Halo Pak Dokter
tercinta,
Apa kabar?
Sudah lima tahun
sejak kita pertama kali bertemu. Pak dokter pasti masih sehat dan bugar seperti
dulu kan? Saya berharap Pak Dokter selalu dalam keeadaan terbaik, baik secara
fisik, pikiran maupun batin. Ada beberapa hal yang sudah lama saya simpan untuk
diri saya sendiri. Sebenarnya saya sungkan untuk menyampaikan hal ini, saya
enggan dianggap tak sopan oleh dokter yang sudah banyak menghabiskan waktunya
untuk saya.
Terkikis waktu,
rasa sungkan itu pada akhirnya menguap perlahan. Terkalahkan oleh keinginan
kuat untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang sudah lama menggantung di
langit-langit kamar. Pikiran yang selalu berbaur dalam renungan.
Tunggu sebentar,
tolong jangan berhenti membaca sampai di sini. Hal yang ingin saya sampaikan
bukan hal yang buruk. Tulisan-tulisan yang tertera di bawah ini sungguh
mewakili apa yang saya rasakan selama lima tahun terakhir. Dilengkapi dengan
segenap emosi yang menyatu dalam ketimpangan. Serta kegamangan yang lupa letak
pijakan.
Terima kasih
karena lima tahun yang lalu Pak Dokter menyatakan vonis penyakit itu. Terima
kasih, berkat Pak Dokter saya mendapati proses pengobatan yang sesuai dan tepat
waktu. Saya bersyukur saya mengetahui penyakit yang berkunjung pada sendi saya
itu, sebelum dia mulai betah untuk tinggal. Meskipun saya harus membayar mahal,
sebab harus meninggalkan tanah rantau yang menjadi rumah kedua saya sejak sekolah
menengah pertama. Meskipun saya harus memperbesar jarak antar hubungan-hubungan
yang sudah saya pintal dengan perlahan. Meskipun saya harus belajar untuk
menguraikan pintalan itu agar tidak menjadi duri dalam daging nantinya.
Sebenarnya saya
enggan untuk berhubungan lagi dengan Pak Dokter. Bagaimana tidak? Lima tahun
yang lalu Pak Dokter bilang saya hanya akan bertahan hidup selama lima tahun
saja. Paling lama. Saya tidak mau Pak Dokter malu karena pernyataan yang Pak
Dokter sampaikan tidak sepenuhnya benar.
Atas izin Tuhan,
saya masih bisa berjalan dengan kaki saya sendiri, meski di bawah terik
matahari sekalipun. Tidak lagi memakai payung atau topi kemana-mana. Tidak lagi
bergantung pada sayur dan obat-obatan yang tak enak itu. Tidak lagi kesakitan di
setiap detiknya.
Pak Dokter, saat
ini saya sedang menertawakan diri saya lima tahun yang lalu. Saya menertawakan
diri saya yang sedang meringkuk menangis, mengasihani diri. Bertanya-tanya, di
antara semua manusia, di antara semua pendosa, mengapa penyakit itu memilih
saya sebagai inangnya?
Penyakit itu
sungguh menyeramkan, Pak Dokter. Setiap tusukan jarum yang saya terima, saya
kian mengasihani diri. Bertanya seberapa lama lagi saya harus bertahan? Saat
itu, sinar matahari yang indah hanya tinggal ‘katanya’. Jika saya memaksakan
diri untuk berdiam dalam sinarnya, kulit-kulit saya melepuh. Gatal, perih. Saya
ketakutan. Kehilangan pandangan pada jalan yang harus saya tempuh untuk
menggapai masa depan. Saya lupa cara tertawa lepas, senyuman hanya saya suguhkan
sebagai bentuk kesopanan. Tersisa teriakan memohon pertolongan dalam sayup
senyap tirai dan dinding rumah sakit. Menyatu dan bertahan dalam bau
antiseptik.
Pak Dokter, saat
ini saya sedang meratapi diri saya lima tahun yang lalu. Saya meratapi keputusan
saya untuk menutupi diri dari semua pergaulan. Untuk tidak menonjol, untuk
tidak membuka hati pada siapapun. Untuk melupakan kegemaran saya. Untuk
membangun dinding pembatas yang mengelilingi hati saya. Saya tidak ingin
orang-orang yang dekat dengan saya sedih saat saya tinggal pergi. Lima tahun
bukan waktu yang lama, dia berlalu begitu saja. Tidak akan terasa. Setidaknya,
saat saya harus pergi, tidak ada lagi ikatan atau penyesalan yang tertinggal di
dunia. Saya ingin berhenti mendengar isakan tangis dari orang-orang yang saya
kasihi.
Sial bagi saya.
Ada tiga orang yang mengetuk. Maaf, mereka sebenarnya bagaikan mendobrak masuk.
Tidak meminta izin terlebih dahulu. Mereka mengaitkan ikatan benang pada
dinding pembatas yang susah payah saya dirikan. Saat itu adalah tahun kedua
sekolah menengah atas. Saya lebih sering menetap di rumah sakit dibandingkan ke
sekolah. Ingat? Sinar matahari adalah musuh terbesar yang saya miliki lima
tahun yang lalu dan sekolah adalah sahabat bagi siang. Pak Dokter, seandainya Pak
Dokter tau bagaimana paniknya saya ketika ketiga orang ini mulai sering
berkunjung? Linglung tanpa tau apa yang harus saya lakukan. Saya takut ketiga
orang ini tidak hanya sekedar berkunjung. Sebab, pendirian saya masih sama,
saya tidak mau melibatkan orang lain dalam kehidupan saya yang sakit-sakitan.
Saya tidak ingin ada hubungan yang memberatkan saya untuk pergi.
Ketiga orang
ini kerap menyuapi saya dengan cerita yang dapat membuat setiap pendengarnya
mangkal. Cerita yang tidak mendasar, timpang tindih. Terkadang ketiga orang itu
akan bercerita secara bersamaan. Melelahkan. Bagaimana caranya agar saya bisa
mengusir mereka dari diri saya? Meski saya rasa hal itu menyimpang dari
pendirian saya, namun saya tetap membiarkan mereka. Mengingat ketika ketiganya
sengaja mengurangi kecepatan berlari mereka karena tau saya tidak akan bisa
mengimbangi. Ketika ketiganya menawarkan diri untuk rela terhimpit lautan
manusia di kantin saat jam istirahat singkat berlangsung, lalu membagi
makanannya dengan saya. Saya kerap menolak, hal itu tak benar. Saya akan
semakin lama terseret dalam perhatian mereka.
Sekali lagi,
Pak Dokter. Sial bagi saya. Ketiganya bebal. Saya menolak, mereka masih kerap
bertindak sebagaimana yang biasa mereka lalukan. Terkadang saya biarkan, saya
anggap saja mereka tidak ada. Namun mereka tetap mencari perhatian. Tiga orang
bebal yang mengelilingi saya, meruntuhkan pendirian saya. Membobol dinding yang
susah payah saya dirikan. Apa yang harus saya lakukan, Pak Dokter?
Ah, tentu
saja. Bahkan untuk bicara pun saya kekurangan tenaga. Jadi saya biarkan saja
mereka berbuat semaunya. Saya biarkan saja, saya pikir setelah lelah mereka
akan pergi dengan sendirinya. Mereka tidak akan betah untuk berlama-lama. Saya
kan hanya seorang gadis menyedihkan dengan penyakit menyeramkan. Ketiga orang
itu pada nantinya akan sadar dan mulai melindungi diri mereka sendiri. Saya
yakin sekali tidak ada orang yang akan menceburkan dirinya sendiri ke dalam
kesedihan. Sebebal apapun manusia itu.
Namun, Pak
Dokter. Semua itu salah. Kemungkinan-kemungkinan yang ciptakan dalam pikiran
saya ternyata salah. Pilihan untuk membiarkan mereka berbuat semaunya itu
adalah kesalahan. Sebuah kesalahan besar.
Ketiganya
tetap tinggal, mereka tidak kelelahan barang sedikit. Mereka seolah membagi
energi yang mereka miliki pada saya yang kerap kelelahan. Mereka tetap menyuapi
saya dengan cerita-cerita yang sama. Bahkan saat saya terkulai di kasur rumah
sakit, mereka datang. Berusaha untuk membuat saya tegar.
Pak Dokter, apakah Tuhan suka sekali
membolak-balikkan hati hambanya?
Saya ingat
betapa buruknya pemikiran saya saat itu. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa
mimpi-mimpi yang saya miliki sudah terkubur jauh dalam relung. Tidak lagi saya
lirik, sebab saya tak ingin menjadi tertarik.
Sial seribu
sial, ketiga orang itu justru menyusuri jalan menuju relung. Menggali
sedalam-dalamnya. Mengingatkan. Membuat mimpi-mimpi baru. Mengangkatnya.
Menunjukkan satu jalan untuk satu langkah ke depan. Berangkulan, berjalan
beriringan. Hingga saya sepenuhnya sadar. Ada lubang yang harus segera saya
timbun.
Mereka adalah
remang-remang yang dikirimkan nirwana pada hidup saya yang gamang.
Pak Dokter, lima
tahun tidaklah cukup. Mimpi-mimpi saya terlalu banyak. Terlalu panjang. Terlalu
runyam. Saya tidak sanggup untuk mewujudkannya hanya dalam lima tahun. Terlebih
saya harus sering ke rumah sakit untuk menerima tusukan jarum-jarum pada kulit
saya. Mana sempat saya berpikir untuk berjalan di atas jalan menuju mimpi?
Meski begitu,
saya tetap berjalan. Pelan-pelan. Pak Dokter harus melihat perjuangan saya.
Meski tidak seaktif biasanya, saya mencoba. Ketiga orang tadi, membantu menarik
saya pelan-pelan. Menunjukkan batu mana yang aman untuk dijadikan pijakan.
Meluruskan ketika saya salah di persimpangan. Duduk menemani pada saat saya
kelelahan. Saya berubah sepenuhnya. Kebebalan dari tiga orang itu justru
menjadi pegangan bagi saya.
Pak Dokter,
sekarang saya sedang di perjalanan menuju mimpi saya yang lain. Kali ini jalur
perjalanannya cukup rumit. Terlebih ketiga orang itu juga sedang menapaki jalur
mereka sendiri. Jangan khawatir, kami masih berkomunikasi, membagi kasih.
Membagi pengalaman agar salah satu dari kami tidak perlu merasakan lubang yang
sudah dirasakan oleh salah satu yang lain.
Sekali lagi
terima kasih. Jika lima tahun yang lalu saya tidak menerima vonis dari Pak
Dokter, saya tidak yakin dapat bertemu dengan ketiga orang asing yang kini
mengisi ruang-ruang dalam hati saya. Saya tidak yakin saya dapat menyisir
sisa-sisa mimpi saya yang telah berserakan.
Saat ini saya
masih berjuang. Tidak seperti dulu, kini saya tidak lagi meratapi. Tidak lagi
meringkuk bersedih. Tidak. Tidak lagi.
Saya adalah
salah satu dari mahasiswa jurusan desain komunikasi visual di sebuah
universitas swasta terkenal, saya tau jalan yang saya pilih tidak akan
memudahkan perjalanan saya ke depannya. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang
menapaki jalan yang mudah. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa, agar selama
hidup seorang hamba, hamba berdosa itu tidak lupa akan diri-Nya.
Saat ini juga
saya sedang menatap ke depan. Ada persimpangan yang harus saya pilih.
Mimpi-mimpi saya masih tetap banyak. Masih tetap panjang. Masih tetap runyam.
Lima tahun kedepan pun masih tidak cukup untuk menggapai seluruhnya.
Pak Dokter,
sudah lima tahun berlalu dan di sinilah saya. Mencoba untuk hidup lima puluh
tahun lagi, berharap agar dalam waktu sesingkat itu saya berhasil memenuhi setidaknya
setengah dari mimpi-mimpi saya.
Ah! Saya
berbicara terlalu panjang. Maafkan saya yang sekali lagi menyita waktu Pak
Dokter untuk diri saya sendiri. Saya sudah menyampaikan apa yang sudah lama
ingin saya sampaikan.
Semoga Pak
Dokter hidup bahagia dalam lindunganNya.
Terima kasih.
Tertanda,
Elena Zahira,
Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar