas untuk melihatnya, tapi aku berhenti untuk memperhatikan pintu ruangannya. Tidak ada kerusakan apa-apa, berarti pembunuhnya membuka pintu ruangan ini dengan memutar kenopnya. Dengan begitu akan ada sidik jari pembunuhnya di kenop pintu. Aku langsung saja mengambil PC milik Adrienne dan mengambil sample sidik jarinya. Satu hal yang tidak diketahui Adrienne, di kenop itu terdapat dua sidik jari yang hampir mirip. Hampir mirip sampai-sampai kalau tidak diperhatikan maka kita akan mengira bahwa sidik jari itu berasal dari orang yang sama. Setelah kuteliti lagi, sidik jari yang pertama persis dengan sidik jari orang yang memetik bunga lily lembah itu. Lalu sidik jari yang sedikit tersamar itu persis dengan sidik jari salah satu dari sidik jari orang yang memegang cangkir kopi. Jadi biar kuasumsikan saja bahwa sidik jari pada cangkir yang satunya adalah milik ayah.
Aku memutar kenop ruangan tempat mayat itu berada. Sedetik setelah aku membukan pintu, aroma almond langsung menyapaku. Aku bisa mendengar Adrienne membisikkan nama racun terkenal dengan aroma almondnya, siannida. Namun, aku tidak boleh benar-benar langsung mengambil kesimpulan bahwa racunnya adalah siannida. Aku melihat mayat yang tergeletak menyeramkan di dekat kasur. Ada beberapa serpihan kacang almond di lantai, tapi yang kutahu kacang almond tidak mengeluarkan bau –meskipun sudah dihancurkan- jadi kemungkinan besar racunnya adalah siannida, bukan bunga lily yang menyeramkan itu (Hipotesaku). Aku mendekati mayat itu, lalu memperhatikannya. Aku tersentak saat melihat serpihan kaca kecil. Aku memungut serpihan itu lalu mendekatkan pada hidungku. Bagus, saat itu aku langsung tahu bahwa mayat di hadapanku itu tidak diracuni dengan siannida. Kenapa? Karena asal aroma almond itu bukan berasal dari racun siannida, tapi dari parfum yang dipecahkan. “Dia keracunan,” ucapku yakin. “Aku tau,” tukas Adrienne jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjut adik kembarku sambil bergidik melihat mayat di hadapannya. “Bukan, bukan sianida,” ucapku sambil memamerkan senyum. “Glokosida,” lanjutku. Adrienne terdiam, seperti memikirkan sesuatu tentang nama racun yang baru saja ku sebut.
Lalu dengan penelitian yang belum benar-benar tuntas aku menuduh X (tersangka selain ayah. Biarkan aku menyebutnya begitu karena sampai sekarang aku tidak tahu nama orang itu) sebagai pelaku. Namun, deduksiku itu jadi goyah saat Mr. X bilang bahwa korban bunuh diri.
“Adrienne, tunggu di sini sebentar,” perintahku sambil berjalan ke luar kamar. Adrienne melempar tatapan –mau –kemana?- ke arahku,aku hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujarku  masih tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Adikku yang berambut perak mendengus tidak suka.
Aku berlari kecil keluar rumah, memeriksa jejak pada halaman. Kemudian memeriksa bagian sol pada sepatu yang ada di teras rumah itu. Klik! Salah satu jejak yang sudah pudar adalah milik ayah, jadi ayah benar-benar bertamu ke rumah ini saat pembunuhan itu terjadi. Nah pantas saja ayah dituduh sebagai tersangka. Lalu aku berlari menuju mobil dan memeriksa mobil itu, -aku sudah mengambil kuncinya secara diam-diam- tidak ada sarung tangan. Bagaimana bisa ayah melihat mayat itu tanpa membuka kenop pintunya? Apa ayah mengikuti Mr.X? Tapi tidak mungkin tamu memeriksa kamar pemilik rumah saat ada orang rumah lainnya yang  memasuki kamar. Lalu bagaimana?
Aku kembali ke ruangan tempat mayat itu tergeletak, kemudian bertanya dengan sedikit berbisik kepada Adrienne, apakah dia melihat ayah membuang sarung tangan. Aku kecewa saat mendapati Adrienne menggeleng. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia terus menggosokkan tangannya,” ucap Adrienne kemudian. Aku sontak menyadari, lalu tersenyum senang. “Masih ada harapan,” ucapku sambil mengeluarkan kaca pembesar. Aku menunduk-nunduk dengan kaca pembesarku. Memperhatikan serpihan lilin tak berbentuk yang berserakan di lantai. Lalu memperhatikan tangan ayah yang masih digosokkan sesekali. Arah lilin itu dari ayah! Aku mendongak ke arah Adrienne dengan senyum. Mengisyaratkan bahwa kali ini aku benar.
Lalu apa yang terjadi setalah itu semuanya persis seperti apa yang Adrienne ceritakan. Astaga! Aku tidak tahu kalau dia berbakat menjadi Watsonku, hahaha *upss* baiklah aku sudah benar-benar lelah bercerita. Nah kalau kalian memiliki kasus yang seru,coba saja datangi aku. Mungkin aku bisa membantu untuk menyelesaikan kasusnya *huk huk* aku bercanda. Sepertinya tulisanku ini benar-benar harus kusudahi. Semoga hal ini cukup untuk memuaskan Adrienne yang menyebalkan itu, dan dia tidak akan memaksaku untuk bercerita lagi.



Rabu, 27 Mei 2015

Guess! Last

okeh, ini dia bunga yang diceritakan di ceritanya. Cantikkan? Simak deh ceritanya di sini. Silahkan terkagum-kagum dengan bunganya sebelum ilfeel :D



--------------------------------------------------------


“Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya.  

Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?” Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum  puas, yakin dengan apa yang dia katakan. “Si-siapa?” Tanya orang itu. Aku bisa melihat mata coklat orang itu membulat kaget. Ayah tersenyum getir, memandangi orang yang berdiri gemetaran di dekat Orlando. “Ti-tidak aku bukan pelakunya. Di-dia bunuh diri,” ujar orang itu dengan suara yang gemetaran. Lalu dia jatuh terduduk secara tiba-tiba. Menangis. “Bu-bukan aku pembunuhnya,” ujarnya setelah beberapa lama hening mengisi ruangan. Orlando meringis, lalu seolah-olah tersadar oleh sesuatu dia mendengus. Aku tidak  yakin Orlando memikirkan apa yang aku pikirkan, namun pertanyaan itu sudah menggantung di pikiranku. ‘Bagaimana bisa orang itu menuduh korban bunuh diri?’
 

“Adrienne, tunggu di sini sebentar,” perintah Orlando sambil berjalan ke luar kamar. Kamar ini sepenuhnya masih berbau almond yang kuat. Aku melempar tatapan –mau –kemana ke arah Orlando. Dia hanya tersenyum sebagai balasan. “Jangan biarkan polisi itu membawa tersangka berambut hitam legam itu,” ujar Orlando tersenyum, lalu pergi dengan tergesa-gesa. Aku mendengus tidak suka. Huh, laki-laki benar-benar melakukan segala hal semau mereka. “Tidak, tolong jangan tangkap saya!” teriak tersangka itu. Sial. “Ikut kami ke kepolisian, tuan” perintah polisi yang memiliki wajah sama sekali tidak ramah itu. Lawan yang diajak bicara itu hanya menggeleng kuat. Tidak mau ikut. “Jangan tangkap dia dulu,” ujarkku memberi perintah. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh makhluk hidup yang ada di kamar. Ayah yang sedang menggosok-gosokkan telapak tangannya berhenti ketika mendengar ucapanku. Tersangka yang terus menggeleng itu pun menghentikan gelengannya. Aku menghela nafas, “Ada yang salah di sini. Kakakku tidak membeberkan deduksinya,” ucapku kemudian. Polisi-polisi itu kaget, lalu berubah seperti hendak menahan tawa. “Lalu, kalau kakakmu tidak membeberkan deduksinya, apa itu akan merubah siapa pelakunya?” Tanya salah seorang polisi yang bertampang paling menyebalkan di antara semua polisi yang ada. “Dengar,” ucapku jengah. “Aku yang paling tahu sikap saudara kembarku. Dia tidak mungkin memerintahku untuk menahan kalian agar tidak membawa tersangka itu kalau dia tidak memiliki alasan yang kuat,” ujarku sambil menunjuk tersangka yang sekarang sedang tersungkur di lantai. Hening mengisi ruangan, tidak ada yang melakukan gerakan yang berarti. “Turuti dia,” ucap polisi yang dari tadi memerintah.

 

“Bagus, tetap begitu,” ucap Orlando yang memasuki ruangan dengan terengah-engah. “Ada apa?” tanyaku penasaran. “Ugh, Ardienne” ucap Orlando memanggilkku sambil mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku menurut, dia membisikku. “Apa kamu melihat ayah membuang sarung tangan?” bisikknya. Aku menggeleng sebagai jawaban dan melihat mata Orlando meredup. “Sepertinya ayah kedinginan, kak. Daritadi dia terus menggosokkan tangannya,” ucapku. Cahaya di mata Orlando kembali lagi. “Masih ada harapan,” tuturnya sambil mengeluarkan kaca pembesar yang entah dia dapat darimana juga. Yang ada di pikiranku saaat ini adalah Orlando pasti sudah merasa benar-benar seperti Sherlock Holmes. Aku memperhatikan Orlando yang yang menunduk-nunduk dengan kaca pembesarnya. Dia terus tersenyum selama penyelidikannya. Aku berani bayar berapapun jika aku bisa tahu apa yang sedang dipikirkan saudara kembarku yang gila misteri itu.
 

Orlando mendongak, menatapku sambil memamerkan senyumnya. “Ada apa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang terus meningkat. “Kali ini aku benar-benar tahu siapa pelakunya,” ujar Orlando. Aku bisa merasakan semua pandangan di ruangan ini ditujukan kepada saudara kembarku itu. “Hei, kakak mau bilang kalau pelakunya bukan orang ini?” ujarku sambil menunjuk tersangka yang masih tersungkur. Orlando mengangguk dengan senyum. “Su-sudah ku bilang bahwa korban bunuh diri!” ujar orang yang tadi ku tunjuk. Orlando masih tersenyum. “Ironis,” ujar Orlando sambil membuang muka. Senyum jengahnya berubah menjadi meringis. Aku tersadar dengan apa yang dimaksudkan oleh Orlando. “Ja-jadi pe-lakunya….” Tanyaku tergagap. Orlando menangguk, “maaf, anda pelaku pembunuhannya tuan. Dengan begitu, anda bukan ayah kami lagi,” ujar Orlando sambil membungkukkan badan di depan ayah. Aku terduduk tidak percaya. Apa yang ku pikirkan ternyata benar. Ayah tergagap, sama sekali tidak menduga apa yang keluar dari mulut anak laki-lakinya. Ayah merubah ekspresi wajahnya, menyembunyikan keterkejutannya dalam senyum angkuh yang selama ini sering ayah tunjukkan pada kami. “Anak yang baik, bagaimana bisa kamu menuduh ayahmu sebagai pembunuh?” Tanya ayah dengan tatapan sinis yang ditujukan ke arah Orlando. “Maaf, anda bukan ayah kami lagi,” tutur Orlando tenang. Ayah menyerit, “tunjukkan buktinya kalau aku ini pembunuhnya!” ujar ayah dengan nada membentak.

 

“Aku baru saja akan melakukannya, tuan,” ucap Orlando.  Masih setenang Orlando yang biasanya. Saat ini aku merasa kasihan dengan diriku sendiri, aku tidak mengerti jalan pikiran Orlando yang terlalu banyak likunya itu. Aku meringis, menyadari bahwa aku tidak melakukan apapun untuk membantu Orlando. Orlando berdehem keras, tanda bahwa dia akan segera membeberkan deduksinya. “Sebelumnya, biarkan aku bertanya,” ujar Orlando sambil berjalan mendekati ayah. “Bagaimana tuan bisa menemukan mayat ini?” tanyanya kemudian. Ayah tergagap, terkejut mendapat pertanyaan yang tidak dia duga. “Ka-karena..” aku bisa melihat mata ayah bergerak cepat untuk mencari-cari jawaban. “Karena aku melihatnya!” ujar ayah mantap setelah menghabiskan beberapa menit waktunya. “Oh ya?” Tanya Orlando tidak yakin, lalu suara dengan nada tinggi memecah ketegangan “dia tidak melihatnya!” ujar teresangka yang aku tidak ketahui namanya. Ayah terlonjak kaget. Orlando senyum mengejek, “orang ini tinggal di sini, dan dia pasti tau apa yang terjadi di rumah ini,” ujarnya kemudian. “Sudahlah, cepat jelaskan bagaiman kamu bisa mendapat kesimpulan bahwa ayahmu yang melakukan pembunuhan?” Tanya polisi tidak sabar. “Ku ulangi, pembunuh ini..” ucap Orlando sambil menepuk bahu ayah. “Bukan ayah kami lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.


“Tapi baiklah, biar aku jelaskan. Adik kembarku yang manis ini menemukan sidik jari pada cangkir. Di cangkir yang pertama, dia menemukan sidik jari yang sama dengan sidik jadi yang ada pada kenop pintu. Yaitu sidik jari dia,” ujar Orlando sambil menunjuk tersangka yang sekarang sudah berdiri. “Dan yang satu lagi, kami menduga bahwa itu adalah sidik jari orang ini,” ujar Orlando sambil menunjuk ayah. “Lalu, bagaimana mungkin pelaku tahu bahwa korbannya sudah meminum racunnya atau belum apabila dia tidak melihatnya? Bagaimana mungkin pelaku bisa membukakan pintu tanpa meninggalkan sidik jari pada kenop pintu?” Aku tahu itu adalah pertanyaan retoris. Karena sebentar lagi Orlando akan menjelaskan jawaban dari pertanyaannya sendiri. “Dia melihatnya, bukan. Bukan melihat mayat, tapi melihat calon korbannya meminum racun yang dia berikan,” ujar Orlando tenang. “Lalu bagaimana? Tidak ada sidik jariku di sana!” ucap ayah marah. “Ya, memang tidak ada sidik jari anda, tuan. Karena jari-jari anda telah anda lapisi dengan lilin yang ada di meja itu,” ucap Orlando tegas. Dia menunjuk lilin yang tak beralas di atas meja. “Anda ingin bukti, tuan? Adrienne melihat anda menggosokkan tangan dari tadi. Apa tujuannya? Anda kedinginan? Huh, bagaimana mungkin anda kedinginan dengan suasana rumah yang pengap seperti ni? Jawabannya adalah anda tidak kedinginan, anda berusaha melepas lilin yang menempel di jari-jari anda. Kalau anda mau mengelak, silahkan tunjukkan tangan anda. Aku yakin, sisa lilin masih ada di sana.” Ucap Orlando menjelaskan. Ayah bergeming, itu membuktikan apa yang dikatakan oleh Orlando benar. Aku mendengus kesal, kali ini aku sepenuhnya percaya dengan apa yang Orlando katakan. “Lalu, apa racunnya benar-benar glokosida?” tanyaku penasaran. Orlando mengangguk mantap. “Buktikan kalau aku menyimpan racun itu!” ujar ayah masih dengan nada tinggi dalam suaranya. “Kalau kau menyimpannya, mungkin racunnya sudah layu,” jawab Orlando dengan nada yang sama tingginya. Aku mundur selangkah, memejamkan mata lalu mencoba meresapi aroma almond yang tidak henti-hentinya menggelitik hidungku. “Lalu aroma almond ini?” tanyaku ketika tahu ayah tidak bisa mengelak apapun yang dikatakan oleh Orlando. Laki-laki bermata hijau itu merangkulku, “dengar adikku sayang, almond yang terus-terus kau cium itu bukan berasal dari sianida. Itu berasal dari ini,” ucapnya sambil mengeluarkan pecahan kaca yang sudah berupa serpihan. Aroma almond langsung menyeruak masuk ke hidungku tanpa permisi.
 

“Parfum?” tanyaku sesaat setelah tersadar. Orlando mengangguk  puas, senang dengan otakku yang dengan cepat bisa menanggapinya. Aku  masih menyerit bingung. “Adrienne, bingung dengan racunnya? Baiklah, sekarang coba kita tanyakan kepada tuan ini,” ucap Orlando, mendekati tersangka yang ketakutannya tidak separah tadi. “Apakah korban meminta anda untuk memetik bunga ini?” tanya Orlando. Dia mengambil sesuatu dari tangannya dan memperlihatkan kepada lawan bicaranya. Aku tecekat ketika melihat ayah yang tersedak dengan air liurnya sendiri. Orang yang ditanyai Orlando itu mengangguk mengiyakan, lalu Orlando menatap ayah dengan senyum puas yang sangat mengejek. “The Valley Lilly, bunga yang hanya bisa tumbuh di lembah-lembah. Bunga ini dikenal sebagai suzuran di Jepang, karena melambangkan kematian. Warnanya putih suci yang menggambarkan ketenangan,” ucap Orlando menjelaskan bunga lili lembah itu. “Bunga in mengandung racun glokosida yang dapat merusak pencernaan dan memperlambat kerja jatung. Dalam kasus terburuk,” Orlando mengangkat bahu “Mati,” lanjutnya.
 

“Pertanyaannya, bagaimana cara tuan ini membuat korban mau memakan racun yang anda berikan?” tanya Orlando, sekali lagi dengan pertanyaan retorisnya. Aku meringis, mengetahui apa kalimat yang akan terlontar dari bibir Orlando. “Almond,” ucapku tegas. Orlando mengalihkan pandangannya kepadaku sambil melempar senyum. “Korban menderita penyakit jantung ringan, lalu anda memberitahunya bahwa almond yang dimakan dengan lili lembah akan menyembuhkan segala penyakit, termasuk penyakit jantung,” lanjutku sambil memamerkan data tentang korban yang berhasil ku dapatkan dari salah satu website rumah sakit. Yah, terkadang aku bisa diandalkan dalam hal yang bersangkutan dengan gadget dan informasi.  Orlando masih tersenyum  puas ketika aku menatapnya meminta persetujuan. Ayah masih bergeming, tidak ada sedikit pun pembelaan yang ia lontarkan. “Korban dengan bodohnya langsung saja percaya, tapi dia tidak menunjukkannya di depan orang ini,” ujar Orlando. Dia menunjuk ayah dengan gaya yang sangat tidak sopan. “Korban ke kamar dan meminta tuan tersangka sebelumnya ini memetikkan beberapa the valley lilly untuknya. Lalu dia memakannya bersamaan dengan almond, bisa kita lihat masih ada serpihan almond di lantai. Sebagai bukti kalau almond itu sudah tercampur dengan racun glokosida dan sudah di makan sebagian oleh korban, silahkan tim forensik memeriksanya,” Orlando menyelsaikan penjelasannya. Aku tersenyum lalu menggandeng lengannya. Lalu kami berdua menatap ayah, meminta penjelasan. Ayah terduduk di lantai, lututnya terkulai lemas seakan-akan tulangnya tidak lagi kuat untuk menopang tubuhnya. “Ironis sekali, aku meminta kalian membantuku agar aku tidak tertangkap, tapi justru kalian mengetahui kebenarannya,” ujar ayah sambil menunduk. “Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi ayah yang baik. Orang itu…. Dia….” Suara ayah tercekat, lalu isaknya terdengar. “Aku tidak membunuhnya karena jabatan di intel. Aku membunuhnya karena dia telah membunuh istriku! Dia membunuh ibu kalian!” teriak ayah tiba-tiba. Gandenganku pada Orlando terlepas dengan sendirinya. Ibu dibunuh? “Manusia bejat itu membunuh ibu kalian! Dia membunuh wanita yang tidak bersalah!” teriak ayah di sela-sela tangisnya. “Apakah salah, kalau wanita memilih suami yang menurutnya cocok dengan dirinya? Apakah salah apabila wanita memilih orang yang dia sayangi untuk menghabisakan sisa hidupnya?” tanya ayah lirih. “Hah?! Jawab aku! Apakah salah?” teriak ayah, suaranya melengking pilu. “Orang itu, dia membunuh istriku karena dia tidak suka istriku menikah denganku,” ujar ayah. Tangisnya kembali pecah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiran bahwa korban adalah orang yang membunuh ibuku karena ibu menolak lamarannya memenuhi pikiranku. Menggerogoti hatiku dengan sayatan dalam.  Aku membuang muka, mengalihkan pandangan dari ayah. “Kejahatan tetaplah kejahatan. Kami mau pulang,” ucap Orlando, berusaha menutupi kekesalan yang dirasakannya. Aku bisa merasakan tatapan Orlando pada rambut perakku yang tidak biasa ini. Seisi ruangan diam mendengarkan suara Orlando yang tetap tegas meskipun lirih. “Terima kasih karena telah membongkar identitas pembunuh yang sebenarnya,” ucap ayah ketika kami melewatinya. Polisi segera bertindak dan membawa ayah yang pasrah.


 Tidak lama setelah kejadian itu, aku dan Orlando menjalani hari-hari kami seperti biasa. Berita tentang seorang intel yang membunuh rekannya sudah tidak lagi terdengar dimana pun. Begitu juga dengan berita bahwa ibu kami dibunuh. Orlando menasehatiku ketika aku menangis di hadapannya, “perempuan yang hebat adalah perempuan yang siap menerima kejutan apapun dalam hidupnya,” ujarnya sambil melemparkan senyum. Mata hijaunya setenang air hujan. “Kejahatan tetaplah kejahatan, apapun alasannya. Karena setiap kejahatan, pasti akan merugikan pihak lain yang mungkin tidak bersalah,” ucapnya ketika ia sadar bahwa aku juga memikirkan ayah yang sedang menjalani hukumannya.
 

----------------------------

Selesai juga ternyata :v bikin cerita detektif menguras otak dan tenaga juga. Gimana? sebelumnya ada yang menduga ayahnya pembunuhnya? 

Senin, 25 Mei 2015

Guess!

yo! minna! bagi para pecinta misteri, aku bikin cerbung misteri :D tenang chapternya 2 kok '-' yosha! check it out!


------------------------------------


"Adrienne, pinjamkan aku komik barumu, dong?” pinta Orlando yan tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu. “Hoi! Kalau masuk kamar cewek itu ketuk pintu dulu! Dasar mesum!” bentakku tidak suka. Orlando menatapku jengah. “Aku masuk karena aku tau kalau kamu tidak sedang ganti baju,” tukasnya sambil melihat deretan komik yang baru ku beli kemarin. Dia memilah mana yang menurutnya menarik dan mana yang tidak. “Nah, aku pinjam yang ini,” ucapnya kemudian sambil membawa 3 buah komik Detective Conan. “Huh, jangan sampai rusak,” ucapku member izin. Sudut bibirnya terangkat, aku menatapnya jengah. “Tentu saja,” ucapnya lalu melangkah ke kasurku. Aku memperhatikan kelakuan Orlando lalu menyerit. “Nah, adik kembarku yang manis biarkan kakakmu ini membaca dengan tenang,” perintahnya sambil tiduran di kasurku. Mata hijaunya bergerak mengejek. “Ya Tuhan, kenapa laki-laki selalu bertingkah semau mereka?” ujarku bergumam. Orlando terkekeh mendengar gumamanku. Aku melihat laptopku yang berkedip-kedip, menandakan adanya pesan masuk. Dengan semangat aku membukanya dan mendapati pesan dari ayahku. Semangatku hilang seketika itu juga.
 

Ada yang ingin ayah bicarakan. Cepat ajak kakakmu turun. 


Aku meringis. Rasanya ingin sekali ku banting laptop merah pucatku sekarang juga. Ayah selalu seperti ini. “Hoi! Kak,” ucapku sedikit berteriak. Orlando hanya melirikku dengan ekor matanya. “Ada yang ingin di bicarakan oleh ayah. Dia meminta kita untuk turun,” lanjutku. Aku menghembuskan nafas, lalu berdiri. “Ayo kak,” ujarku sambil menyakinkan diri sendiri di depan cermin.

 Sepertinya aku sudah bercerita terlalu banyak sebelum memperkenalkan diri. Kalau begitu, kenalkan namanya Adrienne Sa’ri. Aku memiliki garis keturunan yang bercampur antara Eropa dengan Indonesia. Ibuku sudah lama meninggal, aku tidak tau pastinya kenapa. Jadi ku pikir ibuku meninggal ketika melahirkanku dengan kakakku karena aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Oh iya, kakak yang ku maksud di sini adalah Orlando Sa’ri, kakak kembarku. Aku selalu menyukai senyum jengahnya dan tatapan jenaka mata hijau menenangkannya. Berbeda denganku, mataku berwarna abu-abu pucat. Rambut Oralando dipotong acak dan –bagiku- terlihat malas. Aku juga menyukai rambut hitam kecoklatannya, yang terlihat sangat cocok dengan mata hijaunya. Yah, hal ini membuatku membenci rambut berwarna perak milikku yang –walaupun- cocok-dengan-warna-mataku aku merasa seperti memiliki banyak uban di usia mudaku. Baiklah, kembali pada kakakku. Dia ini seorang otaku tingkat berat. Sebenarnya aku juga otaku, tapi aku lebih suka membaca komik daripada menonton anime. Jadi mungkin aku tidak bisa digolongkan ke otaku tingkat berat. Aku selalu mengagumi kakakku yang memiliki otak secerdas Holmes. Ah aku lupa memberitahumu bahwa kakakku ini penggila misteri seperti Shinichi Kudo dalam serial Detective Conan. Terkadang aku berharap bisa menjadi Watson untuknya, tapi aku tidak suka menulis. Aku lebih suka mengotak – atik laptopku untuk membuat program baru yang bisa berguna untuk diriku sendiri. Ralat, untukku dan kakakku. Selain itu, kakakku tidak pernah benar-benar memecahkan kasus besar seperti pembunuhan massal ataupun perampokan. Aku hanya memperhatikannya sesekali ketika memecahkan permasalahan kecil di sekolah.
 

Kami sampai di ujung tangga ketika ayah berdiri sambil melipat tangannya di dada. “Duduklah,” ucap ayah sambil menunjuk sofa coklat di depannya. Kami menurut sambil melihat ayah yang berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Hening mengisi waktu selama beberapa saat. Orlando terlihat tidak peduli namun senyum jengahnya memberitahuku bahwa dia malas berhadapan dengan ayah yang jarang sekali pulang. Ayah kami berkerja sebagai intel di kepolisian. Aku tidak tau pekerjaan seperti apa yang ayah lakukan sampai-sampai dia jarang memiliki waktu untuk mengurusiku dan Oralando. “Karena kalian sudah kelas 2 SMA aku akan mengajak kalian untuk ikut bersamaku,” ujar ayah secara tiba-tiba. Aku dan Orlando mendengus secara bersamaan. “Aku tidak mau,” ucap Orlando, masih dengan wajah malas yang terang-terangan di tunjukkannya. “Tolonglah,” ucap ayah dengan nada gusar yang jarang sekali ia tunjukkan pada kami. Ugh, bahkan seingatku dia tidak pernah menggunakan nada menyebalkan itu di hadapan kami. Orlando mendengus kesal. Lalu menatap ayah sinis. “Ceritakan,” ucapnya kemudian. Aku bisa melihat tubuh ayah gemetar, lalu tungkainya melemah dan dia jatuh terduduk di lantai. “Aku.. mayat…” ucap ayah meracau. Kedua alis Orlando menyerit tak suka. “Ceritakan dengan jelas. Kami tidak yakin bisa membantu, tapi kami akan mencoba melakukannya demi….” Orlando terdiam sejenak. Lalu sambil menghela nafas dia melanjutkan “Demi ayah.”

Ayah mendongak melihat Orlando. Memastikan tidak ada kebohongan di mata anak laki-lakinya. Lalu samar-samar ayah tersenyum getir. “Itulah yang aku harapkan dari anak-anakku,” ucapnya sambil berdiri. Lalu ayah memalingkan wajahnya ke langit-langit. “Aku melihat mayat, terbujur kaku. Wajahya menyeramkan, ku pikir karena ketakutan yang berlebih,” ujar ayah. Masih menatap langit-langit. Aku bisa melihat mata Orlando membulat penasaran. “Lalu, apa yang ayah inginkan dari kami?” Tanya Orlando. Ayah tersenyum nanar. Merasa enggan untuk meminta bantuan kepada anaknya. “Itu pertanyaan retoris?” ucapnya kemudian, balik bertanya. Orlando mendengus tak puas. Aku mendekatinya, menggenggam tangannya untuk memberi kesabaran. Dia menatapku dalam diam, lalu tersenyum samar. “Bergegaslah untuk bersipa-siap,” ucap ayah. Kalau aku tidak salah dengar, aku mendapati nada takut dalam suara ayah yang memerintah itu. Kami mengangguk bersamaan. Penasaran dengan kejutan apa yang akan ayah berikan kepada kami.

---------------------------------------------------------


“Seperti rumah kaca,” ucap Orlando. Aku mengangguk setuju, mendapati bahwa diriku dikelilingi oleh berbagai macam tumbuhan. “Angel trumpet,” gumamku ketika aku mencium aroma yang jarang sekali ku cium, namun tidak kunjung menemukan sumber aroma tersebut. Orlando menatapku cemas, “hati-hati,” ujarnya sambil mengelus rambut perakku. Aku mengangguk, lalu menutup hidung dengan jari telunjukku. Angel trumpet adalah tanaman dengan bunga yang bisa di golongkan narkotika. Hal ini dikarenakan aroma angel trumpet dapat menimbulkan halusinasi yang berlebihan pada penghirupnya. Dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kematian. Orlando menyerit sembentar memandangi rumpun bunga kecil yang bejajar rapi di dinding pagar yang menyerupai lembah. “Lily,” gumamnya pelan. “Huh?” tanyaku bingung. Dia menggeleng. Aku memperhatikan arah pandangan Orlando. Bunga-bunga kecil iu berwarna putih, menunduk seolah-olah patuh menghormati pengunjung yang datang melihat. Aku berjalan menghampiri bunga itu. “Adrienne, bisa tolong ambilkan sample sidik jari dari bunga itu?” pinta Orlando yang tiba-tiba berada di sampingku. Dia menunjuk rumpun bunga yang tidak sebanyak bunga yang lainnya. Aku mengangguk lalu mengambil tablet pc ku dan memotret bunga itu. Lalu memasukkan foto itu ke aplikasi yang ku buat sendiri untuk mendapatkan sidik jari. Aku member isyarat kepada Orlando, bahwa aku selesai. Orlando tersenyum mengiyakan.


Ayah menuntun kami masuk ke dalam rumah yang sudah di penuhi orang-orang berseragam polisi. “Biarkan kami melihat mayatnya,” ucap ayah meminta kepada polisii-polisi itu. “Tersangka tidak boleh melihat korban,” ucap salah satu dari polisi. Aku bisa merasa bahwa mataku membulat, terkejut. Ayah kami.. tersangka? Aku menatap ayah, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. “Uhm, maaf apa aku boleh bertanya?” ujarku sambil mendekati salah satu polisi yang menurutku ramah. “Silahkan saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Ke-kenapa ayahku bisa menjadi tersangka?” ujarku pelan, takut salah memilih kata. “Ada beberapa alasan, yang pertama ayahmu berada di sini ketika waktu kejadian dan yang kedua ayahmu memiliki motif untuk membunuh korban,” tutur polisi itu. “Lalu apa motif ayah?” tanyaku lagi. “Mereka berdua sedang memperebutkan posisi intel tertinggi di kepolisian, dengan membunuh korban, ayahmu tidak memiliki saingan lagi,” jawabnya jelas. Aku mengangguk mengerti, “lalu, selain ayah, apakah ada tersangka yang lain?” tanyaku setelah beberapa saat diam. Polisi itu mengangguk, “Dia sedang di toilet sekarang,” ucap salah satu polisi yang terkesan ramah. “Jangan melibatkan anak kecil, bodoh!” bentak polisi lainnya. Aku tersenyum meminta maaf lalu mengalihkan perhatianku kepada Orlando. Berbeda denganku, Orlando terlihat memperhatikan seluruh isi ruangan. Dia mendekati lilin tak beralas di atas meja. Memperhatikannya dengan baik lalu memanggilku. Dia mengangkat dua cangkir kopi di bawah meja. “Itu juga,” ucapnya sambil meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Aku mengangguk mengerti lalu melakukan hal serupa yang ku lakukan untuk bunga di luar tadi. Salah satu cangkir tersebut memiliki sidik jari yang bisa dikatakan sama dengan sidik jadi yang ku temukan di bunga tadi. Sesudahnya aku baru memperhatikan rumah itu. Walaupun dari luar rumah ini terlihat asri namun dalamnya terasa suram dan sedikit pengap. Ayah berdiri di dekat lemari besar sambil memandang kosong ke arah kami. 


“Dimana mayatnya?” Tanya Orlando. Polisi-polisi itu tak acuh. Aku memandang ayah, lalu melihatnya menunjuk ke arah kamar yang pintunya tertutup.  Pintu kamar itu menjulang tinggi dan besar. “Di situ,” tunjukku sambil menggenggam tangan Orlando. Dia menatapku sebentar lalu mengangguk dan menarikku kea rah pintu tersebut. “Jangan disentuh,” ucapnya tepat ketika aku hendak memegang kenop pintu. Orlando kemudian mengambil pcku lalu mendeketsi sidik jari di kenop itu. “Apa sidik jari ini memiliki kesamaan dengan salah satu sidik jari di cangkir?” Tanya Orlando, sambil menatapku. Aku mengangguk. Matanya membulat. “Sama dengan sidik jari yang ada di bunga kecil tadi,” lanjutku. Orlando mendengus. Sejauh ini aku belum bisa mengetahui apa yang benar-benar dia pikirkan. Dia mengecek ponselnya sesaat lalu berbisik padaku, “sidik jari di cangkir yang satunya adalah milik ayah.”


“Kalau begitu, bisa dipastikan bahwa bukan ayah pelakunya,” ucapku mantap. Ekor mataku melirik ayah yang masih berdiri di tempatnya tadi. Dia menggosokkan tangannya, huh mungkin dia kedinginan. Aku mengekor Orlando yang memasuki kamar setelah membuka kenopnya dengan sapu tangan yang entah darimana asalnya. Aroma almond langsung menyeruak menusuk hidung. “Sianida?” tanyaku setelah beberapa langkah. Orlando menggeleng, “bukan,” ucapnya. Lalu duduk untuk memungguti beberapa pecahan kacang almond yang remuk. “Kacang almond tidak mengeluarkan bau,” ucapku membisik Orlando. “Aku tahu,” ujarnya. Wajahnya tampak berpikir namun pandangannya tetap menelusuri seisi kamar. “Itu dia,” ucapnya setelah beberapa menit. Aku masih terus mengekornya sampai dia berlutut di hadapan mayat yang benar-benar kaku terlentang di dekat kasur. Mata mayat itu terbuka, menatap nyalang dengan aura murka. Seakan-akan dia akan menyerang siapa saja yang mendekatinya. Mulutnya menganga menyeramkan, seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat memilukan. Namun tetap saja, tubuh menyeramkan di hadapanku ini sudah lama mati dengan mengenaskan. Aku memperhatikan Orlando yang sepertinya sedang mengumpulkan sesuatu. Sial, aku tidak tahu apa yang sedang dia kumpulkan, dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. “Dia keracunan,” ucap Orlando yakin. “Aku tau,” tukasku jengkel. “Racunnya adalah sianida, kita bisa tau karena aroma menyerupai almond yang berasal dari mayat ini,” lanjutku sambil bergidik melihat mayat di hadapanku. “Bukan, bukan sianida,” ucap Orlando sambil memamerkan senyumnya. “Glokosida,” lanjutnya. Aku terdiam, berusaha memeras memoriku tentang racun yang terasa sangat familier di telingaku itu. “Uh, aku tahu siapa pelakunya,” ucap Orlando membuyarkan lamunanku. Sontak polisi yang sedang berjaga itu memandangi Orlando takjub. Ayah yang kini berada tepat di pintu menatap kami penasaran. “Siapa?”Tanya seseorang yang tiba-tiba mendekat. “Andalah orangnya, tuan.” Aku terdiam. Orlando tersenyum puas, yakin dengan apa yang dia katakanya. “Si-siapa?”