Aku memperhatikan kakak kembarku yang mengacak-acak
rambut hitam kecoklatannya. “Kak?” panggilku sambil memperbaiki program gagal
yang kubuat di PCku. Orlando menoleh ke arahku, “Ad, aku mau pinjam komik
lagi,” ucapnya. Setelah itu, dia kembali mengacak-acak rambutnya sambil
memperhatikan deretan komikku di rak buku. “Ya, jangan dirusak,” tukasku malas.
“Nggak ada Detective Conannya Aoyama yang baru ya?” tanyanya. Aku tidak
menggubris. Sepertinya Orlando sudah lelah mencari setelah lama kudiamkan.
Sekarang dia berjalan ke arah jendela kamar dan menutup sebagian tirainya.
“Sinar matahari itu tidak terlalu baik untuk otak,” ucapnya sambil melemparkan
diri ke kasur. Aku mendengus. Darimana dia dapat teori aneh seperti itu?
“Adrienne,” panggilnya. Aku bergumam malas sebagai
jawaban. “Apa sebaiknya kita berhenti sekolah saja?” tanya Orlando. Aku sontak
berbalik untuk menatapnya “Kenapa harus berhenti sekolah?” tanyaku kaget.
Orlando menutup matanya, “kita nggak punya uang. Ayah sedang ditahan. Ibu sudah
meninggal. Kalau kita sekolah bagaimana kita makan nantinya?” tanyanya.
“Bagaimana kalau kakak saja yang berheti sekolah? Kan kakak lebih tua dariku,”
ucapku dengan wajah polos yang kupaksakan. “Enak aja!” jawab Orlando cepat.
“Cuma beda 5 menit!” lanjut Orlando tidak suka, masih sambil menutup matanya.
Aku tertawa. “Aku mau. Berhenti sekolah,” ucapku sambil tersenyum. Orlando
membuka matanya lalu terduduk dengan tiba-tiba. “Serius?” tanyanya tidak yakin.
Aku mengangguk, membuat rambut perakku terayun pelan. “Haahh,” ujar Orlando
sambil menghempaskan tubuhnya di kasur lagi. “Baguslah. Tadi kupikir akan
menghabiskan banyak waktu untuk membujuk adik kembarku ini,” ucapnya kemudian.
“Eh! Ada syaratnya kakak….” Ucapku masih sambil tersenyum. “Heeh?” tukas
Orlando kaget bercampur tidak suka. “Apa syaratnya?” tanya Orlando setelah
cukup lama.
Tok…. Tok…. Tok….
“Kak?” aku menatap Orlando bingung. “Aku yang
bukain, kamu mau ikut turun?” tanya Orlando sambil berjalan ke arah pintu
kamar. “Ikut,” ucapku lalu mensejajari langkahnya.
Kakakku merapikan rambut acak-acakannya ketika
menghadapi seorang wanita dewasa yang berdiri di depan kami. “Maaf, sepertinya
anda salah rumah,” ucap Orlando sambil menatap wanita cantik di hadapan kami.
Wanita itu menggeleng, lalu tersenyum ramah. “Kediaman keluarga Sa’ri kan?”
tanyanya. Masih sambil tersenyum. Aku dan Orlando mengangguk gugup karena kami
tidak pernah menerima tamu sebelumnya. “Kalau begitu saya tidak salah rumah.
Nah, boleh saya masuk?” tanya wanita itu sambil melepas alas kakinya. “Ugh,
dipakai saja. Bagian bawah rumah ini jarang kami tempati jadi sedikit berdebu,”
ujarku melarang. Wanita itu mengangguk. “Anake,” ucapnya sambil berjalan masuk
rumah. “Adrienne, dan ini saudara kembarku, Orlando,” ucapku tangkas. Orlando
hanya mendengus malas ketika meyadari bahwa kami benar-benar mendapat tamu
sekarang. “Wah tidak perlu bersopan-santun ya?” tanya Nyonya Anake sambil
mengibaskan rambut hitamnya. Dia melirik sofa yang sedikit berdubu lalu duduk
dengan paksa di atasnya. “Baiklah, aku ke sini untuk meminta bantuan kalian.
Aku mendapat kabar di koran bahwa kalian membantu polisi untuk menyelesaikan
sebuah kasus pembunuhan,” ucapnya setelah beberapa lama terdiam. Orlando tidak
menggubris sama sekali.
Justru dia sibuk memainkan rambutnya yang mulai
menjutai menutupi matanya. “Kami tidak punya apa-apa untuk disuguhi kepada tamu
dan kami tidak yakin bisa membantu anda, Nyonya Anake,” ucapku sopan. Wanita
itu menggeleng, lalu merogoh sesuatu dari tasnya.
“Aku bisa
memberikan ini kepada kalian asalkan kalian mau membantuku,” ucapnya sambil
mengeluarkan selembar cek. Orlando yang tampak tidak peduli itu pada akhirnya
melirik cek tersebut. “Wah, 5 Juta? Untuk anak seusia kami?” tanya Orlando
tidak yakin dengan angka yang tertera pada cek tersebut. “Aku akan memberikan 5
juta sisanya ketika kalian bisa menyelsaikan masalahku dengan baik,” ucap
Nyonya Anake. “Bagus, sekarang apa yang bisa kami lakukan?” tanya Orlando
sambil mengantongi cek yang tadi dipegangnya. Dasar mata duitan!
“Aku ingin kalian menyelidiki, ada yang aneh dengan
halaman rumahku. Sekitar 3 hari yang lalu uhm sampai sekarang aku mendengar
suara kodok yang sangat berisik. Dimulai dari jam 7 malam, lalu ….”
“Maaf? Suara kodok?” potong Orlando tidak yakin.
“Iya, suara kodok”
“Bagaimana bisa ada suara kodok ketika sedang musim
kemarau?” ujar Orlando sambil menyerit bingung.
“Itu merupakan salah satu hal aneh juga,”
“Salah satu? Berarti ada hal aneh lainnya?”
“Ya, setiap menjelang tengah malam suara kodok yang
keras dan berisik itu lama kelamaan menjadi pelan dan menghilang. Aku tidak
pernah melihat kodok di siang hari, bahkan bangkainya pun tidak. Astaga!
Jejaknya pun tidak ada,” ucap Nyonya Anake setengah ketakutan.
Orlando meringis, “terror” ucapnya. Aku melongos,
“mungkin ada orang iseng yang menyalakan rekaman suara kodok pada jam 7 malam
di halaman rumahmu lalu kelelahan ketika sudah mendekati tengah malam,” ujarku
tak acuh. “Adrienne yang cantik, itu tidak mungkin!” ucap Orlando. “Itu pasti
mengundang pertanyaan untuk orang-orang lewat yang melihatnya,” lanjut Orlando
sambil terkekeh. Aku meringis. “Kami akan menginap besok malam untuk melihat
sendiri apa yang terjadi, bisa saja itu halusinasi anda,” ucap Orlando setelah
hening beberapa menit. “Baiklah, ini kartu namaku,” ucap Nyonya Anake sambil
berdiri. “Aku permisi,” ucapnya sambil berjalan keluar rumah.
“Jangan memutuskan segalanya sendirian!” bentakku
sesaat setelah Orlando mengunci pintu depan. “Huh? Aku lebih tua darimu.
Ingat?” ucap Orlando sambil berjalan menaiki tangga. “Hanya 5 menit lebih tua!”
ujarku masih membentak. “Kak, 5 juta itu sudah lumayan. Kenapa mau tambah
lagi?” ucapku sambil mengikuti Orlando. “Uhm, tadi itu aku kaget melihat
jumlahnya 5 juta, tapi nyonya kaya itu malah menambah jumlahnya. Anak berumur
17 tahun mana yang akan menolak uang sebesar 10 juta tanpa harus bekerja berat?”
Aku terdiam ketika mendengar perkataan kakakku. “Kita tetap akan berhenti
sekolah kan?” tanyaku. Orlando
berbalik dan tersenyum, “tentu saja. Kita akan kaya tanpa harus sekolah,”
ucapnya lalu kembali berjalan. Aku mengikutinya. Tersenyum
--------------------------------------------------------------
Kediaman Nyonya Anake terlihat seperti rumah normal
lainnya. Cat dindingnya berwarna putih gading dengan tiang besar menyerupai
pilar sebagai penyangga. Fondasi rumahnya dibentuk dari tiang-tiang kayu
sehingga lantai dasar rumah itu tidak benar-benar menyentuh tanah dan
menyisahkan ruang-ruang kecil di bagian bawah rumah. Terdapat tangga rendah
yang menghubungkan tanah pada halaman dengan teras rumahnya. Halaman rumahnya
cukup luas dan dipenuhi dengan tumbuhan sejenis mawar dan bakung. Hanya tanaman
Gelombang Cinta yang tampak lebih mahal daripada tanaman lainnya.
Aku dan Orlando berjalan pelan memasuki rumah
setelah dipersilahkan oleh pemiliknya. Ruang tamunya tidak begitu luas dengan
karpet beludru berwarna maroon yang dihamparkan. Beberapa bantalan penyangga
punggung sebagai hiasan dan meja kecil berkaki rendah di tengah ruangan. Tidak
ada tv di ruang keluarga, hanya ada beberapa perabotan rumah tangga dan
beberapa rak buku yang menjulang sampai ke atap rumah. Aku dan Orlando
mengikuti Nyonya Anake yang berjalan melewati beberapa pintu ruangan. Rumah ini
hanya terdiri dari satu lantai dengan ukuran yang tidak begitu besar. “Ini
kamar Adrienne dan yang itu kamar untuk Orlando,” ucap Nyona Anake setelah
berhenti di depan ruangan yang memeliki pintu coklat tembaga. “Kami tidur
berdua saja,” ucap Orlando sambil membuka pintu kamar. Hah, lagi-lagi manusia
itu memutuskan sendiri.
Kamar itu memiliki satu jendela kaca yang berada di
bagian atas tempat tidur. Lantai kamar tersusun dari ubin kayu yang seakan-akan
rapuh. Lampu ruangan hanya terdapat pada bagian tengah kamar, di dekat pintu
kamar terdapat sebuah lemari pakaian yang berwarna kelabu, senada dengan warna
cat kamar. “Hah, untung aja kasurnya cukup besar,” ucapku senang. “Memangnya
kenapa? Kamu nggak mau tidur di samping kakak kembarmu? Yah meski pun kakakmu
itu laki-laki” tanya Orlando sambil meletakkan ransel di dalam lemari. “Yah
kalau kasurnya kecil aku akan memintamu untuk tidur di lantai kak,” jawabku
asal. “Adik durhaka,” ucapnya. Aku terkekeh. “Kak, apa kita datang terlalu
pagi?” tanyaku ketika melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 09:00 AM. “Tidak,
aku sengaja datang pagi-pagi untuk mengecek siapa saja yang bertamu ke sini,”
ucap Orlando, dia lalu menghempaskan dirinya di kasur. “Ugh! Tidak seempuk
kasurmu,” ucapnya sedikit kesakitan. “Hah, kasurku jadi seperti itu karena
kakak sering menghempaskan diri di atasnya,” ujarku jengkel. “Oh ya?” tanyanya
tidak percaya. “Terserahlah, aku akan memberitahu Nyonya Anake kalau kita akan
menyelidiki kasus ini ketika ada orang yang bertamu selain kita,” ucapku sambil
berjalan keluar kamar.
Sekali lagi aku memperhatikan ruang keluarga milik
Nyonya Anake, masih tidak ada yang benar-benar istimewa dengan ruang keluarga
ini. Sayup-sayup kudengar suara percakapan dari ruang tamu. Aku berjalan pelan,
takut menggaggu kalau sekiranya Nyonya Anake sedang bercakap di telepon. Aku
melihat ruang tamu sekilas. Ah! Ada seorang laki-laki duduk di atas karpet
beludru itu. Aku memperhatikan tamu itu. Dia memakai jas berwarna hitam berdasi hitam juga.
Aku mengambil PCku dan memfoto tamu itu. PCku dengan otomatis mengakses datanya.
Orang itu bernama Michael Tirayoh, seorang direktur di sebuah perusahaan
besar.
Aku kembali ke kamar untuk memberitahu Orlando.
Setelah aku membuka pintu kamar, Orlando ternyata sedang asik berkutat dengan
selimut. Meneruskan tidurnya yang sempat tertunda. “Onii san!” ucapku sambil
menggoyang-goyangkan tubuhnya keras. Dia terbagun dengan kaget. “Heh? Onii
san?” tanyanya bingung. “Siapa yang manggil onii san? Salah denger kali kak,”
ucapku.
“Ah iya
mungkin cuma mimpi,” ucapnya masih bingung. “Kak, lihat,” ucapku sambil
menunjukkan PCku. “Ah! Tamu?” ucapnya bersemangat. “Bagus…. Bagus…. PC buatan
adikku ini memang hebat. Astaga! Seorang direktur? Oke, terima kasih datanya.
Sekarang mari kita intip,” lanjutnya berbicara sendiri. Dia memang tergila-gila
dengan hal yang seperti ini. Orlando berjalan pelan sambil menenteng PCku,
membuka pintu kamar lalu berjalan seolah tidak ada apa-apa menuju ruang tamu.
Aku mengikutinya dengan tergesa-gesa. Orlando berhenti di dekat ruang tamu lalu
mengamati. Dia menatap bingung. Aku balik menatapnya. Apa?
Aku melirik ruang tamu itu dan mendapati orang
bernama Michael Tirayoh sudah berganti menjadi 3 orang lainnya yang tidak kuketahui
namanya. Aku meminta PCku, Orlando memberikannya. Kemudian aku memfoto
orang-orang itu satu persatu. Ketiganya menggunakan kaos oblong dengan celana
jeans lusuh. Seorang dengan rahang yang terkesan kuat bernama Robin Tollan,
memakai kaos oblong berwarna merah dengan warna yang sudah pudar di beberapa
tempat. Laki-laki yang duduk sopan di sampingnya memakai kaos berwarna hijau
pucat. Bernama Andy. Seorang lagi yang warna pakaiannya tidak bisa kugolongkan
ke warna apa bernama Erick. Ketiganya adalah kelompok pencinta alam di
Universitas Of Berlin. Kelompok itu bernama Stalker Scorpio. Punya hubungan apa
orang-orang ini dengan Nyonya Anake? Tanpa pikir panjang aku mengarahkan PCku
ke arah Nyonya Anake dan mengambil gambarnya. Heh? Nyonya Anake adalah anggota
Stalker Scorpio juga? Wanita cantik seperti Nyonya Anake adalah seorang anggota
pencinta alam? Aku memandang Orlando dengan tatapan bingung, namun dia masih
mengamati tamu itu. Tidak lama kemudian ketiga tamu itu berpamitan, dengan
sigap Orlando menghampiri Nyonya Anake ketika nyonya itu menutup pintu
rumahnya.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Nyonya itu.
“Apakan Tuan Michael Tirayoh adalah tamu pertama
anda hari ini?” tanya Orlando.
Nyonya Anake mengangguk sebagai jawaban. “Apakah dia
bertamu setiap pagi?” tanya Orlando lagi. Sekali lagi Nyonya Anake mengangguk.
“Uhm tapi tidak benar-benar setiap pagi. Kadang-kadang dia juga datang untuk
makan malam,” ucap Nyonya Anake setelah terdiam selama beberapa lama. “Apakah
saat dia datang untuk makan malam dia bertamu di pagi harinya juga?” ujar
Orlando masih bertanya. Aku bisa melihat Nyonya Anake tidak nyaman dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kakak kembarku itu. Meskipun begitu,
Nyonya Anake tetap mengagguk sebagai jawaban. Orlando tersenyum. “Bagaimana
dengan ketiga tamu yang barusan pulang?” tanya Orlando, masih dengan senyuman
di wajahnya. Nyonya cantik itu terlihat enggan untuk menjawab, hening mengisi
ruangan selama beberapa menit.
“Uhm hanya
Robin yang sering datang mengunjungiku, entah kenapa hari ini mereka bertiga
datang bersamaan. Tunggu, kenapa kamu bisa mengetahui nama teman-temanku?”
tanya Nyonya Anake. “Rahasia,” ucapku sedikit berteriak untuk menanggapi. Aku
bisa melihat bahwa Nyonya Anake sedikit kaget dengan teriakanku. “Terima kasih
atas informasinya Nyonya, kami kembali ke kamar dulu,” ucap Orlando sambil
menarik tanganku kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar Orlando meminta PCku dengan
paksa. “Informasi apa yang kamu dapat tentang Nyonya Anake?” tanya Orlando
sambil mengotak-atik PCku. “Kakak bisa membacanya sendiri” tukasku jengkel. “Ah
ya! Bagus itu dia motifnya,” ujar kakakku sedikit berteriak. Aku menatapnya
bingung. “Adrienne, lihat! Nyonya Anake pernah bekerja di perusahaan Tuan
Michael itu, lalu dia mengundurkan diri tahun lalu. Tuan Michael masih
membutuhkannya sehingga tuan itu membujuk Nyonya Anake agar kembali namun
Nyonya cantik itu menolak dan klik! Tuan itu meneror Nyonya Anake lalu
berpura-pura untuk membuatnya terhibur dan Nyonya Anake akan kembali bekerja di
perusahaan itu,” ujar Orlando tersenyum puas. “Aku tidak mau kakakku terjebak
dengan deduksiya yang salah lagi, teliti,” ujarku. Orlando mengangguk mengerti,
lalu memperhatikan data tentang Nyonya Anake yang tertera di PCku. “Bisa juga
tuan Robin yang menjadi pelaku terror ini. Bagaimana pun dia adalah anggota
pencinta alam, dengan begitu dia tahu mana kodok yang bisa tetap hidup di musim
kemarau,” ucap Orlando sambil menerawang. “Kalau begitu dua orang sisanya juga
bisa dimasukkan ke daftar tersangka,” ucapku. Orlando mengangguk setuju. “Yah,
ketiganya adalah pecinta alam,” ucap Orlando lalu meletakkan PCku di atas meja
yang berada di samping kasur. Kemudian dia membaringkan tubuhnya di kasur lagi.
“Hah aku lupa bawa komikmu,” ujarnya jengah. Aku meringis, sempat-sempatnya dia
memikirkan komik ketika ada orang yang ingin meminta bantuannya.
Aku ikut berbaring di sampingnya. Aku memang sering
mengantuk di pagi hari. “Kak, kenapa kita harus menyelidiki tamu yang datang?”
tanyaku sambil memandang langit-langit kamar. Kamar ini sepertinya selalu
bersih meskipun tidak ada yang menempati. Orlando bergumam, “karena mungkin
tujuan mereka tidak hanya bertamu,” ujarnya sambil mendengus. Aku terdiam,
mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan kakakku. “Maksudnya?” tanyaku saat
aku tidak yakin bahwa aku bisa mencerna kalimat itu dengan baik. “Kenapa kamu
bertanya?” ujar Orlando balik bertanya. “Daripada nanti aku menyuruh kakak
untuk menulis cerita tentang apa yang belum kuketahui,” ucapku sambil
menatapnya. “Bagus, bertanya itu lebih baik daripada aku menulis lagi,” ucap
Orlando. “Bisa saja salah seorang dari mereka yang bertamu itu bertujuan untuk
memeriksa keadaan Nyonya Anake, apakah dia baik-baik saja setelah pelaku terror
itu menyebarkan kodok di halaman rumahnya? Atau apakah pelaku itu berhasil
membuat Nyonya Anake tertekan?” lanjutnya, lalu menghembuskan nafas keras. Aku
mengangguk mengerti, ah ku kira itu hanya pekerjaan iseng yang dilakukan
kakakkku untuk mengisi waktu. “Terlebih, Tuan Robin dan Mike datang setiap
pagi. Apakah itu tidak mencurigakan?” tanya Orlando. “Mike?” aku menyerit. “Yah
nama keren yang ku berikan untuk Tuan Michael untuk menyingkat namanya,” ucap
Orlando acuh. Hah. “Terserah kakak saja,” tukasku jengkel. Orlando terkekeh.
--------------------------------------
Suara kodok itu benar-benar terdengar ketika malam
datang. Cukup keras sehingga aku mungkin akan menyimpulkan bahwa ada jutaan
kodok di luar sana. Orlando menyelinap keluar rumah dan aku membuntutinya,
tidak ingin mati penasaran dengan apa yang ada di pikiran kakak kembarku yang
menyebalkan itu. Dia menunduk-nunduk ketika sampai di ujung teras rumah. Berhenti
tepat di dekat tangga yang menuju ke halaman lalu berbalik. “Astaga! Adrienne!”
tukasnya kaget ketika mendapati aku berada di belakangnya. Aku menyengir,
“tidak ingin ketinggalan cerita,” ujarku sambil menenteng PCku.
Orlando menggeleng, “benar-benar ada kodok,” ucap
Orlando sambil menunjuk tangga tempatnnya berhenti tadi. “Wah, apa kodoknya
semenakutkan itu sampai-sampai kakakku bergidik ketika melihatnya?” tanyaku
senang karena menyadari bahwa Orlando takut kodok. Aku berjalan mendekati
tangga namun Orlando menahanku. “Dart Frog,” ucapnya. Aku melongok ke arah
tangga dan mendapati sekitar enam ekor kodok berwarna cerah yang sedang
melompat riang sambil mengeluarkan suara yang berisik. Aku bergidik ngeri.
Kodok asal Amerika Selatan itu kenapa bisa berada di sini? Di Indonesia? Aku
menatap Orlando ngeri. Dia meringis, tidak tau berbuat apa. “Kita tunggu tengah
malam,” ucap Orlando, sambil berjalan masuk. Hah tidak ada yang bisa kami
lakukan selain membiarkan kodok beracun itu bernyanyi sepuas mereka?
Nyonya Anake memanggil kami untuk makan malam,
Orlando menolak makan. Adrienne? Menolak makanan? Mana mungkin. Aku
menghabiskan sup asparagus yang dibuat oleh Nyonya Anake, suara kodok itu cukup
menghibur kalau saja aku tidak tahu kalau kodok yang sedang berisik itu adalah
kodok dengan racun yang bisa membunuh 10 manusia dewasa setiap tetesnya. Aku
bisa melihat Orlando yang sedang menggigit coklatnya di ruang keluarga sambil
melihat-lihat kumpulan buku yang ada. Huh kami tidak akan berbuat apa-apa
sampai tengah malam. Setelah makan malam aku dan Orlando kembali ke kamar,
kakakku itu kembali ke kamar dengan membawa 3 novel yang cukup tebal.
“Sepertinya buku-buku ini bagus,” ujarnya.
Sialnya aku tertidur setelah beberapa menit berbaring.
Sedangkan Orlando –seperti biasa- tidak akan menyadari hal lain ketika asik
membaca buku.Orlando baru sadar ketika jam di ponselnya memamerkan angka 03:27
AM, sedangkan aku terjaga dari tidurku karena suara berisik yang ditimbulkan
Orlando, dia terburu-buru berlari keluar. Dengan setengah sadar aku berlari
mengikuti kakakku itu. Orlando berhenti tepat di dekat tangga seperti tadi,
mengucek matanya kasar lalu membuang pandangannya secara terburu-buru.
Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dia mengacak rambutnya kasar
sambil menghela nafas, jengkel. “Kenapa?” tanyaku sambil mendekat. “Cih,”
tukasnya ketika aku sudah berada di dekatnya. “Liat Adrienne, peneror itu
melaksanakan terornya seperti biasa, padahal aku ada di sini. Ah! Sial!” omel
Orlando dengan nada marah yang ditujukan pada dirinya sendiri. “Kodok-kodok itu
sudah hilang?” tanyaku penasaran. Lalu menoleh ke arah dimana kodok-kodok
beracun itu berada ketika jam makan malam. Aku terkejut ketika menyadari bahwa
tidak ada seekor kodok pun, bahkan seekor bangkai kodok pun yang berada di
tangga itu. Berarti kemungkinan bahwa kodok itu dimusnakan oleh sesorang adalah
kemungkinan yang salah. Kodok itu menghilang dengan cara misterius. “Sial!”
Teriak Orlando frustasi. “Masih ada besok kakak, penelitian membutuhkan
ketenangan,” ucapku sambil mengelus punggung kakakku. Orlando masih terus
mengumpat marah, tidak suka karena dia melakukan kesalahan sepele sehingga dia
kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan kasus. Aku memeluknya. Kakakku itu
terdiam cukup lama. “Terima kasih, Adrienne” ucapnya. Aku tersenyum menanggapi.
“Masih ada besok, jangan terlalu memaksakan diri. Besok pagi kakak bisa
meneliti jejaknya. Sekarang sebaiknya kakak istirahat,” ujarku. Hah aku tidak
tahu kalau ternyata aku cukup bijak untuk dijadikan seorang penasehat.
----------------------
Sinar keemasan membangunkanku dari tidurku yang
mungkin bisa dibilang nyenyak. Aku menggeliat malas. Aku sadar bahwa gravitasi
pada kasur lebih kuat daripada gravitasi bumi pada pagi hari. Pukul 07:07 AM,
masih terlalu pagi untuk bangun. Aku menoleh ke sisi kananku, Orlando sudah
tidak ada di tempat dia terlelap tadi. Astaga! Orang itu benar-benar tidak
sabaran. Aku berlari keluar dengan wajah bangun tidur dan rambut acak-acakanku.
“Orlando Sa’ri?” panggilku sambil berjalan sopan melintasi ruang tamu. Lalu aku
mendapati Orlando yang sedang berjongkok di dekat tanaman mawar. “Wah adikku
sudah bangun, sepertinya rambut perakmu itu harus di sisir,” ucap Orlando tanpa
mengalihkan padangannya ke arahku. “Sudah ku bilang aku tidak mau ketinggalan
cerita kak,” ucapku jengkel sambil berusaha merapikan rambutku dengan jari.
Tidak berpengaruh apa-apa, rambutku masih berantakan. “Nyonya Anake masih tidur
sepertinya,” ucap Orlando sambil berdiri. “Dan penelitianku sudah selesai,”
lanjutnya. “Bagus, kakak mendapatkan sesuatu?” tanyaku kikuk karena lupa
membawa PCku. “Ya, sudah ku foto,” ucapnya sambmil mengangkat PCku sampai di
depan dada. Ah ternyata Orlando sudah membawanya. “Tidak banyak, hanya ada jejak
garis panjang di rumput ,” lanjutnya sambil menunjuk sesuatu di rumput. Aku
tidak mendapati apa-apa, rumput itu masih berembun. “Perhatikan lagi, embun di
sana tidak setebal embun di tempat lain,” ucap Orlando, menyadari bahwa aku
tidak cukup jeli untuk memperhatikan. Ah! Garis itu memanjang dengan
meliuk-liuk dan salling bertindih. Kalau dikira-kira lebarnya hanya sekitar 2
cm. “Ujung garisnya di?” tanyaku sambil memperhatikan garis meliuk yang saling
bertabrakan itu. “Di tanah. Tidak ada jejak di sana karena debu pada tanahnya
sudah dibasahi embun,” ucap Orlando. “Menurut kakak, itu apa? Sepertinya apapun
itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucapku. Orlando mengangkat bahu, “entahlah,
itu tidak mungkin dart frog yang kita lihat tadi malam. Karena meskipun kodok
itu bisa berjalan, mereka tidak akan bisa berjalan sejauh itu,” Orlando
menjelaskan. Aku mengangguk mengerti. “Hanya itu?” tanyaku. Orlando mengangguk
kesal. “Tidak ada apa-apa lagi di sini. Aku sudah berkeliling halaman dan hanya
mendapati jejak samar dari sesuatu yang tidak ku ketahui. Aku setuju bahwa
apapun itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucap Orlando sambil berjalan memasuki
rumah.
“Hah, aku lapar. Tolong ambilkan coklatku di tas,”
Orlando menghempaskan dirinya di sofa ruang keluarga. Aku berjalan gontai
memasuki kamar, mengambil coklat di tas Orlando lalu melemparkan coklat itu ke
arahnya. “Nice pass,” ucapnya sambil menangkap coklat yang ku lempar. Aku
mendengus. Lalu kembali ke kamar untuk menyisir rambutku dan menguncirnya
secara acak-acakan. “Kak, kamar mandi di sebelah mana?” tanyaku, sambil berdiri
tepat di pintu kamar. “Di kamarmu ada kamar mandinya,” ucap Nyonya Anake dengan
tiba-tiba. “Astaga, anda mengagetkanku,” pekikku kaget. Nyonya Anake dan
Orlando terkekeh. Aku merenggut jengkel. “Di sebelah mana?” tanyaku bingung,
karena walaupun sudah ku perhatikan berkali-kali aku tidak mendapati ada pintu
lain selain pintu keluar-masuk di kamar itu. Nyonya Anake berjalan masuk, lalu
menggeser dinding di dekat lemari pakaian. “Sebelah sini,” ucapnya sambil
menunjuk dinding yang sudah bergeser sepenuhnya, digantikan dengan kamar mandi
yang tidak bisa dikatakan luas. “Terima kasih,” ucapku sambil berjalan masuk.
Tidak ada bathup di kamar mandi ini, yah aku memang lebih suka mandi
menggunakan shower daripada berendam lama di bathup. Awalnya aku hanya berniat
untuk mencuci muka, tapi entah kenapa aku berubah pikiran. Aku mandi sekenanya
dengan malas-malasan.
---------------
Orlando keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan
sekitar 20 menit waktunya untuk mandi. Dia mengeringkan rambut hitam
kecoklatannya itu. “Sepertinya rambut kakak perlu dipotong,” ucapku memberi
saran. Orlando meringis lalu menatapku malas dengan mata hijau menyebalkannya
itu. “Kalau kamu yang potong aku mau,” ujarnya dengan nada malas yang
dibuat-buat.
“Kita ngapain hari ini kak?” tanyaku mengabaikan
ucapan kakakku.
“Menguping pembicaraan tuan Robin dan Mike yang akan
datang sebentar lagi. Astaga! Novelnya belum ku selesaikan. Adrienne, kamu saja
yang menguping ya? Aku ingin menyelesaikan novelnya dulu” pinta Orlando
seenaknya.
“Tidak mau,”
“Ayolah…. Sekali-sekali turuti perintah kakakmu,”
“Aku sudah sering menuruti perintah kakak kembarku
yang menyebalkan itu,”
“Bagus, dengan begitu kamu hanya perlu menurutinya
lagi,”
“Ayolah, kenapa aku?”
“Kamu tidak mau ketinggalan ceritanya kan?”
Aku terdiam. Menyesal karena mengatakan kalimat itu
berkali-kali sebelumnya. Aku harus mengelak, tapi bagaimana caranya? “Nah,
sebaiknya memang kamu yang menguping. Aku selalu berharap punya saudara kembar
yang bisa diandalkan,” ucap Orlando dengan nada mengejek. “Hah kakak yang
jahat,” ucapku jengkel. “Apa PC buatanku itu tidak bisa kakak pakai untuk
membantu penelitian hah? Atau apa aku tidak bisa diandalkan untuk menghibur
kakakku ketika sedang stress dengan pengamatan gagalnya?” ujarku jengah.
Orlando terkekeh ringan. “Wajahmu lucu,” ucapnya di sela tawanya. Aku mendengus
kesal. “Jangan marah begitu, akan ku belikan 4 buah komik kalau kamu mau
menguping,” ucap Orlando. “Lima,” pintaku. Sekarang Orlando yang mendengus.
“Oke, lima buah komik,” ucapnya menyerah. “Bagus,” aku menurut lalu berjalan
keluar kamar. Sambil memasang wajah ceria aku berjalan menuju ruang tamu dan
mendapati Tuan Robin sudah duduk dengan santai di atas beludru maroon. Nyonya
Anake masih menggunakan piyamanya dan memaksakan diri untuk tersenyum meskipun
wajahnya terlihat masih mengantuk.
“Kamu ingat waktu kita mendaki Merapi?” tanya Tuan
Robin setelah meneguk tehnya.
“Ya, Erick melamarku di sana. Bagaimana aku bisa
lupa?” jawab Nyonya Anake.
“Wah aku baru tahu,” ucap Tuan Robin. Dia mengankat
bahunya. “Lalu bagaimana?” lanjutnya.
“Ku tolak, aku masih terlalu muda untuk menikah
waktu itu,”
“Ugh, begitu ya ternyata,”
“Kenapa?”
“Ah bukan apa-apa. Oh iya, apa tidak ada yang
mengganggumu akhir-akhir ini?”
Aku mendekatkan diri lagi agar bisa mendengar dengan
jelas percakapan yang terjadi antara Tuan Robin dan Nyonya Anake. Aku bisa
melihat wajah Nyonya Anake berubah pasi mendengar pertanyaan Tuan Robin. “Ada,
tapi aku baik-baik saja. Ada anak remaja yang menemaniku di sini,” jawab Nyonya
Anake. Tuan Robin cepat menyembunyikan ekspresi kaget dan uhm takut? Lalu
digantikan dengan senyum aneh. “Ada
apa?” tanya Nyonya Anake karena tidak mendapat respon apa-apa dari Tuan Robin.
Tuan Robin menggeleng cepat. “Huh, mencurigakan,” gumamku pelan. Tuan Robin
tampak seperti ingin berbicara tapi dengan tiba-tiba terdengar suara orang lain
yang datang. Aku mencondongkan tubuhku sedikit agar bisa melihat siapa yang
datang. Tuan Michael? Wah aku beruntung!
“Ah aku datang di saat yang kurang tepat rupanya,”
ucap Tuan Michael sambil memasuki ruangan. Nyonya Anake menggeleng sambil
tersenyum, “sebenarnya kalian berdua datang di saat yang tidak tepat. Aku belum
mandi,” ucap Nyonya Anake dengan nada bercanda yang dibuat-buat. Kedua tamu itu
tertawa. “Ada apa Mike? Aku tidak mau membicarakan perusahaanmu lagi. Aku
sedang ingin menulis,” ucap Nyonya Anake setelah tawa laki-laki di hadapannya
reda. Mike? Panggilan yang sama dengan panggilan yang diberikan Orlando. “Ah
kamu bisa membaca pikiranku ya?” ucap Tuan Michael sambil tertawa. “Begini,
kamu bisa kembali bekerja di
perusahaanku setelah kamu menyelsaikan tulisanmu,” ucap Tuan Michael. Astaga! Orlando
benar tentang dugaannya bahwa Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali bekerja
di perusahaannya. Aku bisa melihat Nyonya Anake menggeleng sopan. “Aku akan
terus menulis,” ucapnya. Tuan Robin yang daritadi diam akhirnya membuka mulut,
“uh, aku permisi sekarang. Ada yang harus ku kerjakan,” ucap Tuan Robin sambil
berdiri. Lalu Aku bisa melihat Tuan Robin yang berjalan keluar dengan
terburu-buru. Kenapa dia terburu-buru?
“Dengar Anake, aku uh maksudku perusahaanku
membutuhkanmu. Jadi ayolah,” ujar Tuan Michael memohon. Nyonya Anake menggeleng.
“Mau minum apa?” tanya Nyonya Anake mengalihkan pembicaraan. “Tidak usah, aku
akan berkunjung lagi nanti malam,” ucap Tuan Michael sambil berdiri. Nyonya
Anake terlihat bingung untuk merespon. Hah Tuan itu ternyata menyebalkan. Aku
berjalan cepat menuju Nyonya Anake lalu berdiri membelakangi Tuan Michael,
“tante, nanti malam kita jalan-jalan ya?” pintaku sambil mengedipkan sebelah
mata ke arah Nyonya Anake untuk mengajaknya berkompromi. Nyonya Anake
mengangguk, “ide bagus. Nanti malam kita jalan-jalan. Ajak Orl juga ya,”
ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Maaf, nanti malam aku tidak bisa menerima tamu. Keponakanku ingin
jalan-jalan,” aku bisa mendengar ucapan Nyonya Anake yang menolak Tuan Michael
halus.
Aku sadar kenapa Nyonya Anake terlihat bingung saat
merespon, dia tidak ingin ada orang yang mengetahui terror yang terjadi di
rumahnya ketika malam hari. Karena itulah Adrienne yang cantik ini membantu di
saat yang tepat. Haaah aku merasa seperti pahlawan. Beberapa detik setelah aku
memuji diri sendiri, Tuan Michael sudah pergi meninggalkan teras rumah. Aku cepat-cepat
duduk sopan di sofa.
“Terima kasih
bantuannya, tadi itu sangat membantu,” ucap Nyonya Anake sambil tersenyum.
“Sama-sama,” ucapku ‘maaf karena aku menguping,’ tambahku dalam hati. “Aku mau
mandi dulu. Kalau kamu mau sarapan, panaskan sendiri makanannya,” ucap Nyonya
Anake sambil berjalan memasuki kamarnya. Aku mengangguk senang. Yes, makan.
Setelah mengahbiskan sarapan sekaligus makan
siangku, aku kembali ke kamar untuk melaporkan informasi yang kudapat dari
percakapan Nyonya Anake dengan kedua tamunya tadi. Orlando menutup bukunya
tepat ketika aku duduk di sampingnya. “Berapa orang tamu?” tanyanya. “Dua, Tuan
Mike dan Robin,” ucapku. Orlando tersenyum, “Ada percakapan yang menarik?”
tanyanya. “Nyonya Anake pernah di lamar oleh Tuan Erick ketika mendaki Merapi,
tapi Nyonya Anake menolaknya. Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali ke
perusahaannya, tapi Nyonya Anake menolak juga,” ucapku menjelaskan. Orlando
mengangguk paham. “Ada lagi?” tanyanya, aku menggeleng. “Hah, ku pikir ada
salah satu diantara mereka yang menanyakan tentang keadaan Nyonya Anake,” ucap
Orlando malas. Aku terperangah, “tunggu dulu, sepertinya aku melewatkan
sesuatu,” ucapku. Orlando kembali bersemangat, “apa itu?” ujarnya dengan nada
penasaran. “Tadi Tuan Robin menanyakan apakah ada hal yang menggagu Nyonya
Anake, lalu Nyonya itu menjawab ada tapi dia baik-baik saja,”
“Klik!” pekik Orlando senang, “itu dia, dia
mencurigakan. Tapi kalau Tuan Mike dan Tuan Erick memiliki motif untuk
melakukan terror, Tuan Robin tidak memiliki motif apapun,” lanjut Orlando
sambil meringis. Aku menahan senyum, “Tuan Robin dan Tuan Erick bersahabat.
Apakah kakak tidak akan dendam pada wanita yang menolak sahabat kakak?”
tanyaku. Orlando terperangah, lalu tersenyum. “Itu bisa dijadikan motif,”
ucapnya. “Sekarang kita punya 3 tersangka tetap,” ucap Orlando senang. Ini
artinya kami semakin dekat dengan kesimpulan. “Tapi kita belum mengetahui
dengan pasti siapa pelakunya dan bagaimana kronologi kejadiannya,” ujar
Orlando. “Nanti malam, jangan membaca novel lagi,” ucapku mengingatkan. Orlando
menyengir “padahal aku sudah niat ingin menyelsaikan satu novel lagi,” ucapnya.
Aku melemparnya dengan novel yang baru selesai dia baca. “Oke, aku tidak akan
baca novel malam ini,” ucap Orlando sambil tersenyum.
---------------------------
Entah kenapa, malam ini dingin terasa lebih menusuk
daripada biasanya. Bahkan pada musim kemarau pun udaranya masih terasa dingin.
Pemanasan global sepertinya benar-benar sudah terjadi. Orlando duduk menunggu
di tangga teras, berharap kodok-kodok itu menyapanya dengan nyanyian mereka
yang cukup merdu untuk mengisi hening. Aku menggigit coklat yang kucuri dari
tas kakakku. Dia pernah mengatakan kalau coklat bisa memperkuat jantung
sehingga jantung akan memompa darah ke otak dengan lebih baik. Dengan lancarnya
peredaran darah ke otak, manusia bisa berpikir dengan lebih baik. Alasan Orlando memang baik, tapi kurasa alasanku
lebih baik, aku menggigit dan menelan coklat ini karena aku lapar. Orlando
berdiri tiba-tiba ketika mendengar suara kodok yang samar terdengar. “Terrornya
masih terjadi, ayo kita lihat apakah kodoknya sejenis dengan yang kemarin atau
tidak,” ucap Orlando sambil menarikku. Cepat-cepat aku memasukkan coklatku ke
saku jaket dan ikut Orlando yang sedang berlari menuju sumber suara.
Kami sampai
di dekat tanaman rendah yang tanpa bunga. Tidak ada apa-apa di sana, padahal
kami yakin kalau suara kodok itu berasal dari sini. Orlando menunduk dengan
kaca pembesarnya, aku membantu pengcahayaannya dengan PCku. Aku tahu PCku
memang sangat berguna. Dia menggeleng.
Tidak ada apa-apa di sana, apa pendengaran kami mulai error? Kenapa bisa error
dengan bersamaan? Suara kodok itu terdengar lagi, Orlando langsung berlari
dengan cepat. Aku berjalan enggan sambil berpikir, bisa saja kami tidak akan
mendapat apa-apa lagi saat sampai di asal suara. Yah, tidak ada salahnya juga
untuk melihat.
Asal suara itu ternyata benar-benar dari kodok berwarna
cerah yang sedang melompat-lompat di atas tangga. Kodok itu berwarna kuning
keemasan, dart frog. Kodok yang sama dengan kodok kemarin, dan di tempat yang
sama dengan tempat yang kemarin. “Ada yang berbeda,” ucap Orlando sambil
menunjuk kodok yang menyilaukan terkena pantulan cahaya lampu. Aku
memperhatikan kodok itu sekali lagi. Lalu terkejut, “warnanya,” ujarku pelan.
Orlando mengangguk menyetujui. “Kodok yang kemarin berwarna biru, malam ini
mereka berwarna kuning,” ucap Orlando. “Bagaimana cara kita memasuki rumah?”
tanyaku mengalihkan perhatian Orlando dari kodok yang warnanya tidak sama
dengan kodok yang kami lihat kemarin. Seakan-akan tersadar bahwa dart frog
menyebalkan itu memblokir jalan Orlando menolehkan kepalanya ke kanan, lalu ke
kiri untuk melihat apakah ada jalan masuk lain selain pintu ini. Nihil. Aku
melempar tatapan tanya ke Orlando.Kemudian dia mengangkat bahu tanda tidak
tahu. Aku meringis, sedetik kemudian aku terkejut melihat Orlando yang melompat
naik ke teras. Melawati kodok-kodok beracun di bawahnya. Aku mendengus, “aku
bagaimana?” tanyaku bingung. “Lompat saja,” ucapnya. Tanpa benar-benar berpikir,
aku melompat naik. Orlando saja bisa, masa aku tidak? Ketika kakiku sudah
menginjak lantai teras, aku terpeleset. Sial, selain sakit aku akan mati karena
racun dari kodok itu.
Tentu saja Orlando tidak akan membiarkanku mati, dia
menarikku dan membiarkanku tersungkur di lantai teras. Aku berteriak kaget
sekaligus kesakitan. “Sama-sama,” ucapnya, lalu berjalan masuk. Hah kali ini
kumaafkan karena dia sudah menolongku dari racun dart frog. “Hoi, Adrienne!”
panggil Orlando dari dalam rumah. “Di luar dingin, masuklah,” ucapnya. Kakak
yang menjengkelkan, seandainya aku yang lahir lima menit lebih cepat itu. Aku
menurut, berjalan masuk sambil terpincang-pincang lalu duduk di karpet berludru
milik Nyonya Anake. Nyonya Anake sedang tidak di rumah. Orlando memintanya
untuk menginap di tempat lain malam ini. “Kita diam di sini saja, lalu mengecek
kenapa suara kodok itu menghilang ketika mendekati tengah malam,” ucap Orlando
sambil duduk di sampingku. Aku meringis, lalu menyandarkan kepalaku di bahu
Orlando sambil berharap semoga tengah malam datang dengan cepat.
Waktu berlalu seperti merangkak, suara kodok di luar
tidak berhenti. Aku melirik jam tangan dan mendapati bahwa tengah malam sudah
lewat. Aku melihat Orlando yang tertidur di sampingku. Hah dia pulas sekali.
Aku lalu berjalan keluar rumah untuk melihat keadaan kodok beracun itu. Rambut
perak panjangku, kubiarkan tergerai untuk mengurangi dingin malam. Daun-daun
mawar bergoyang pelan tertiup angin. Suara kodok semakin keras terdengar ketika
aku berada dekat dengan tangga. Aku menunduk untuk melihat kodok berwarna
kuning keemasan itu. Kodok itu masih di sana, aku tersenyum lalu berbalik. Ketika
aku berbalik, sekilas aku melihat ada yang mengganggu pengelihatanku. Aku
membatalkan niatku untuk masuk ke rumah dan berjongkok di dekat tangga.
Seketika itu
juga aku membeku. Darahku seakan-akan berhenti mengalir. Aku mual dan pusing. Ingin
berteriak, tapi suaraku seperti tertahan. Tercekat di tenggorokan. Aku bisa
mendengar suara langkah Orlando yang berlari menghampiriku. Orlando
mendekatiku, “ada apa?” ucapnya khawatir. Aku bergeming, lalu tidak sadar
menangis. Orlando terlihat semakin khawatir, “hey hey, kenapa?” tanyanya
bingung. Aku menunjuk. Di sana, tepat di hadapanku. Seorang laki-laki terbujur
tidak berdaya di tanah dengan kepala mendongak. Matanya menatapku seakan-akan
membenciku. Kulitnya pucat pasi, seakan-akan membiru. Orlando terlonjak kaget
lalu memelukku. “Ra- cun e-mas,” rintih laki-laki yang terbujur itu lalu
terkulai lagi di tanah. “Dia sudah mati,” ucap Orlando sambil menuntunku masuk
ke rumah. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku menggigil ketakutan. “Yah, Tuan
Robin Tollan sudah mati,” ucap Orlando. Aku tau dia kesulitan berpikir
sekarang.
-----
To be Continue ^^
ratenya gmn? :v ane masih nubi :v
BalasHapustulis aja om, 1-10
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus