Selasa, 29 Januari 2019

Sekeping Rasa



Halo Pak Dokter tercinta,

Apa kabar?

Sudah lima tahun sejak kita pertama kali bertemu. Pak dokter pasti masih sehat dan bugar seperti dulu kan? Saya berharap Pak Dokter selalu dalam keeadaan terbaik, baik secara fisik, pikiran maupun batin. Ada beberapa hal yang sudah lama saya simpan untuk diri saya sendiri. Sebenarnya saya sungkan untuk menyampaikan hal ini, saya enggan dianggap tak sopan oleh dokter yang sudah banyak menghabiskan waktunya untuk saya.

Terkikis waktu, rasa sungkan itu pada akhirnya menguap perlahan. Terkalahkan oleh keinginan kuat untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang sudah lama menggantung di langit-langit kamar. Pikiran yang selalu berbaur dalam renungan.

Tunggu sebentar, tolong jangan berhenti membaca sampai di sini. Hal yang ingin saya sampaikan bukan hal yang buruk. Tulisan-tulisan yang tertera di bawah ini sungguh mewakili apa yang saya rasakan selama lima tahun terakhir. Dilengkapi dengan segenap emosi yang menyatu dalam ketimpangan. Serta kegamangan yang lupa letak pijakan.

Terima kasih karena lima tahun yang lalu Pak Dokter menyatakan vonis penyakit itu. Terima kasih, berkat Pak Dokter saya mendapati proses pengobatan yang sesuai dan tepat waktu. Saya bersyukur saya mengetahui penyakit yang berkunjung pada sendi saya itu, sebelum dia mulai betah untuk tinggal. Meskipun saya harus membayar mahal, sebab harus meninggalkan tanah rantau yang menjadi rumah kedua saya sejak sekolah menengah pertama. Meskipun saya harus memperbesar jarak antar hubungan-hubungan yang sudah saya pintal dengan perlahan. Meskipun saya harus belajar untuk menguraikan pintalan itu agar tidak menjadi duri dalam daging nantinya.

Sebenarnya saya enggan untuk berhubungan lagi dengan Pak Dokter. Bagaimana tidak? Lima tahun yang lalu Pak Dokter bilang saya hanya akan bertahan hidup selama lima tahun saja. Paling lama. Saya tidak mau Pak Dokter malu karena pernyataan yang Pak Dokter sampaikan tidak sepenuhnya benar.

Atas izin Tuhan, saya masih bisa berjalan dengan kaki saya sendiri, meski di bawah terik matahari sekalipun. Tidak lagi memakai payung atau topi kemana-mana. Tidak lagi bergantung pada sayur dan obat-obatan yang tak enak itu. Tidak lagi kesakitan di setiap detiknya.

Pak Dokter, saat ini saya sedang menertawakan diri saya lima tahun yang lalu. Saya menertawakan diri saya yang sedang meringkuk menangis, mengasihani diri. Bertanya-tanya, di antara semua manusia, di antara semua pendosa, mengapa penyakit itu memilih saya sebagai inangnya?


Penyakit itu sungguh menyeramkan, Pak Dokter. Setiap tusukan jarum yang saya terima, saya kian mengasihani diri. Bertanya seberapa lama lagi saya harus bertahan? Saat itu, sinar matahari yang indah hanya tinggal ‘katanya’. Jika saya memaksakan diri untuk berdiam dalam sinarnya, kulit-kulit saya melepuh. Gatal, perih. Saya ketakutan. Kehilangan pandangan pada jalan yang harus saya tempuh untuk menggapai masa depan. Saya lupa cara tertawa lepas, senyuman hanya saya suguhkan sebagai bentuk kesopanan. Tersisa teriakan memohon pertolongan dalam sayup senyap tirai dan dinding rumah sakit. Menyatu dan bertahan dalam bau antiseptik.

Pak Dokter, saat ini saya sedang meratapi diri saya lima tahun yang lalu. Saya meratapi keputusan saya untuk menutupi diri dari semua pergaulan. Untuk tidak menonjol, untuk tidak membuka hati pada siapapun. Untuk melupakan kegemaran saya. Untuk membangun dinding pembatas yang mengelilingi hati saya. Saya tidak ingin orang-orang yang dekat dengan saya sedih saat saya tinggal pergi. Lima tahun bukan waktu yang lama, dia berlalu begitu saja. Tidak akan terasa. Setidaknya, saat saya harus pergi, tidak ada lagi ikatan atau penyesalan yang tertinggal di dunia. Saya ingin berhenti mendengar isakan tangis dari orang-orang yang saya kasihi.

Sial bagi saya. Ada tiga orang yang mengetuk. Maaf, mereka sebenarnya bagaikan mendobrak masuk. Tidak meminta izin terlebih dahulu. Mereka mengaitkan ikatan benang pada dinding pembatas yang susah payah saya dirikan. Saat itu adalah tahun kedua sekolah menengah atas. Saya lebih sering menetap di rumah sakit dibandingkan ke sekolah. Ingat? Sinar matahari adalah musuh terbesar yang saya miliki lima tahun yang lalu dan sekolah adalah sahabat bagi siang. Pak Dokter, seandainya Pak Dokter tau bagaimana paniknya saya ketika ketiga orang ini mulai sering berkunjung? Linglung tanpa tau apa yang harus saya lakukan. Saya takut ketiga orang ini tidak hanya sekedar berkunjung. Sebab, pendirian saya masih sama, saya tidak mau melibatkan orang lain dalam kehidupan saya yang sakit-sakitan. Saya tidak ingin ada hubungan yang memberatkan saya untuk pergi.

Ketiga orang ini kerap menyuapi saya dengan cerita yang dapat membuat setiap pendengarnya mangkal. Cerita yang tidak mendasar, timpang tindih. Terkadang ketiga orang itu akan bercerita secara bersamaan. Melelahkan. Bagaimana caranya agar saya bisa mengusir mereka dari diri saya? Meski saya rasa hal itu menyimpang dari pendirian saya, namun saya tetap membiarkan mereka. Mengingat ketika ketiganya sengaja mengurangi kecepatan berlari mereka karena tau saya tidak akan bisa mengimbangi. Ketika ketiganya menawarkan diri untuk rela terhimpit lautan manusia di kantin saat jam istirahat singkat berlangsung, lalu membagi makanannya dengan saya. Saya kerap menolak, hal itu tak benar. Saya akan semakin lama terseret dalam perhatian mereka.

Sekali lagi, Pak Dokter. Sial bagi saya. Ketiganya bebal. Saya menolak, mereka masih kerap bertindak sebagaimana yang biasa mereka lalukan. Terkadang saya biarkan, saya anggap saja mereka tidak ada. Namun mereka tetap mencari perhatian. Tiga orang bebal yang mengelilingi saya, meruntuhkan pendirian saya. Membobol dinding yang susah payah saya dirikan. Apa yang harus saya lakukan, Pak Dokter?

Ah, tentu saja. Bahkan untuk bicara pun saya kekurangan tenaga. Jadi saya biarkan saja mereka berbuat semaunya. Saya biarkan saja, saya pikir setelah lelah mereka akan pergi dengan sendirinya. Mereka tidak akan betah untuk berlama-lama. Saya kan hanya seorang gadis menyedihkan dengan penyakit menyeramkan. Ketiga orang itu pada nantinya akan sadar dan mulai melindungi diri mereka sendiri. Saya yakin sekali tidak ada orang yang akan menceburkan dirinya sendiri ke dalam kesedihan. Sebebal apapun manusia itu.

Namun, Pak Dokter. Semua itu salah. Kemungkinan-kemungkinan yang ciptakan dalam pikiran saya ternyata salah. Pilihan untuk membiarkan mereka berbuat semaunya itu adalah kesalahan. Sebuah kesalahan besar.

Ketiganya tetap tinggal, mereka tidak kelelahan barang sedikit. Mereka seolah membagi energi yang mereka miliki pada saya yang kerap kelelahan. Mereka tetap menyuapi saya dengan cerita-cerita yang sama. Bahkan saat saya terkulai di kasur rumah sakit, mereka datang. Berusaha untuk membuat saya tegar.

Pak Dokter, apakah Tuhan suka sekali membolak-balikkan hati hambanya?
Saya ingat betapa buruknya pemikiran saya saat itu. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mimpi-mimpi yang saya miliki sudah terkubur jauh dalam relung. Tidak lagi saya lirik, sebab saya tak ingin menjadi tertarik.

Sial seribu sial, ketiga orang itu justru menyusuri jalan menuju relung. Menggali sedalam-dalamnya. Mengingatkan. Membuat mimpi-mimpi baru. Mengangkatnya. Menunjukkan satu jalan untuk satu langkah ke depan. Berangkulan, berjalan beriringan. Hingga saya sepenuhnya sadar. Ada lubang yang harus segera saya timbun.

Mereka adalah remang-remang yang dikirimkan nirwana pada hidup saya yang gamang.
Pak Dokter, lima tahun tidaklah cukup. Mimpi-mimpi saya terlalu banyak. Terlalu panjang. Terlalu runyam. Saya tidak sanggup untuk mewujudkannya hanya dalam lima tahun. Terlebih saya harus sering ke rumah sakit untuk menerima tusukan jarum-jarum pada kulit saya. Mana sempat saya berpikir untuk berjalan di atas jalan menuju mimpi?

Meski begitu, saya tetap berjalan. Pelan-pelan. Pak Dokter harus melihat perjuangan saya. Meski tidak seaktif biasanya, saya mencoba. Ketiga orang tadi, membantu menarik saya pelan-pelan. Menunjukkan batu mana yang aman untuk dijadikan pijakan. Meluruskan ketika saya salah di persimpangan. Duduk menemani pada saat saya kelelahan. Saya berubah sepenuhnya. Kebebalan dari tiga orang itu justru menjadi pegangan bagi saya.

Pak Dokter, sekarang saya sedang di perjalanan menuju mimpi saya yang lain. Kali ini jalur perjalanannya cukup rumit. Terlebih ketiga orang itu juga sedang menapaki jalur mereka sendiri. Jangan khawatir, kami masih berkomunikasi, membagi kasih. Membagi pengalaman agar salah satu dari kami tidak perlu merasakan lubang yang sudah dirasakan oleh salah satu yang lain.

Sekali lagi terima kasih. Jika lima tahun yang lalu saya tidak menerima vonis dari Pak Dokter, saya tidak yakin dapat bertemu dengan ketiga orang asing yang kini mengisi ruang-ruang dalam hati saya. Saya tidak yakin saya dapat menyisir sisa-sisa mimpi saya yang telah berserakan.
Saat ini saya masih berjuang. Tidak seperti dulu, kini saya tidak lagi meratapi. Tidak lagi meringkuk bersedih. Tidak. Tidak lagi.
  
Saya adalah salah satu dari mahasiswa jurusan desain komunikasi visual di sebuah universitas swasta terkenal, saya tau jalan yang saya pilih tidak akan memudahkan perjalanan saya ke depannya. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang menapaki jalan yang mudah. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa, agar selama hidup seorang hamba, hamba berdosa itu tidak lupa akan diri-Nya.

Saat ini juga saya sedang menatap ke depan. Ada persimpangan yang harus saya pilih. Mimpi-mimpi saya masih tetap banyak. Masih tetap panjang. Masih tetap runyam. Lima tahun kedepan pun masih tidak cukup untuk menggapai seluruhnya.

Pak Dokter, sudah lima tahun berlalu dan di sinilah saya. Mencoba untuk hidup lima puluh tahun lagi, berharap agar dalam waktu sesingkat itu saya berhasil memenuhi setidaknya setengah dari mimpi-mimpi saya.  

Ah! Saya berbicara terlalu panjang. Maafkan saya yang sekali lagi menyita waktu Pak Dokter untuk diri saya sendiri. Saya sudah menyampaikan apa yang sudah lama ingin saya sampaikan.
Semoga Pak Dokter hidup bahagia dalam lindunganNya.
Terima kasih.




Tertanda,


Elena Zahira,
Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar