Judul: Burning Red (2)
Rate: T
Genre: romance,family
Author: El
Lenght: Chaptered
Disclaimer: Gosho Aoyama
RnR *beta fict* J
Pair: Ran Mouri, Shinichi Kudo, Kuroba Kaito
Rate: T
Genre: romance,family
Author: El
Lenght: Chaptered
Disclaimer: Gosho Aoyama
RnR *beta fict* J
Pair: Ran Mouri, Shinichi Kudo, Kuroba Kaito
check this out desu!
--------------------------------------------
*Loving him is like
trying to change your mind, once you already flying through the freefall. Like
the colors in autumn so bright, just before they lose it all…*
“Silahkan masuk,Ojii-san
to oba-san,” ucapku sambil tersenyum. Mempersilahkan tamu kami masuk.
Sepertinya aku pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, tapi entahlah kapan.
“Wah Ran-chan, kau cantik sekali. Obasan heran kenapa Shin-chan bisa memutuskan
hubungan kalian,” ucap bibi itu sambil berjalan masuk ke rumahku. Aku terdiam
selama beberapa saat. Banyak hal yang menggantung dalam pikiranku saat ini. Shin-chan?
Shin-chan memutuskan hubungannya denganku? Siapa Shin-chan itu? Aku meringis.
Hal itu hanya membuatku pusing.
“Konbawa Ran-chan.”
Aku menoleh ke asal
suara itu. Suara yang kerap ku dengar membisikan janji-janji kosongnya padaku. Tepat
di hadapanku laki-laki dengan rambut hitam kecoklatan itu berdiri angkuh. Dua
manik berwarna langit cerah menatapku, menunggu respon dari sapaannya.
“Shi-Shinichi?”
responku gelalapan. Sakit mulai merayapi hatiku. Aku mengumpulkan kekuatan
untuk berbicara, lalu dengan suara keras membentaknya “Apa yang kau lakukan di
sini, Brengsek?” bentakku. Sial. Suaraku tidak sekeras yang ku inginkan.
Shinichi Kudo menatapku lebih dalam. Seakan akan menikmati suara lirih bernada
kasar yang tadi ku lontarkan. “Entahlah. Untuk menghadiri undangan makan malam
mungkin?” ucapnya kemudian sambil mengankat bahu. Shinichi Kudo, seseorang
dengan mata biru cerah yang menenangkan. Seseorang yang pernah mengisi tempat
spesial dalam hatiku. Dia selalu bisa membuat ku tersenyum, dulu. Sampai suatu
hari dia memutuskan hubunganya dengan ku. Aku tidak mau mendengar alasan
konyolnya, tapi suaranya yang berat itu tetap saja menyerobot masuk dalam
ingatanku. “Aku tidak menyayangimu lagi” begitulah ucapannya ketika itu. Suaranya
terus terngiang seakan-akan aku ini manusia bodoh yang sangat ingin dia
permainkan.
“Keluar dari rumahku atau
kau mau ku paksa keluar?” ucapku mengancam. Berusaha menatapnya sesinis
mungkin.
Shinichi memasukkan
kedua tangannya ke dalam saku celananya. Senyum tipis terlukis di wajahnya. “Keduanya
bukan pilihan yang baik. Bagaimana kalau kau saja yang keluar?” tukasnya
angkuh. Melirikku dengan tatapan mengejek yang menjengkelkan.
“Sial! ini rumahku dan
aku berhak untuk menerima atau menolak tamu yang datang,” balasku jengkel.
Melipat tanganku di dada, lalu tersenyum puas. Merasa menang.
“Aku dan keluargaku
diundang oleh ayahmu. Jadi aku ini tamu ayahmu bukan tamumu. Permisi,” ucapnya
sambil menyerobot masuk. Aku terdiam sesaat, memandangi punggung Shinichi yang
berjalan semakin jauh ke dalam rumah. Sepertinya dia yang menang. Aku meringis.
Berani-beraninya dia, jujur saja aku tidak mau makan malam bersama sesorang
yang pernah membuatku berada dalam kondisi terburukku.
Aku terdiam beberapa
saat. Memikirkan skenario terburuk ketika aku harus makan satu meja dangan
orang yang ku benci. Aku memutuskan untuk berlari keluar rumah, aku bisa
merenung lebih baik di bawah langit yang pekat.
Aku berlari menuju
danau yang tadi ku lihat. Lampu-lampu di sekitarnya berkelip tanpa lelah. Aku
duduk di sebuah bangku memanjang yang menghadap ke danau. Menatap lily jingga
yang merunduk menahan dingin. Pikirku berkecamuk. Kenapa ayah mengundang orang
itu? Kenapa harus pada makan malam pertama di rumah baruku? Kenapa harus dia?
Kenangan bersama Shinichi menyerobot masuk dalam pikiranku. Aku tertunduk,
menatap kosong pada gaun satin putihku yang mulai basah oleh titik-titik air.
Sial. Kenapa aku harus menangisi orang seperti Shinichi?
*Remembering him comes
in flashback and echoes… tell myself it’s time now, gotta let go… but moving on
from him is impossible when I still see all in my head…*
“Butuh teman,
Mouri-Chan?” sapa seseorang yang langsung duduk di sampingku tanpa permisi.
“Tidak, terima kasih,”
ucapku sambil menghapus air mataku.
“Kau boleh menangis di
bahuku.”
“Aku tidak menagis di
depan orang asing,” ucapku parau. Aku masih ingin menangis. “Lihat, ini aku Kaito.
Kita sudah kenal sehari, apa itu masih disebut orang asing?” Kaito memegang
daguku dan mengubah arah pandangku hingga melihatnya. Dia tersenyum, matanya
seakan-akan mencari celah pada mataku. Hanya hening yang mengisi selama
beberapa menit dan entah bagaimana aku pun menangis di bahu Kaito. Menceritakan
segala hal tentang Shinichi, segala hal yang berhubungan dengannya. Aku baru
mengenal Kaito hari ini, dan pertemuan kami pun sepertinya tidak bisa dibilang
menyenangkan tapi tidak ada salahnya kalau aku ingin berteman dengannya, kan?
Dia sudah memegang rahasia ku. Menangis di bahunya.
Setelah menangis, aku
pun pulang dengan mata sembab. Tiba-tiba saja aku berpikir bagaimana bisa aku
menangis di bahu orang yang baru saja ku temui? Astaga. Itu sangat memalukan.
Aku berhenti berjalan dan menengadah ke langit. Menatap bintang sambil berharap
Kaito tidak mengungkit-ungkit apa yang tadi aku lakukan. “Sebaiknya aku melupakan
masalah ini, karena ku rasa masalah baru pasti akan muncul,” ucapku pada diri
sendiri.
Benar saja dugaanku,
tepat di depan gerbang rumah ayah sudah berdiri sambil berkacak pinggang. Yah
itu salah satu kebiasaan ayah kalau ayah sedang marah berat. “Ran Mouri, apa
kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?” sambut ayah marah tepat ketika aku
berada di hadapannya. “Ya, tentu saja,” ucapku tetap melangkah masuk ke rumah
tanpa mempedulikan ayah yang masih berdiri marah. “Kau membuat otousanmu ini
malu Ran!” ucap ayah dengan nada kesal sambil mengekor masuk ke rumah. Aku
dapat melihat ayah dengan ekor mataku, wajahnya merah padam. “Sebelumya, aku
lapar tousan. Boleh aku makan dulu sebelum otousan melanjutkan marah-marahnya?”
ucapku mengambil sepotong roti dan membawa ke kamar. “Ya Tuhan Ran! Don’t you
know how to act politely? I was your father!” ujar ayah semakin marah. “Sorry
father. But for now, the answer is no,” ucapku mempercepat langkahku menaiki
tangga dan memasuki kamar lalu menunci pintunya. Aku bersandar pada pintu
kamar. ‘Sumimasen otousan, aku butuh waktu untuk diriku sendiri,” lalu menutup
wajahku dan membiarkan tangis menemani malamku.
-----------------------------
#Next day
“Sumimasen. Saya ingin
bertemu dengan Alex Sensei. Saya membutuhkan buku-buku saya sekarang,” ucapku
setelah memasuki ruang guru. “I’m Alex” ucap seseorang dengan rambut pirang di
hadapanku. “Well, Biar saya tebak, Ran Mouri?” ucap guru berperawakan tinggi
dan cantik didepanku. Aku mengiyakan. “Buku apa saja yang kurang?” tanya guru
itu sambil mengisyaratkan agar aku mengikutinnya. “Biologi, kimia, bahasa
inggris, sosial dan matematika,” ucapku sambil berjalan mengikutinya. Beberapa
menit setelahnya kami sampai di sebuah ruangan yang dipenuhi buku. Alex sensei
mengambil buku-buku yang ku sebutkan tadi dan memberikannya kepadaku. “Ini
bukumu dan belajarlah yang giat,” ucap guru itu sambil berjalan keluar dari
ruangan ini. “Terima kasih,” ucapku sambil memegang buku yang diberikan oleh
Alex sensei. “Ano, Sensei.. Apa aku boleh tau lokerku dimana?” tanyaku mengekor
Alex sensei. “Pilih saja loker kosong yang berada di dekat kelas” ucapnya
menoleh ke arahku. “Nee, Mouri-chan, sebaiknya kau kembali ke kelas. Jam
pertama akan segera dimulai,” ucapnya tersenyum. Ak mengangguk dan bergegas
berjalan menuju kelas.
Ada beberapa loker
kosong di dekat kelasku, dan aku memilih loker pada baris kedua dari kiri. Lalu
meletakkan buku-buku yang tadi ku pegang ke dalamnya. “Kau baik-baik saja?”
Tanya seseorang tepat di telingaku. Aku meringis lalu menoleh. Lalu mendapati
seorang anak laki-laki tersenyum. “Kenapa kemunculanmu selalu tiba-tiba?”
ucapku dengan nada jengkel. “Ambil buku kimiamu. Jam pertama untuk hari ini
adalah matematika,” ucapnya mengalihkan topik. Dia masih tersenyum. “Bercandamu
tidak lucu,” responku malas. Kaito hanya meringis.“Aku berharap semoga tempat
dudukku dipindahkan,” ucapku sambil bersandar pada lokerku. “Kau pasti akan
kecewa. Kelas kita tidak menggunakan sistem seperti itu,” ucap Kaito sambali
berjalan pergi. “Ah semoga Tuhan mencabut nyawaku sekarang,” ucapku menyusul.
Kaito menoleh padaku dengan senyum tertahan. “Kau ini, sudah jangan bercanda!
Kelas akan segera dimulai,” ucapnya sambil mempercepat langkahnya.
“Hei! Kuroba Kaito!
Tunggu aku,” ucapku mencoba untuk mensejajarkan langkah ku. “Ternyata kamu
masih membutuhkan ku” ucapnya. Lalu berhenti dan tertawa. “Ayo Ran! Kelas akan
dimulai beberapa menit lagi, larilah!” ucapnya. “Aku tidak ingin melakukan ini
lagi,” ucapku. Lalu berlari menuju kelas dengan malas. “Sepertinya aku harus
membantumu,” ucap Kaito lalu menarik tanganku dan mengajak ku berlari.
*Touching him is like realizing all you ever
wanted was right there in front of you…*
------------------------------
To be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar