Minggu, 24 Mei 2015

Burning Red #2

Judul: Burning Red (2)
Rate: T
Genre: romance,family
Author: El
Lenght: Chaptered
Disclaimer: Gosho Aoyama
RnR *beta fict* 
J
Pair: Ran Mouri, Shinichi Kudo, Kuroba Kaito

check this out desu!
--------------------------------------------

*Loving him is like trying to change your mind, once you already flying through the freefall. Like the colors in autumn so bright, just before they lose it all…*
  
“Silahkan masuk,Ojii-san to oba-san,” ucapku sambil tersenyum. Mempersilahkan tamu kami masuk. Sepertinya aku pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, tapi entahlah kapan. “Wah Ran-chan, kau cantik sekali. Obasan heran kenapa Shin-chan bisa memutuskan hubungan kalian,” ucap bibi itu sambil berjalan masuk ke rumahku. Aku terdiam selama beberapa saat. Banyak hal yang menggantung dalam pikiranku saat ini. Shin-chan? Shin-chan memutuskan hubungannya denganku? Siapa Shin-chan itu? Aku meringis. Hal itu hanya membuatku pusing.

“Konbawa Ran-chan.”

Aku menoleh ke asal suara itu. Suara yang kerap ku dengar membisikan janji-janji kosongnya padaku. Tepat di hadapanku laki-laki dengan rambut hitam kecoklatan itu berdiri angkuh. Dua manik berwarna langit cerah menatapku, menunggu respon dari sapaannya.

“Shi-Shinichi?” responku gelalapan. Sakit mulai merayapi hatiku. Aku mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, lalu dengan suara keras membentaknya “Apa yang kau lakukan di sini, Brengsek?” bentakku. Sial. Suaraku tidak sekeras yang ku inginkan. Shinichi Kudo menatapku lebih dalam. Seakan akan menikmati suara lirih bernada kasar yang tadi ku lontarkan. “Entahlah. Untuk menghadiri undangan makan malam mungkin?” ucapnya kemudian sambil mengankat bahu. Shinichi Kudo, seseorang dengan mata biru cerah yang menenangkan. Seseorang yang pernah mengisi tempat spesial dalam hatiku. Dia selalu bisa membuat ku tersenyum, dulu. Sampai suatu hari dia memutuskan hubunganya dengan ku. Aku tidak mau mendengar alasan konyolnya, tapi suaranya yang berat itu tetap saja menyerobot masuk dalam ingatanku. “Aku tidak menyayangimu lagi” begitulah ucapannya ketika itu. Suaranya terus terngiang seakan-akan aku ini manusia bodoh yang sangat ingin dia permainkan.

“Keluar dari rumahku atau kau mau ku paksa keluar?” ucapku mengancam. Berusaha menatapnya sesinis mungkin.

Shinichi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Senyum tipis terlukis di wajahnya. “Keduanya bukan pilihan yang baik. Bagaimana kalau kau saja yang keluar?” tukasnya angkuh. Melirikku dengan tatapan mengejek yang menjengkelkan.

“Sial! ini rumahku dan aku berhak untuk menerima atau menolak tamu yang datang,” balasku jengkel. Melipat tanganku di dada, lalu tersenyum puas. Merasa menang.

“Aku dan keluargaku diundang oleh ayahmu. Jadi aku ini tamu ayahmu bukan tamumu. Permisi,” ucapnya sambil menyerobot masuk. Aku terdiam sesaat, memandangi punggung Shinichi yang berjalan semakin jauh ke dalam rumah. Sepertinya dia yang menang. Aku meringis. Berani-beraninya dia, jujur saja aku tidak mau makan malam bersama sesorang yang pernah membuatku berada dalam kondisi terburukku.

Aku terdiam beberapa saat. Memikirkan skenario terburuk ketika aku harus makan satu meja dangan orang yang ku benci. Aku memutuskan untuk berlari keluar rumah, aku bisa merenung lebih baik di bawah langit yang pekat.

Aku berlari menuju danau yang tadi ku lihat. Lampu-lampu di sekitarnya berkelip tanpa lelah. Aku duduk di sebuah bangku memanjang yang menghadap ke danau. Menatap lily jingga yang merunduk menahan dingin. Pikirku berkecamuk. Kenapa ayah mengundang orang itu? Kenapa harus pada makan malam pertama di rumah baruku? Kenapa harus dia? Kenangan bersama Shinichi menyerobot masuk dalam pikiranku. Aku tertunduk, menatap kosong pada gaun satin putihku yang mulai basah oleh titik-titik air. Sial. Kenapa aku harus menangisi orang seperti Shinichi?


*Remembering him comes in flashback and echoes… tell myself it’s time now, gotta let go… but moving on from him is impossible when I still see all in my head…*

“Butuh teman, Mouri-Chan?” sapa seseorang yang langsung duduk di sampingku tanpa permisi.

“Tidak, terima kasih,” ucapku sambil menghapus air mataku.

“Kau boleh menangis di bahuku.”

“Aku tidak menagis di depan orang asing,” ucapku parau. Aku masih ingin menangis. “Lihat, ini aku Kaito. Kita sudah kenal sehari, apa itu masih disebut orang asing?” Kaito memegang daguku dan mengubah arah pandangku hingga melihatnya. Dia tersenyum, matanya seakan-akan mencari celah pada mataku. Hanya hening yang mengisi selama beberapa menit dan entah bagaimana aku pun menangis di bahu Kaito. Menceritakan segala hal tentang Shinichi, segala hal yang berhubungan dengannya. Aku baru mengenal Kaito hari ini, dan pertemuan kami pun sepertinya tidak bisa dibilang menyenangkan tapi tidak ada salahnya kalau aku ingin berteman dengannya, kan? Dia sudah memegang rahasia ku. Menangis di bahunya.

Setelah menangis, aku pun pulang dengan mata sembab. Tiba-tiba saja aku berpikir bagaimana bisa aku menangis di bahu orang yang baru saja ku temui? Astaga. Itu sangat memalukan. Aku berhenti berjalan dan menengadah ke langit. Menatap bintang sambil berharap Kaito tidak mengungkit-ungkit apa yang tadi aku lakukan. “Sebaiknya aku melupakan masalah ini, karena ku rasa masalah baru pasti akan muncul,” ucapku pada diri sendiri.

Benar saja dugaanku, tepat di depan gerbang rumah ayah sudah berdiri sambil berkacak pinggang. Yah itu salah satu kebiasaan ayah kalau ayah sedang marah berat. “Ran Mouri, apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?” sambut ayah marah tepat ketika aku berada di hadapannya. “Ya, tentu saja,” ucapku tetap melangkah masuk ke rumah tanpa mempedulikan ayah yang masih berdiri marah. “Kau membuat otousanmu ini malu Ran!” ucap ayah dengan nada kesal sambil mengekor masuk ke rumah. Aku dapat melihat ayah dengan ekor mataku, wajahnya merah padam. “Sebelumya, aku lapar tousan. Boleh aku makan dulu sebelum otousan melanjutkan marah-marahnya?” ucapku mengambil sepotong roti dan membawa ke kamar. “Ya Tuhan Ran! Don’t you know how to act politely? I was your father!” ujar ayah semakin marah. “Sorry father. But for now, the answer is no,” ucapku mempercepat langkahku menaiki tangga dan memasuki kamar lalu menunci pintunya. Aku bersandar pada pintu kamar. ‘Sumimasen otousan, aku butuh waktu untuk diriku sendiri,” lalu menutup wajahku dan membiarkan tangis menemani malamku.

-----------------------------
#Next day

“Sumimasen. Saya ingin bertemu dengan Alex Sensei. Saya membutuhkan buku-buku saya sekarang,” ucapku setelah memasuki ruang guru. “I’m Alex” ucap seseorang dengan rambut pirang di hadapanku. “Well, Biar saya tebak, Ran Mouri?” ucap guru berperawakan tinggi dan cantik didepanku. Aku mengiyakan. “Buku apa saja yang kurang?” tanya guru itu sambil mengisyaratkan agar aku mengikutinnya. “Biologi, kimia, bahasa inggris, sosial dan matematika,” ucapku sambil berjalan mengikutinya. Beberapa menit setelahnya kami sampai di sebuah ruangan yang dipenuhi buku. Alex sensei mengambil buku-buku yang ku sebutkan tadi dan memberikannya kepadaku. “Ini bukumu dan belajarlah yang giat,” ucap guru itu sambil berjalan keluar dari ruangan ini. “Terima kasih,” ucapku sambil memegang buku yang diberikan oleh Alex sensei. “Ano, Sensei.. Apa aku boleh tau lokerku dimana?” tanyaku mengekor Alex sensei. “Pilih saja loker kosong yang berada di dekat kelas” ucapnya menoleh ke arahku. “Nee, Mouri-chan, sebaiknya kau kembali ke kelas. Jam pertama akan segera dimulai,” ucapnya tersenyum. Ak mengangguk dan bergegas berjalan menuju kelas.

Ada beberapa loker kosong di dekat kelasku, dan aku memilih loker pada baris kedua dari kiri. Lalu meletakkan buku-buku yang tadi ku pegang ke dalamnya. “Kau baik-baik saja?” Tanya seseorang tepat di telingaku. Aku meringis lalu menoleh. Lalu mendapati seorang anak laki-laki tersenyum. “Kenapa kemunculanmu selalu tiba-tiba?” ucapku dengan nada jengkel. “Ambil buku kimiamu. Jam pertama untuk hari ini adalah matematika,” ucapnya mengalihkan topik. Dia masih tersenyum. “Bercandamu tidak lucu,” responku malas. Kaito hanya meringis.“Aku berharap semoga tempat dudukku dipindahkan,” ucapku sambil bersandar pada lokerku. “Kau pasti akan kecewa. Kelas kita tidak menggunakan sistem seperti itu,” ucap Kaito sambali berjalan pergi. “Ah semoga Tuhan mencabut nyawaku sekarang,” ucapku menyusul. Kaito menoleh padaku dengan senyum tertahan. “Kau ini, sudah jangan bercanda! Kelas akan segera dimulai,” ucapnya sambil mempercepat langkahnya.

“Hei! Kuroba Kaito! Tunggu aku,” ucapku mencoba untuk mensejajarkan langkah ku. “Ternyata kamu masih membutuhkan ku” ucapnya. Lalu berhenti dan tertawa. “Ayo Ran! Kelas akan dimulai beberapa menit lagi, larilah!” ucapnya. “Aku tidak ingin melakukan ini lagi,” ucapku. Lalu berlari menuju kelas dengan malas. “Sepertinya aku harus membantumu,” ucap Kaito lalu menarik tanganku dan mengajak ku berlari.

*Touching him is like realizing all you ever wanted was right there in front of you…*
------------------------------

To be continue


Tidak ada komentar:

Posting Komentar