Selasa, 29 Januari 2019

Sekeping Rasa



Halo Pak Dokter tercinta,

Apa kabar?

Sudah lima tahun sejak kita pertama kali bertemu. Pak dokter pasti masih sehat dan bugar seperti dulu kan? Saya berharap Pak Dokter selalu dalam keeadaan terbaik, baik secara fisik, pikiran maupun batin. Ada beberapa hal yang sudah lama saya simpan untuk diri saya sendiri. Sebenarnya saya sungkan untuk menyampaikan hal ini, saya enggan dianggap tak sopan oleh dokter yang sudah banyak menghabiskan waktunya untuk saya.

Terkikis waktu, rasa sungkan itu pada akhirnya menguap perlahan. Terkalahkan oleh keinginan kuat untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang sudah lama menggantung di langit-langit kamar. Pikiran yang selalu berbaur dalam renungan.

Tunggu sebentar, tolong jangan berhenti membaca sampai di sini. Hal yang ingin saya sampaikan bukan hal yang buruk. Tulisan-tulisan yang tertera di bawah ini sungguh mewakili apa yang saya rasakan selama lima tahun terakhir. Dilengkapi dengan segenap emosi yang menyatu dalam ketimpangan. Serta kegamangan yang lupa letak pijakan.

Terima kasih karena lima tahun yang lalu Pak Dokter menyatakan vonis penyakit itu. Terima kasih, berkat Pak Dokter saya mendapati proses pengobatan yang sesuai dan tepat waktu. Saya bersyukur saya mengetahui penyakit yang berkunjung pada sendi saya itu, sebelum dia mulai betah untuk tinggal. Meskipun saya harus membayar mahal, sebab harus meninggalkan tanah rantau yang menjadi rumah kedua saya sejak sekolah menengah pertama. Meskipun saya harus memperbesar jarak antar hubungan-hubungan yang sudah saya pintal dengan perlahan. Meskipun saya harus belajar untuk menguraikan pintalan itu agar tidak menjadi duri dalam daging nantinya.

Sebenarnya saya enggan untuk berhubungan lagi dengan Pak Dokter. Bagaimana tidak? Lima tahun yang lalu Pak Dokter bilang saya hanya akan bertahan hidup selama lima tahun saja. Paling lama. Saya tidak mau Pak Dokter malu karena pernyataan yang Pak Dokter sampaikan tidak sepenuhnya benar.

Atas izin Tuhan, saya masih bisa berjalan dengan kaki saya sendiri, meski di bawah terik matahari sekalipun. Tidak lagi memakai payung atau topi kemana-mana. Tidak lagi bergantung pada sayur dan obat-obatan yang tak enak itu. Tidak lagi kesakitan di setiap detiknya.

Pak Dokter, saat ini saya sedang menertawakan diri saya lima tahun yang lalu. Saya menertawakan diri saya yang sedang meringkuk menangis, mengasihani diri. Bertanya-tanya, di antara semua manusia, di antara semua pendosa, mengapa penyakit itu memilih saya sebagai inangnya?


Penyakit itu sungguh menyeramkan, Pak Dokter. Setiap tusukan jarum yang saya terima, saya kian mengasihani diri. Bertanya seberapa lama lagi saya harus bertahan? Saat itu, sinar matahari yang indah hanya tinggal ‘katanya’. Jika saya memaksakan diri untuk berdiam dalam sinarnya, kulit-kulit saya melepuh. Gatal, perih. Saya ketakutan. Kehilangan pandangan pada jalan yang harus saya tempuh untuk menggapai masa depan. Saya lupa cara tertawa lepas, senyuman hanya saya suguhkan sebagai bentuk kesopanan. Tersisa teriakan memohon pertolongan dalam sayup senyap tirai dan dinding rumah sakit. Menyatu dan bertahan dalam bau antiseptik.

Pak Dokter, saat ini saya sedang meratapi diri saya lima tahun yang lalu. Saya meratapi keputusan saya untuk menutupi diri dari semua pergaulan. Untuk tidak menonjol, untuk tidak membuka hati pada siapapun. Untuk melupakan kegemaran saya. Untuk membangun dinding pembatas yang mengelilingi hati saya. Saya tidak ingin orang-orang yang dekat dengan saya sedih saat saya tinggal pergi. Lima tahun bukan waktu yang lama, dia berlalu begitu saja. Tidak akan terasa. Setidaknya, saat saya harus pergi, tidak ada lagi ikatan atau penyesalan yang tertinggal di dunia. Saya ingin berhenti mendengar isakan tangis dari orang-orang yang saya kasihi.

Sial bagi saya. Ada tiga orang yang mengetuk. Maaf, mereka sebenarnya bagaikan mendobrak masuk. Tidak meminta izin terlebih dahulu. Mereka mengaitkan ikatan benang pada dinding pembatas yang susah payah saya dirikan. Saat itu adalah tahun kedua sekolah menengah atas. Saya lebih sering menetap di rumah sakit dibandingkan ke sekolah. Ingat? Sinar matahari adalah musuh terbesar yang saya miliki lima tahun yang lalu dan sekolah adalah sahabat bagi siang. Pak Dokter, seandainya Pak Dokter tau bagaimana paniknya saya ketika ketiga orang ini mulai sering berkunjung? Linglung tanpa tau apa yang harus saya lakukan. Saya takut ketiga orang ini tidak hanya sekedar berkunjung. Sebab, pendirian saya masih sama, saya tidak mau melibatkan orang lain dalam kehidupan saya yang sakit-sakitan. Saya tidak ingin ada hubungan yang memberatkan saya untuk pergi.

Ketiga orang ini kerap menyuapi saya dengan cerita yang dapat membuat setiap pendengarnya mangkal. Cerita yang tidak mendasar, timpang tindih. Terkadang ketiga orang itu akan bercerita secara bersamaan. Melelahkan. Bagaimana caranya agar saya bisa mengusir mereka dari diri saya? Meski saya rasa hal itu menyimpang dari pendirian saya, namun saya tetap membiarkan mereka. Mengingat ketika ketiganya sengaja mengurangi kecepatan berlari mereka karena tau saya tidak akan bisa mengimbangi. Ketika ketiganya menawarkan diri untuk rela terhimpit lautan manusia di kantin saat jam istirahat singkat berlangsung, lalu membagi makanannya dengan saya. Saya kerap menolak, hal itu tak benar. Saya akan semakin lama terseret dalam perhatian mereka.

Sekali lagi, Pak Dokter. Sial bagi saya. Ketiganya bebal. Saya menolak, mereka masih kerap bertindak sebagaimana yang biasa mereka lalukan. Terkadang saya biarkan, saya anggap saja mereka tidak ada. Namun mereka tetap mencari perhatian. Tiga orang bebal yang mengelilingi saya, meruntuhkan pendirian saya. Membobol dinding yang susah payah saya dirikan. Apa yang harus saya lakukan, Pak Dokter?

Ah, tentu saja. Bahkan untuk bicara pun saya kekurangan tenaga. Jadi saya biarkan saja mereka berbuat semaunya. Saya biarkan saja, saya pikir setelah lelah mereka akan pergi dengan sendirinya. Mereka tidak akan betah untuk berlama-lama. Saya kan hanya seorang gadis menyedihkan dengan penyakit menyeramkan. Ketiga orang itu pada nantinya akan sadar dan mulai melindungi diri mereka sendiri. Saya yakin sekali tidak ada orang yang akan menceburkan dirinya sendiri ke dalam kesedihan. Sebebal apapun manusia itu.

Namun, Pak Dokter. Semua itu salah. Kemungkinan-kemungkinan yang ciptakan dalam pikiran saya ternyata salah. Pilihan untuk membiarkan mereka berbuat semaunya itu adalah kesalahan. Sebuah kesalahan besar.

Ketiganya tetap tinggal, mereka tidak kelelahan barang sedikit. Mereka seolah membagi energi yang mereka miliki pada saya yang kerap kelelahan. Mereka tetap menyuapi saya dengan cerita-cerita yang sama. Bahkan saat saya terkulai di kasur rumah sakit, mereka datang. Berusaha untuk membuat saya tegar.

Pak Dokter, apakah Tuhan suka sekali membolak-balikkan hati hambanya?
Saya ingat betapa buruknya pemikiran saya saat itu. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mimpi-mimpi yang saya miliki sudah terkubur jauh dalam relung. Tidak lagi saya lirik, sebab saya tak ingin menjadi tertarik.

Sial seribu sial, ketiga orang itu justru menyusuri jalan menuju relung. Menggali sedalam-dalamnya. Mengingatkan. Membuat mimpi-mimpi baru. Mengangkatnya. Menunjukkan satu jalan untuk satu langkah ke depan. Berangkulan, berjalan beriringan. Hingga saya sepenuhnya sadar. Ada lubang yang harus segera saya timbun.

Mereka adalah remang-remang yang dikirimkan nirwana pada hidup saya yang gamang.
Pak Dokter, lima tahun tidaklah cukup. Mimpi-mimpi saya terlalu banyak. Terlalu panjang. Terlalu runyam. Saya tidak sanggup untuk mewujudkannya hanya dalam lima tahun. Terlebih saya harus sering ke rumah sakit untuk menerima tusukan jarum-jarum pada kulit saya. Mana sempat saya berpikir untuk berjalan di atas jalan menuju mimpi?

Meski begitu, saya tetap berjalan. Pelan-pelan. Pak Dokter harus melihat perjuangan saya. Meski tidak seaktif biasanya, saya mencoba. Ketiga orang tadi, membantu menarik saya pelan-pelan. Menunjukkan batu mana yang aman untuk dijadikan pijakan. Meluruskan ketika saya salah di persimpangan. Duduk menemani pada saat saya kelelahan. Saya berubah sepenuhnya. Kebebalan dari tiga orang itu justru menjadi pegangan bagi saya.

Pak Dokter, sekarang saya sedang di perjalanan menuju mimpi saya yang lain. Kali ini jalur perjalanannya cukup rumit. Terlebih ketiga orang itu juga sedang menapaki jalur mereka sendiri. Jangan khawatir, kami masih berkomunikasi, membagi kasih. Membagi pengalaman agar salah satu dari kami tidak perlu merasakan lubang yang sudah dirasakan oleh salah satu yang lain.

Sekali lagi terima kasih. Jika lima tahun yang lalu saya tidak menerima vonis dari Pak Dokter, saya tidak yakin dapat bertemu dengan ketiga orang asing yang kini mengisi ruang-ruang dalam hati saya. Saya tidak yakin saya dapat menyisir sisa-sisa mimpi saya yang telah berserakan.
Saat ini saya masih berjuang. Tidak seperti dulu, kini saya tidak lagi meratapi. Tidak lagi meringkuk bersedih. Tidak. Tidak lagi.
  
Saya adalah salah satu dari mahasiswa jurusan desain komunikasi visual di sebuah universitas swasta terkenal, saya tau jalan yang saya pilih tidak akan memudahkan perjalanan saya ke depannya. Bagaimanapun, tidak ada manusia yang menapaki jalan yang mudah. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa, agar selama hidup seorang hamba, hamba berdosa itu tidak lupa akan diri-Nya.

Saat ini juga saya sedang menatap ke depan. Ada persimpangan yang harus saya pilih. Mimpi-mimpi saya masih tetap banyak. Masih tetap panjang. Masih tetap runyam. Lima tahun kedepan pun masih tidak cukup untuk menggapai seluruhnya.

Pak Dokter, sudah lima tahun berlalu dan di sinilah saya. Mencoba untuk hidup lima puluh tahun lagi, berharap agar dalam waktu sesingkat itu saya berhasil memenuhi setidaknya setengah dari mimpi-mimpi saya.  

Ah! Saya berbicara terlalu panjang. Maafkan saya yang sekali lagi menyita waktu Pak Dokter untuk diri saya sendiri. Saya sudah menyampaikan apa yang sudah lama ingin saya sampaikan.
Semoga Pak Dokter hidup bahagia dalam lindunganNya.
Terima kasih.




Tertanda,


Elena Zahira,
Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2016.

Kamis, 29 November 2018

Nawang Wulan


(Cerita ini diadopsi dari cerita Jaka Tarub versi webtoon 7 Wonders karya Metalu)

Rasa kasihnya berasal dari pengasingannya
Keanggunannya berasal dari luka lamanya
Kekuatannya berasal dari ketidakberdayaannya

Ia mengambil,
Tapi tak sepenuhnya memiliki
Ia rapuh,
Tapi tak sepenuhnya hancur
Ia mengasihi,
Tapi hanya untuk jiwa yang bersih



Kisah yang akan kuceritakan kali ini adalah sebuah kisah yang sudah banyak didengar. Bahkan oleh seluruh khalayak masyarakat. Jaka Tarub, adalah nama yang diberikan untukku. Aku lahir dari rahim seorang janda tua yang ingin segera memiliki cucu. Sangat disayangkan tempat lahirku terletak begitu jauh di dalam hutan. Begitu jauh dari pemukiman. Hal itu tentu menyulitkanku untuk memenuhi keinginan ibuku.

Sampai saat itu tiba.

Sampai pada saat aku mencuri selendang seorang bidadari. Nawang Wulan namanya.

Kalian pasti sudah pernah mendengar cerita itu bukan? Cerita dengan akhir menyedihkan mengenai Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Cerita yang sebenarnya tidak pantas untuk diceritakan.

Sebagai Jaka Tarub, sebenarnya aku tak ingin ceritaku berakhir menyedihkan. Tidak dengan segala jenis pengorbanan yang telah dilakukan Nawang Wulan untukku. Dan anakku. Maaf, maksudku anak kami.

Nawang Wulan digambarkan sebagai sosok bidadari jahat, yang dengan teganya meninggalkan aku suaminya, dan anak semata wayangnya. Sungguh, percayalah padaku. Nawang Wulan bukanlah gadis yang seperti itu. Meski tak sekuat keenam saudarinya, Nawang Wulanlah yang memiliki tekad yang paling kuat. Ia akan mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki agar orang yang ia kasihi terlindungi.

Bahkan jiwanya.

Kisah ini masih bercerita tentang bidadari cinta, Nawang Wulan. Setelah mengetahui kebohonganku yang tentu saja tak bisa kubantah, Nawang Wulan benar-benar kembali ke Khayangan. Aku tau, ia rindu. Pada saudarinya. Pada orang tuanya.

Aku pun tau, bumi dan segala isinya ini takkan bisa menyamai kedudukan Khayangan di hati Nawang Wulan. Apalagi aku, bagian kecil dari bumi dan isinya ini.

Namun, Nawang Wulan tetap kembali. Ia datang bersamaan dengan datangnya cahaya bulan paling terang. Merangkulku, merangkul buah hatinya. Tersenyum padaku. Pada anaknya.

O, Cinta.

Nawang Wulanlah arti cinta itu yang sesungguhnya.

Sayangnya, Nirwana berkata lain.

Khayangan bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah sepertiku sebagai suami seorang bidadari cinta. Sebagai suami seorang Nawang Wulan.

Malam itu, malam pada saat seharusnya bulan bersinar paling terang, Nawang Wulan datang seperti biasanya. Hanya saja, malam itu bulan bersembunyi di balik awan. Hanya saja, Nawang Wulan tidak tersenyum seperti yang biasa ia lakukan.

Hanya saja, ada ketakutan di wajahnya.

Sudah kukatakan, Khayangan bukanlah tempat yang akan menerima manusia rendah sepertiku sebagai suami seorang bidadari.

Tidak, Nawang Wulan tidak diusir dari tempatnya. Atau setidaknya, untuk saat ini, belum. Siapa yang tega mengusir seorang bidadari ungu yang indah itu? Lagipula titik mula segala kesalahannya itu berpusat padaku.

“Larilah!”

Itu kata pertama yang diucapnya setelah melihatku.

Aku diam saja.

Nawang Asih, anak kami, bersembunyi di belakang kakiku. Ia ketakutan. Ibunya tidak pernah datang menghampirinya tanpa senyuman.

“Larilah!” Nawang Wulan berteriak.

Aku tak mengerti. Ia tak menjelaskan apapun padaku. “Ada apa?” tanyaku. Berusaha memahami situasi.

“Kumohon, lari dan sembunyilah!” tutur Nawang Wulan. Ia jengah, aku belum juga beranjak dari tempatku berdiri.

Demi cinta Sang Maha Cinta

Aku bertaruh nyawa.

Belum sampai pikirku menggapai kesimpulan, awan-awan yang menutupi bulan itu datang mendekat.  Mengizinkan bulan purnama memamerkan cahayanya sedikit demi sedikit. Mengizinkan semburat keindahan menghujani awal malam yang panjang.

“Aku menyuruhmu lari dan bersembunyi,” Nawang Wulan menangis. “Tapi kau bergeming, menanti mati,” lanjutnya.

Demi cinta,

Aku tak ingin melihat air matanya. Tidak lagi.
Ia sudah terlalu banyak menangis saat tau bahwa akulah pencuri selendangnya.

Sial. Awan-awan itu tak jauh lagi. 

“Nirwana sedang murka, Jaka,” Nawang Wulan bersedekap. Ia menahan sisa tangisnya.

Aku menarik Nawang Asih memasuki rumah, mengambil bujur dan panahku. Memerintahkan Nawang Asih untuk tetap menunggu di dalam. Untuk tidak melihat ayahnya menerima penghakiman.
Saat aku  melangkahkan kakiku keluar rumah, Nawang Wulan memunggungiku. Dihadapannya, pasukan Khayangan dengan anggunnya menungguku menyiapkan busur dan panahku.

Apalah arti busur dan panah,
Jika setengah dari mereka memiliki tri netra?

Nawang Wulan pernah bercerita, para tetinggi Khayangan memiliki tri netra. Mata ketiga. Mata yang bisa melihat kebenaran. Sekecil apapun itu. Lalu merubahnya menjadi kekuatan. Sebesar kekuatan yang bahkan tak akan pernah bisa aku bayangkan.

Tapi aku adalah Jaka Tarub.

Aku adalah Jaka Tarub, yang bahkan dengan pongahnya melawan tulisan takdir. Busur dan panahku telah siap. Hanya tinggal kulepaskan. Maka hancurlah.

Hancurlah aku,

Hancurlah gubuk kecilku,

Hancurlah cinta di hatiku.

Hanya saja, aku berharap Nawang Wulan tidak hancur hatinya. Tidak hancur jiwanya.
Busur dan panahku hanya lambang perlawanan. Lambang pemberontakan.
Takkan pernah bisa sampai untuk dilontarkan pada pasukan Khayangan.

Demi cinta,

Aku siap menerima penghakimanku. Aku siap kematian menjemputku. Aku siap.

Namun ketika panahku lepas dari tarikannya, ketika keberanianku menguap lantas sirna, ketika aku berada di ujung ajalku. Nawang Wulan, cintaku, berbisik.

“Aku memberimu jiwaku. Maka bantulah aku dengan kekuatanmu,”

Maka hilanglah cahaya putih pada sayapnya.

Maka hilanglah bulu-bulu indah pada pundaknya. Maka semakin perkatlah malam purnama. Sayap Nawang Wulan berganti hitam kelam. Terlihat perkasa dan cukup tangguh untuk memelukku. Memeluk gubuk kecilku. Namun begitu rapuh dalam durjana, begitu menyedihkan. Menyeramkan.

“Aku bukan lagi bagian dari Khayangan,” tuturnya. Nawang Wulan melantangkan suaranya. “Aku adalah bidadari cinta dengan kekuatan dunia gelap. Sayap putihku berubah hitam, belas kasihku berubah dendam. Aku tak ingin perlawanan, sebab aku berada di pihak lawan.”

Maka hancurlah aku.

Nawang Wulan menjual jiwanya pada gelap. Pada hitam.

Maka hancurlah hatinya.

Ia mengusir dirinya dari lingkarannya. Ia membiarkan dirinya diasingkan dari sarangnya.
Di penghujung malam purnama itu, Nirwana menangis. Pasukan Khayangan yang belum sempat berbuat apapun untuk menghakimiku berbaris kembali dalam dingin malam. Pulang. Menyimpan sesal.

Lalu, betapa sakitnya hatiku.  

Nawang Wulan menangis lagi. Nawang Asih yang sedaritadi mengintip, kini berlari memeluk ibunya. Lalu menangis bersama.

Malam-malam purnama berikutnya Nawang Wulan tak pernah datang. Tak pernah menunjukkan senyumannya lagi padaku. Atau pada nawang Asih. Bidadari cinta itu tidak lagi terikat pada dunia manusia, atau bahkan pada Khayangan. Tidak juga terikat dengan dunia dimana aku bisa kembali menemukannya. Ia lenyap begitu saja.

Nawang Asih tumbuh dengan baik. Hanya boleh hidup sebagai manusia di dunia manusia. Setidaknya itulah yang aku pikirkan.

Sampai pada suatu malam, ketika ia menarikku ke tepi pantai, di bagian selatan hutan kami. Bercerita bahwa ia bisa memanggil ibunya hanya dengan menyentuh ombak pantai. Tentu saja ia berbohong, pikirku.

Nawang Asih menunduk dan menyentuh ombak. Ingin membuktikan perkataannya padaku.

Lalu di sanalah ia berdiri.

Dengan cahaya bulan yang terpantul pada sayap hitamnya.

“Nawang Wulan,” bisikku. Lebih pada diriku sendiri.

Demi cinta Sang Maha cinta,

Gadis itu tersenyum.

Kasihku tersenyum.

“Lama tidak bertemu, Jaka,” tuturnya.

Aku bergeming.



“Nawang Wulanmu sudah mati, Jaka. Malam itu juga, malam ketika Nirwana murka. Ia sudah mati, Jaka,” lanjutnya. Memberi jeda sebentar, lalu melanjutkan. “Aku yang berdiri di hadapanmu ini adalah aku yang baru. Bukan milikmu, bukan milik anakku. Aku milik semua orang. Aku milik mereka yang berhati bersih. Aku memberi  mereka kasih, dan mereka memberiku mimpi. Mereka memanggilku si Penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul,” ucapnya.

Lalu di sinilah aku berdiri. Memandangi sepotong hatiku yang berusaha menguatkan diri. Membulatkan tekad, untuk menanamkan nama itu jauh di lubuk hatiku. Jauh di dalam relung. Hingga nanti pada akhir hidupku, aku bisa menyebutnya nama itu dalam helaan nafas terakhirku.

Rabu, 30 Agustus 2017

aku membencinya

aku membencinya.
seseorang yang berpura-pura pintar dalam segala aspek. banyak berbicara mengenai dirinya yang begini dan begitu. pembohong.

aku membencinya.
seseorang yang terus membicarakan orang lain dalam setiap topik obrolannya. bahkan tidak ada satu kalimat yang baik yang terdengar. pengkhianat.

aku membencinya.
seseorang yang mencari perhatian dengan berpura-pura baik pada satu orang di depan orang yang satunya. caper.

aku membencinya.
karena semua sifat itu ada pada diriku.

Sabtu, 26 Agustus 2017

surat untuk cinta pertamaku

Untukmu cinta pertama yang tak pernah bisa kugapai,

Apa kabarmu?

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali kau memberiku senyum manis itu. Senyum yang terus terngiang di benakku, senyum yang terus terpatri dalam pikirku. Senyum yang kuingat bahkan saat aku menuliskan surat ini. Kau ingat bagaimana cara Tuhan mempertemukan kita? Aku masih mengingatnya dengan baik. Saat itu, kau dan aku kikuk ketika dipasangkan untuk menari di acara pelepasan siswa kelas enam sekolah.  Masih terlalu kecil untuk kita memahami segala hal mengenai hubungan antara lelaki dan wanita. Jadi, kau dan aku hanya sebatas teman bermain. Tentu saja aku tidak mengharap lebih.

Untukmu cinta pertama yang tak pernah bisa kugapai,

Apa kau ingat? Kau pernah memujiku bahwa aku pandai menari? Aku tidak tau seberapa senangnya diriku saat mendengar pujian itu. Dulu aku menganggap itu sebagai rasa senang yang biasanya. Ingat? Kita masih terlalu kecil saat itu. Kau tau? Aku berlatih dengan giat di rumah. Hanya untuk mendapat pujian singkat darimu. Aku selalu tersenyum ketika mengingatnya. Aku benar-benar tidak paham mengapa aku melakukannya, tapi tetap saja kulakukan. Jika kau membaca ini, aku yakin kau turut tersenyum.

Masa kecil dengan cinta pertama yang indah. Semakin bertambah usiaku, semakin aku menyadari apa arti debar jantungku ketika kau didekatku. Semakin aku memahami mengapa aku terus tersenyum bahkan saat aku memikirkanmu. Semakin aku mengerti kenapa ka uterus saja mengganggu semua kegiatanku dengan bayangmu. Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu.

Untukmu cinta pertama yang tak pernah bisa kugapai,

Kau tersenyum gugup ketika memintaku menemuimu sepulang sekolah. Kita sudah menyelesaikan pentas menari itu dengan baik, sehingga sulit sekali untukku bertemu denganmu. Bahkan hanya untuk bermain kejar-kejaran. Namun, kau tiba-tiba memintaku menemui, terang saja aku kegirangan. Menghabiskan hari di sekolah dengan senyum, sambil menunggu bel pulang sekolah berbunyi.

Kau berdiri di sana. Di halaman gersang sekolah, tepat di dihadapanku. Masih dengan senyum gugup yang sama, kau menyodorkan sobekan kertas itu. Hanya sobekan kecil yang kuterima dengan bingung. kupikir kau akan mengajakku bermain kelereng seperti biasanya. Namun setelah memberiku potongan kertas itu, kau berbalik dan pergi. Tanpa ada kata-kata. Aku ingat bagaimana caraku menghela nafas dengan berat. Lalu berbalik dan berjalan pulang. Rumah yang tak jauh dari sekolah membuatku hanya perlu berjalan kaki saja. Aku membuka sobekan itu lalu membacanya.

-Kakak suka kamu-

Itu saja. Tanpa penjelasan. Tanpa rayuan. Hanya tiga kata yang sontak membuatku membalikkan badan, mencarimu. Memberitaumu bahwa aku juga menyukaimu. Namun kau sudah tidak dalam jarak pandangku. Dengan menggenggam sobekan kertas itu, aku memantapkan hati. Niatku, adalah menulis surat cintaku yang pertama sesampainya di rumah nanti.
  
Namun,

Terkadang hal-hal baik yan terjadi tidak harus memiliki kelanjutan yang baik juga. Surat cinta pertama yang kutulis dengan susah payah itu tidak pernah sampai padamu. Kau, tidak pernah mendengar ungkapan bahwa aku menyukaimu. Rasa suka polos, tanpa alasan atau embel-embel yang mengikutinya. Kau tidak pernah mengetahui itu.

Sehari setelah kau memberiku sepotong kertas itu, aku pindah sekolah. Tanpa peringatan apapun. Tanpa pemberitahuan apapun. Aku sendiri pun tidak tau bahwa aku pindah sekolah begitu saja.

Sehari setelah kau memberiku sepotong kertas itu, aku kehilanganmu. Kau dan aku tidak pernah lagi terhubung. Bahkan melalui dunia maya. Tidak pernah. Masa kecil dengan cinta pertama yang indah itu, singkat saja. Mungkin aku memberimu patah hati yang pertama. Ya, karena aku mendapati patah hatiku yang pertama juga.

Untukmu cinta pertama yang tak pernah bisa kugapai,

Maafkan aku karena telah mematahkan hatimu. Maafkan aku karena pergi tanpa pamit. Maafkan aku karena kau tidak pernah bisa mendengar rasaku.

Untukmu cinta pertama yang tak pernah bisa kugapai,

Aku menyukaimu. Masih dengan rasa yang sama.


Kamis, 06 Agustus 2015

Guess! The Frogs Terror

Aku memperhatikan kakak kembarku yang mengacak-acak rambut hitam kecoklatannya. “Kak?” panggilku sambil memperbaiki program gagal yang kubuat di PCku. Orlando menoleh ke arahku, “Ad, aku mau pinjam komik lagi,” ucapnya. Setelah itu, dia kembali mengacak-acak rambutnya sambil memperhatikan deretan komikku di rak buku. “Ya, jangan dirusak,” tukasku malas. “Nggak ada Detective Conannya Aoyama yang baru ya?” tanyanya. Aku tidak menggubris. Sepertinya Orlando sudah lelah mencari setelah lama kudiamkan. Sekarang dia berjalan ke arah jendela kamar dan menutup sebagian tirainya. “Sinar matahari itu tidak terlalu baik untuk otak,” ucapnya sambil melemparkan diri ke kasur. Aku mendengus. Darimana dia dapat teori aneh seperti itu?
“Adrienne,” panggilnya. Aku bergumam malas sebagai jawaban. “Apa sebaiknya kita berhenti sekolah saja?” tanya Orlando. Aku sontak berbalik untuk menatapnya “Kenapa harus berhenti sekolah?” tanyaku kaget. Orlando menutup matanya, “kita nggak punya uang. Ayah sedang ditahan. Ibu sudah meninggal. Kalau kita sekolah bagaimana kita makan nantinya?” tanyanya. “Bagaimana kalau kakak saja yang berheti sekolah? Kan kakak lebih tua dariku,” ucapku dengan wajah polos yang kupaksakan. “Enak aja!” jawab Orlando cepat. “Cuma beda 5 menit!” lanjut Orlando tidak suka, masih sambil menutup matanya. Aku tertawa. “Aku mau. Berhenti sekolah,” ucapku sambil tersenyum. Orlando membuka matanya lalu terduduk dengan tiba-tiba. “Serius?” tanyanya tidak yakin. Aku mengangguk, membuat rambut perakku terayun pelan. “Haahh,” ujar Orlando sambil menghempaskan tubuhnya di kasur lagi. “Baguslah. Tadi kupikir akan menghabiskan banyak waktu untuk membujuk adik kembarku ini,” ucapnya kemudian. “Eh! Ada syaratnya kakak….” Ucapku masih sambil tersenyum. “Heeh?” tukas Orlando kaget bercampur tidak suka. “Apa syaratnya?” tanya Orlando setelah cukup lama.

Tok…. Tok…. Tok….

“Kak?” aku menatap Orlando bingung. “Aku yang bukain, kamu mau ikut turun?” tanya Orlando sambil berjalan ke arah pintu kamar. “Ikut,” ucapku lalu mensejajari langkahnya.
Kakakku merapikan rambut acak-acakannya ketika menghadapi seorang wanita dewasa yang berdiri di depan kami. “Maaf, sepertinya anda salah rumah,” ucap Orlando sambil menatap wanita cantik di hadapan kami. Wanita itu menggeleng, lalu tersenyum ramah. “Kediaman keluarga Sa’ri kan?” tanyanya. Masih sambil tersenyum. Aku dan Orlando mengangguk gugup karena kami tidak pernah menerima tamu sebelumnya. “Kalau begitu saya tidak salah rumah. Nah, boleh saya masuk?” tanya wanita itu sambil melepas alas kakinya. “Ugh, dipakai saja. Bagian bawah rumah ini jarang kami tempati jadi sedikit berdebu,” ujarku melarang. Wanita itu mengangguk. “Anake,” ucapnya sambil berjalan masuk rumah. “Adrienne, dan ini saudara kembarku, Orlando,” ucapku tangkas. Orlando hanya mendengus malas ketika meyadari bahwa kami benar-benar mendapat tamu sekarang. “Wah tidak perlu bersopan-santun ya?” tanya Nyonya Anake sambil mengibaskan rambut hitamnya. Dia melirik sofa yang sedikit berdubu lalu duduk dengan paksa di atasnya. “Baiklah, aku ke sini untuk meminta bantuan kalian. Aku mendapat kabar di koran bahwa kalian membantu polisi untuk menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan,” ucapnya setelah beberapa lama terdiam. Orlando tidak menggubris sama sekali.

Justru dia sibuk memainkan rambutnya yang mulai menjutai menutupi matanya. “Kami tidak punya apa-apa untuk disuguhi kepada tamu dan kami tidak yakin bisa membantu anda, Nyonya Anake,” ucapku sopan. Wanita itu menggeleng, lalu merogoh sesuatu dari tasnya.
 “Aku bisa memberikan ini kepada kalian asalkan kalian mau membantuku,” ucapnya sambil mengeluarkan selembar cek. Orlando yang tampak tidak peduli itu pada akhirnya melirik cek tersebut. “Wah, 5 Juta? Untuk anak seusia kami?” tanya Orlando tidak yakin dengan angka yang tertera pada cek tersebut. “Aku akan memberikan 5 juta sisanya ketika kalian bisa menyelsaikan masalahku dengan baik,” ucap Nyonya Anake. “Bagus, sekarang apa yang bisa kami lakukan?” tanya Orlando sambil mengantongi cek yang tadi dipegangnya. Dasar mata duitan!
“Aku ingin kalian menyelidiki, ada yang aneh dengan halaman rumahku. Sekitar 3 hari yang lalu uhm sampai sekarang aku mendengar suara kodok yang sangat berisik. Dimulai dari jam 7 malam, lalu ….”

“Maaf? Suara kodok?” potong Orlando tidak yakin.

“Iya, suara kodok”

“Bagaimana bisa ada suara kodok ketika sedang musim kemarau?” ujar Orlando sambil menyerit bingung.

“Itu merupakan salah satu hal aneh juga,”

“Salah satu? Berarti ada hal aneh lainnya?”

“Ya, setiap menjelang tengah malam suara kodok yang keras dan berisik itu lama kelamaan menjadi pelan dan menghilang. Aku tidak pernah melihat kodok di siang hari, bahkan bangkainya pun tidak. Astaga! Jejaknya pun tidak ada,” ucap Nyonya Anake setengah ketakutan.

Orlando meringis, “terror” ucapnya. Aku melongos, “mungkin ada orang iseng yang menyalakan rekaman suara kodok pada jam 7 malam di halaman rumahmu lalu kelelahan ketika sudah mendekati tengah malam,” ujarku tak acuh. “Adrienne yang cantik, itu tidak mungkin!” ucap Orlando. “Itu pasti mengundang pertanyaan untuk orang-orang lewat yang melihatnya,” lanjut Orlando sambil terkekeh. Aku meringis. “Kami akan menginap besok malam untuk melihat sendiri apa yang terjadi, bisa saja itu halusinasi anda,” ucap Orlando setelah hening beberapa menit. “Baiklah, ini kartu namaku,” ucap Nyonya Anake sambil berdiri. “Aku permisi,” ucapnya sambil berjalan keluar rumah.

“Jangan memutuskan segalanya sendirian!” bentakku sesaat setelah Orlando mengunci pintu depan. “Huh? Aku lebih tua darimu. Ingat?” ucap Orlando sambil berjalan menaiki tangga. “Hanya 5 menit lebih tua!” ujarku masih membentak. “Kak, 5 juta itu sudah lumayan. Kenapa mau tambah lagi?” ucapku sambil mengikuti Orlando. “Uhm, tadi itu aku kaget melihat jumlahnya 5 juta, tapi nyonya kaya itu malah menambah jumlahnya. Anak berumur 17 tahun mana yang akan menolak uang sebesar 10 juta tanpa harus bekerja berat?” Aku terdiam ketika mendengar perkataan kakakku. “Kita tetap akan berhenti sekolah kan?” tanyaku. Orlando berbalik dan tersenyum, “tentu saja. Kita akan kaya tanpa harus sekolah,” ucapnya lalu kembali berjalan. Aku mengikutinya. Tersenyum

--------------------------------------------------------------

Kediaman Nyonya Anake terlihat seperti rumah normal lainnya. Cat dindingnya berwarna putih gading dengan tiang besar menyerupai pilar sebagai penyangga. Fondasi rumahnya dibentuk dari tiang-tiang kayu sehingga lantai dasar rumah itu tidak benar-benar menyentuh tanah dan menyisahkan ruang-ruang kecil di bagian bawah rumah. Terdapat tangga rendah yang menghubungkan tanah pada halaman dengan teras rumahnya. Halaman rumahnya cukup luas dan dipenuhi dengan tumbuhan sejenis mawar dan bakung. Hanya tanaman Gelombang Cinta yang tampak lebih mahal daripada tanaman lainnya.

Aku dan Orlando berjalan pelan memasuki rumah setelah dipersilahkan oleh pemiliknya. Ruang tamunya tidak begitu luas dengan karpet beludru berwarna maroon yang dihamparkan. Beberapa bantalan penyangga punggung sebagai hiasan dan meja kecil berkaki rendah di tengah ruangan. Tidak ada tv di ruang keluarga, hanya ada beberapa perabotan rumah tangga dan beberapa rak buku yang menjulang sampai ke atap rumah. Aku dan Orlando mengikuti Nyonya Anake yang berjalan melewati beberapa pintu ruangan. Rumah ini hanya terdiri dari satu lantai dengan ukuran yang tidak begitu besar. “Ini kamar Adrienne dan yang itu kamar untuk Orlando,” ucap Nyona Anake setelah berhenti di depan ruangan yang memeliki pintu coklat tembaga. “Kami tidur berdua saja,” ucap Orlando sambil membuka pintu kamar. Hah, lagi-lagi manusia itu memutuskan sendiri.

Kamar itu memiliki satu jendela kaca yang berada di bagian atas tempat tidur. Lantai kamar tersusun dari ubin kayu yang seakan-akan rapuh. Lampu ruangan hanya terdapat pada bagian tengah kamar, di dekat pintu kamar terdapat sebuah lemari pakaian yang berwarna kelabu, senada dengan warna cat kamar. “Hah, untung aja kasurnya cukup besar,” ucapku senang. “Memangnya kenapa? Kamu nggak mau tidur di samping kakak kembarmu? Yah meski pun kakakmu itu laki-laki” tanya Orlando sambil meletakkan ransel di dalam lemari. “Yah kalau kasurnya kecil aku akan memintamu untuk tidur di lantai kak,” jawabku asal. “Adik durhaka,” ucapnya. Aku terkekeh. “Kak, apa kita datang terlalu pagi?” tanyaku ketika melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 09:00 AM. “Tidak, aku sengaja datang pagi-pagi untuk mengecek siapa saja yang bertamu ke sini,” ucap Orlando, dia lalu menghempaskan dirinya di kasur. “Ugh! Tidak seempuk kasurmu,” ucapnya sedikit kesakitan. “Hah, kasurku jadi seperti itu karena kakak sering menghempaskan diri di atasnya,” ujarku jengkel. “Oh ya?” tanyanya tidak percaya. “Terserahlah, aku akan memberitahu Nyonya Anake kalau kita akan menyelidiki kasus ini ketika ada orang yang bertamu selain kita,” ucapku sambil berjalan keluar kamar.

Sekali lagi aku memperhatikan ruang keluarga milik Nyonya Anake, masih tidak ada yang benar-benar istimewa dengan ruang keluarga ini. Sayup-sayup kudengar suara percakapan dari ruang tamu. Aku berjalan pelan, takut menggaggu kalau sekiranya Nyonya Anake sedang bercakap di telepon. Aku melihat ruang tamu sekilas. Ah! Ada seorang laki-laki duduk di atas karpet beludru itu. Aku memperhatikan tamu itu. Dia memakai jas berwarna hitam berdasi hitam juga. Aku mengambil PCku dan memfoto tamu itu. PCku dengan otomatis mengakses datanya. Orang itu bernama Michael Tirayoh, seorang direktur di sebuah perusahaan besar. 

Aku kembali ke kamar untuk memberitahu Orlando. Setelah aku membuka pintu kamar, Orlando ternyata sedang asik berkutat dengan selimut. Meneruskan tidurnya yang sempat tertunda. “Onii san!” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya keras. Dia terbagun dengan kaget. “Heh? Onii san?” tanyanya bingung. “Siapa yang manggil onii san? Salah denger kali kak,” ucapku.
 “Ah iya mungkin cuma mimpi,” ucapnya masih bingung. “Kak, lihat,” ucapku sambil menunjukkan PCku. “Ah! Tamu?” ucapnya bersemangat. “Bagus…. Bagus…. PC buatan adikku ini memang hebat. Astaga! Seorang direktur? Oke, terima kasih datanya. Sekarang mari kita intip,” lanjutnya berbicara sendiri. Dia memang tergila-gila dengan hal yang seperti ini. Orlando berjalan pelan sambil menenteng PCku, membuka pintu kamar lalu berjalan seolah tidak ada apa-apa menuju ruang tamu. Aku mengikutinya dengan tergesa-gesa. Orlando berhenti di dekat ruang tamu lalu mengamati. Dia menatap bingung. Aku balik menatapnya. Apa?

Aku melirik ruang tamu itu dan mendapati orang bernama Michael Tirayoh sudah berganti menjadi 3 orang lainnya yang tidak kuketahui namanya. Aku meminta PCku, Orlando memberikannya. Kemudian aku memfoto orang-orang itu satu persatu. Ketiganya menggunakan kaos oblong dengan celana jeans lusuh. Seorang dengan rahang yang terkesan kuat bernama Robin Tollan, memakai kaos oblong berwarna merah dengan warna yang sudah pudar di beberapa tempat. Laki-laki yang duduk sopan di sampingnya memakai kaos berwarna hijau pucat. Bernama Andy. Seorang lagi yang warna pakaiannya tidak bisa kugolongkan ke warna apa bernama Erick. Ketiganya adalah kelompok pencinta alam di Universitas Of Berlin. Kelompok itu bernama Stalker Scorpio. Punya hubungan apa orang-orang ini dengan Nyonya Anake? Tanpa pikir panjang aku mengarahkan PCku ke arah Nyonya Anake dan mengambil gambarnya. Heh? Nyonya Anake adalah anggota Stalker Scorpio juga? Wanita cantik seperti Nyonya Anake adalah seorang anggota pencinta alam? Aku memandang Orlando dengan tatapan bingung, namun dia masih mengamati tamu itu. Tidak lama kemudian ketiga tamu itu berpamitan, dengan sigap Orlando menghampiri Nyonya Anake ketika nyonya itu menutup pintu rumahnya.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya Nyonya itu.
“Apakan Tuan Michael Tirayoh adalah tamu pertama anda hari ini?” tanya Orlando.

Nyonya Anake mengangguk sebagai jawaban. “Apakah dia bertamu setiap pagi?” tanya Orlando lagi. Sekali lagi Nyonya Anake mengangguk. “Uhm tapi tidak benar-benar setiap pagi. Kadang-kadang dia juga datang untuk makan malam,” ucap Nyonya Anake setelah terdiam selama beberapa lama. “Apakah saat dia datang untuk makan malam dia bertamu di pagi harinya juga?” ujar Orlando masih bertanya. Aku bisa melihat Nyonya Anake tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kakak kembarku itu. Meskipun begitu, Nyonya Anake tetap mengagguk sebagai jawaban. Orlando tersenyum. “Bagaimana dengan ketiga tamu yang barusan pulang?” tanya Orlando, masih dengan senyuman di wajahnya. Nyonya cantik itu terlihat enggan untuk menjawab, hening mengisi ruangan selama beberapa menit.

“Uhm hanya Robin yang sering datang mengunjungiku, entah kenapa hari ini mereka bertiga datang bersamaan. Tunggu, kenapa kamu bisa mengetahui nama teman-temanku?” tanya Nyonya Anake. “Rahasia,” ucapku sedikit berteriak untuk menanggapi. Aku bisa melihat bahwa Nyonya Anake sedikit kaget dengan teriakanku. “Terima kasih atas informasinya Nyonya, kami kembali ke kamar dulu,” ucap Orlando sambil menarik tanganku kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar Orlando meminta PCku dengan paksa. “Informasi apa yang kamu dapat tentang Nyonya Anake?” tanya Orlando sambil mengotak-atik PCku. “Kakak bisa membacanya sendiri” tukasku jengkel. “Ah ya! Bagus itu dia motifnya,” ujar kakakku sedikit berteriak. Aku menatapnya bingung. “Adrienne, lihat! Nyonya Anake pernah bekerja di perusahaan Tuan Michael itu, lalu dia mengundurkan diri tahun lalu. Tuan Michael masih membutuhkannya sehingga tuan itu membujuk Nyonya Anake agar kembali namun Nyonya cantik itu menolak dan klik! Tuan itu meneror Nyonya Anake lalu berpura-pura untuk membuatnya terhibur dan Nyonya Anake akan kembali bekerja di perusahaan itu,” ujar Orlando tersenyum puas. “Aku tidak mau kakakku terjebak dengan deduksiya yang salah lagi, teliti,” ujarku. Orlando mengangguk mengerti, lalu memperhatikan data tentang Nyonya Anake yang tertera di PCku. “Bisa juga tuan Robin yang menjadi pelaku terror ini. Bagaimana pun dia adalah anggota pencinta alam, dengan begitu dia tahu mana kodok yang bisa tetap hidup di musim kemarau,” ucap Orlando sambil menerawang. “Kalau begitu dua orang sisanya juga bisa dimasukkan ke daftar tersangka,” ucapku. Orlando mengangguk setuju. “Yah, ketiganya adalah pecinta alam,” ucap Orlando lalu meletakkan PCku di atas meja yang berada di samping kasur. Kemudian dia membaringkan tubuhnya di kasur lagi. “Hah aku lupa bawa komikmu,” ujarnya jengah. Aku meringis, sempat-sempatnya dia memikirkan komik ketika ada orang yang ingin meminta bantuannya.

Aku ikut berbaring di sampingnya. Aku memang sering mengantuk di pagi hari. “Kak, kenapa kita harus menyelidiki tamu yang datang?” tanyaku sambil memandang langit-langit kamar. Kamar ini sepertinya selalu bersih meskipun tidak ada yang menempati. Orlando bergumam, “karena mungkin tujuan mereka tidak hanya bertamu,” ujarnya sambil mendengus. Aku terdiam, mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan kakakku. “Maksudnya?” tanyaku saat aku tidak yakin bahwa aku bisa mencerna kalimat itu dengan baik. “Kenapa kamu bertanya?” ujar Orlando balik bertanya. “Daripada nanti aku menyuruh kakak untuk menulis cerita tentang apa yang belum kuketahui,” ucapku sambil menatapnya. “Bagus, bertanya itu lebih baik daripada aku menulis lagi,” ucap Orlando. “Bisa saja salah seorang dari mereka yang bertamu itu bertujuan untuk memeriksa keadaan Nyonya Anake, apakah dia baik-baik saja setelah pelaku terror itu menyebarkan kodok di halaman rumahnya? Atau apakah pelaku itu berhasil membuat Nyonya Anake tertekan?” lanjutnya, lalu menghembuskan nafas keras. Aku mengangguk mengerti, ah ku kira itu hanya pekerjaan iseng yang dilakukan kakakkku untuk mengisi waktu. “Terlebih, Tuan Robin dan Mike datang setiap pagi. Apakah itu tidak mencurigakan?” tanya Orlando. “Mike?” aku menyerit. “Yah nama keren yang ku berikan untuk Tuan Michael untuk menyingkat namanya,” ucap Orlando acuh. Hah. “Terserah kakak saja,” tukasku jengkel. Orlando terkekeh.

--------------------------------------

Suara kodok itu benar-benar terdengar ketika malam datang. Cukup keras sehingga aku mungkin akan menyimpulkan bahwa ada jutaan kodok di luar sana. Orlando menyelinap keluar rumah dan aku membuntutinya, tidak ingin mati penasaran dengan apa yang ada di pikiran kakak kembarku yang menyebalkan itu. Dia menunduk-nunduk ketika sampai di ujung teras rumah. Berhenti tepat di dekat tangga yang menuju ke halaman lalu berbalik. “Astaga! Adrienne!” tukasnya kaget ketika mendapati aku berada di belakangnya. Aku menyengir, “tidak ingin ketinggalan cerita,” ujarku sambil menenteng PCku.

Orlando menggeleng, “benar-benar ada kodok,” ucap Orlando sambil menunjuk tangga tempatnnya berhenti tadi. “Wah, apa kodoknya semenakutkan itu sampai-sampai kakakku bergidik ketika melihatnya?” tanyaku senang karena menyadari bahwa Orlando takut kodok. Aku berjalan mendekati tangga namun Orlando menahanku. “Dart Frog,” ucapnya. Aku melongok ke arah tangga dan mendapati sekitar enam ekor kodok berwarna cerah yang sedang melompat riang sambil mengeluarkan suara yang berisik. Aku bergidik ngeri. Kodok asal Amerika Selatan itu kenapa bisa berada di sini? Di Indonesia? Aku menatap Orlando ngeri. Dia meringis, tidak tau berbuat apa. “Kita tunggu tengah malam,” ucap Orlando, sambil berjalan masuk. Hah tidak ada yang bisa kami lakukan selain membiarkan kodok beracun itu bernyanyi sepuas mereka?

Nyonya Anake memanggil kami untuk makan malam, Orlando menolak makan. Adrienne? Menolak makanan? Mana mungkin. Aku menghabiskan sup asparagus yang dibuat oleh Nyonya Anake, suara kodok itu cukup menghibur kalau saja aku tidak tahu kalau kodok yang sedang berisik itu adalah kodok dengan racun yang bisa membunuh 10 manusia dewasa setiap tetesnya. Aku bisa melihat Orlando yang sedang menggigit coklatnya di ruang keluarga sambil melihat-lihat kumpulan buku yang ada. Huh kami tidak akan berbuat apa-apa sampai tengah malam. Setelah makan malam aku dan Orlando kembali ke kamar, kakakku itu kembali ke kamar dengan membawa 3 novel yang cukup tebal. “Sepertinya buku-buku ini bagus,” ujarnya.

Sialnya aku tertidur setelah beberapa menit berbaring. Sedangkan Orlando –seperti biasa- tidak akan menyadari hal lain ketika asik membaca buku.Orlando baru sadar ketika jam di ponselnya memamerkan angka 03:27 AM, sedangkan aku terjaga dari tidurku karena suara berisik yang ditimbulkan Orlando, dia terburu-buru berlari keluar. Dengan setengah sadar aku berlari mengikuti kakakku itu. Orlando berhenti tepat di dekat tangga seperti tadi, mengucek matanya kasar lalu membuang pandangannya secara terburu-buru. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dia mengacak rambutnya kasar sambil menghela nafas, jengkel. “Kenapa?” tanyaku sambil mendekat. “Cih,” tukasnya ketika aku sudah berada di dekatnya. “Liat Adrienne, peneror itu melaksanakan terornya seperti biasa, padahal aku ada di sini. Ah! Sial!” omel Orlando dengan nada marah yang ditujukan pada dirinya sendiri. “Kodok-kodok itu sudah hilang?” tanyaku penasaran. Lalu menoleh ke arah dimana kodok-kodok beracun itu berada ketika jam makan malam. Aku terkejut ketika menyadari bahwa tidak ada seekor kodok pun, bahkan seekor bangkai kodok pun yang berada di tangga itu. Berarti kemungkinan bahwa kodok itu dimusnakan oleh sesorang adalah kemungkinan yang salah. Kodok itu menghilang dengan cara misterius. “Sial!” Teriak Orlando frustasi. “Masih ada besok kakak, penelitian membutuhkan ketenangan,” ucapku sambil mengelus punggung kakakku. Orlando masih terus mengumpat marah, tidak suka karena dia melakukan kesalahan sepele sehingga dia kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan kasus. Aku memeluknya. Kakakku itu terdiam cukup lama. “Terima kasih, Adrienne” ucapnya. Aku tersenyum menanggapi. “Masih ada besok, jangan terlalu memaksakan diri. Besok pagi kakak bisa meneliti jejaknya. Sekarang sebaiknya kakak istirahat,” ujarku. Hah aku tidak tahu kalau ternyata aku cukup bijak untuk dijadikan seorang penasehat.

----------------------

Sinar keemasan membangunkanku dari tidurku yang mungkin bisa dibilang nyenyak. Aku menggeliat malas. Aku sadar bahwa gravitasi pada kasur lebih kuat daripada gravitasi bumi pada pagi hari. Pukul 07:07 AM, masih terlalu pagi untuk bangun. Aku menoleh ke sisi kananku, Orlando sudah tidak ada di tempat dia terlelap tadi. Astaga! Orang itu benar-benar tidak sabaran. Aku berlari keluar dengan wajah bangun tidur dan rambut acak-acakanku. “Orlando Sa’ri?” panggilku sambil berjalan sopan melintasi ruang tamu. Lalu aku mendapati Orlando yang sedang berjongkok di dekat tanaman mawar. “Wah adikku sudah bangun, sepertinya rambut perakmu itu harus di sisir,” ucap Orlando tanpa mengalihkan padangannya ke arahku. “Sudah ku bilang aku tidak mau ketinggalan cerita kak,” ucapku jengkel sambil berusaha merapikan rambutku dengan jari. Tidak berpengaruh apa-apa, rambutku masih berantakan. “Nyonya Anake masih tidur sepertinya,” ucap Orlando sambil berdiri. “Dan penelitianku sudah selesai,” lanjutnya. “Bagus, kakak mendapatkan sesuatu?” tanyaku kikuk karena lupa membawa PCku. “Ya, sudah ku foto,” ucapnya sambmil mengangkat PCku sampai di depan dada. Ah ternyata Orlando sudah membawanya. “Tidak banyak, hanya ada jejak garis panjang di rumput ,” lanjutnya sambil menunjuk sesuatu di rumput. Aku tidak mendapati apa-apa, rumput itu masih berembun. “Perhatikan lagi, embun di sana tidak setebal embun di tempat lain,” ucap Orlando, menyadari bahwa aku tidak cukup jeli untuk memperhatikan. Ah! Garis itu memanjang dengan meliuk-liuk dan salling bertindih. Kalau dikira-kira lebarnya hanya sekitar 2 cm. “Ujung garisnya di?” tanyaku sambil memperhatikan garis meliuk yang saling bertabrakan itu. “Di tanah. Tidak ada jejak di sana karena debu pada tanahnya sudah dibasahi embun,” ucap Orlando. “Menurut kakak, itu apa? Sepertinya apapun itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucapku. Orlando mengangkat bahu, “entahlah, itu tidak mungkin dart frog yang kita lihat tadi malam. Karena meskipun kodok itu bisa berjalan, mereka tidak akan bisa berjalan sejauh itu,” Orlando menjelaskan. Aku mengangguk mengerti. “Hanya itu?” tanyaku. Orlando mengangguk kesal. “Tidak ada apa-apa lagi di sini. Aku sudah berkeliling halaman dan hanya mendapati jejak samar dari sesuatu yang tidak ku ketahui. Aku setuju bahwa apapun itu, jumlahnya lebih dari satu,” ucap Orlando sambil berjalan memasuki rumah.

“Hah, aku lapar. Tolong ambilkan coklatku di tas,” Orlando menghempaskan dirinya di sofa ruang keluarga. Aku berjalan gontai memasuki kamar, mengambil coklat di tas Orlando lalu melemparkan coklat itu ke arahnya. “Nice pass,” ucapnya sambil menangkap coklat yang ku lempar. Aku mendengus. Lalu kembali ke kamar untuk menyisir rambutku dan menguncirnya secara acak-acakan. “Kak, kamar mandi di sebelah mana?” tanyaku, sambil berdiri tepat di pintu kamar. “Di kamarmu ada kamar mandinya,” ucap Nyonya Anake dengan tiba-tiba. “Astaga, anda mengagetkanku,” pekikku kaget. Nyonya Anake dan Orlando terkekeh. Aku merenggut jengkel. “Di sebelah mana?” tanyaku bingung, karena walaupun sudah ku perhatikan berkali-kali aku tidak mendapati ada pintu lain selain pintu keluar-masuk di kamar itu. Nyonya Anake berjalan masuk, lalu menggeser dinding di dekat lemari pakaian. “Sebelah sini,” ucapnya sambil menunjuk dinding yang sudah bergeser sepenuhnya, digantikan dengan kamar mandi yang tidak bisa dikatakan luas. “Terima kasih,” ucapku sambil berjalan masuk. Tidak ada bathup di kamar mandi ini, yah aku memang lebih suka mandi menggunakan shower daripada berendam lama di bathup. Awalnya aku hanya berniat untuk mencuci muka, tapi entah kenapa aku berubah pikiran. Aku mandi sekenanya dengan malas-malasan.

---------------

Orlando keluar dari kamar mandi setelah menghabiskan sekitar 20 menit waktunya untuk mandi. Dia mengeringkan rambut hitam kecoklatannya itu. “Sepertinya rambut kakak perlu dipotong,” ucapku memberi saran. Orlando meringis lalu menatapku malas dengan mata hijau menyebalkannya itu. “Kalau kamu yang potong aku mau,” ujarnya dengan nada malas yang dibuat-buat.
“Kita ngapain hari ini kak?” tanyaku mengabaikan ucapan kakakku.
“Menguping pembicaraan tuan Robin dan Mike yang akan datang sebentar lagi. Astaga! Novelnya belum ku selesaikan. Adrienne, kamu saja yang menguping ya? Aku ingin menyelesaikan novelnya dulu” pinta Orlando seenaknya.
“Tidak mau,”
“Ayolah…. Sekali-sekali turuti perintah kakakmu,”
“Aku sudah sering menuruti perintah kakak kembarku yang menyebalkan itu,”
“Bagus, dengan begitu kamu hanya perlu menurutinya lagi,”
“Ayolah, kenapa aku?”
“Kamu tidak mau ketinggalan ceritanya kan?”
Aku terdiam. Menyesal karena mengatakan kalimat itu berkali-kali sebelumnya. Aku harus mengelak, tapi bagaimana caranya? “Nah, sebaiknya memang kamu yang menguping. Aku selalu berharap punya saudara kembar yang bisa diandalkan,” ucap Orlando dengan nada mengejek. “Hah kakak yang jahat,” ucapku jengkel. “Apa PC buatanku itu tidak bisa kakak pakai untuk membantu penelitian hah? Atau apa aku tidak bisa diandalkan untuk menghibur kakakku ketika sedang stress dengan pengamatan gagalnya?” ujarku jengah. Orlando terkekeh ringan. “Wajahmu lucu,” ucapnya di sela tawanya. Aku mendengus kesal. “Jangan marah begitu, akan ku belikan 4 buah komik kalau kamu mau menguping,” ucap Orlando. “Lima,” pintaku. Sekarang Orlando yang mendengus. “Oke, lima buah komik,” ucapnya menyerah. “Bagus,” aku menurut lalu berjalan keluar kamar. Sambil memasang wajah ceria aku berjalan menuju ruang tamu dan mendapati Tuan Robin sudah duduk dengan santai di atas beludru maroon. Nyonya Anake masih menggunakan piyamanya dan memaksakan diri untuk tersenyum meskipun wajahnya terlihat masih mengantuk.

“Kamu ingat waktu kita mendaki Merapi?” tanya Tuan Robin setelah meneguk tehnya.

“Ya, Erick melamarku di sana. Bagaimana aku bisa lupa?” jawab Nyonya Anake.

“Wah aku baru tahu,” ucap Tuan Robin. Dia mengankat bahunya. “Lalu bagaimana?” lanjutnya.

“Ku tolak, aku masih terlalu muda untuk menikah waktu itu,”

“Ugh, begitu ya ternyata,”

“Kenapa?”

“Ah bukan apa-apa. Oh iya, apa tidak ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?”
Aku mendekatkan diri lagi agar bisa mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi antara Tuan Robin dan Nyonya Anake. Aku bisa melihat wajah Nyonya Anake berubah pasi mendengar pertanyaan Tuan Robin. “Ada, tapi aku baik-baik saja. Ada anak remaja yang menemaniku di sini,” jawab Nyonya Anake. Tuan Robin cepat menyembunyikan ekspresi kaget dan uhm takut? Lalu digantikan dengan senyum aneh.  “Ada apa?” tanya Nyonya Anake karena tidak mendapat respon apa-apa dari Tuan Robin. Tuan Robin menggeleng cepat. “Huh, mencurigakan,” gumamku pelan. Tuan Robin tampak seperti ingin berbicara tapi dengan tiba-tiba terdengar suara orang lain yang datang. Aku mencondongkan tubuhku sedikit agar bisa melihat siapa yang datang. Tuan Michael? Wah aku beruntung!

“Ah aku datang di saat yang kurang tepat rupanya,” ucap Tuan Michael sambil memasuki ruangan. Nyonya Anake menggeleng sambil tersenyum, “sebenarnya kalian berdua datang di saat yang tidak tepat. Aku belum mandi,” ucap Nyonya Anake dengan nada bercanda yang dibuat-buat. Kedua tamu itu tertawa. “Ada apa Mike? Aku tidak mau membicarakan perusahaanmu lagi. Aku sedang ingin menulis,” ucap Nyonya Anake setelah tawa laki-laki di hadapannya reda. Mike? Panggilan yang sama dengan panggilan yang diberikan Orlando. “Ah kamu bisa membaca pikiranku ya?” ucap Tuan Michael sambil tertawa. “Begini, kamu bisa kembali  bekerja di perusahaanku setelah kamu menyelsaikan tulisanmu,” ucap Tuan Michael. Astaga! Orlando benar tentang dugaannya bahwa Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali bekerja di perusahaannya. Aku bisa melihat Nyonya Anake menggeleng sopan. “Aku akan terus menulis,” ucapnya. Tuan Robin yang daritadi diam akhirnya membuka mulut, “uh, aku permisi sekarang. Ada yang harus ku kerjakan,” ucap Tuan Robin sambil berdiri. Lalu Aku bisa melihat Tuan Robin yang berjalan keluar dengan terburu-buru. Kenapa dia terburu-buru?

“Dengar Anake, aku uh maksudku perusahaanku membutuhkanmu. Jadi ayolah,” ujar Tuan Michael memohon. Nyonya Anake menggeleng. “Mau minum apa?” tanya Nyonya Anake mengalihkan pembicaraan. “Tidak usah, aku akan berkunjung lagi nanti malam,” ucap Tuan Michael sambil berdiri. Nyonya Anake terlihat bingung untuk merespon. Hah Tuan itu ternyata menyebalkan. Aku berjalan cepat menuju Nyonya Anake lalu berdiri membelakangi Tuan Michael, “tante, nanti malam kita jalan-jalan ya?” pintaku sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Nyonya Anake untuk mengajaknya berkompromi. Nyonya Anake mengangguk, “ide bagus. Nanti malam kita jalan-jalan. Ajak Orl juga ya,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. “Maaf, nanti malam aku tidak bisa menerima tamu. Keponakanku ingin jalan-jalan,” aku bisa mendengar ucapan Nyonya Anake yang menolak Tuan Michael halus.

Aku sadar kenapa Nyonya Anake terlihat bingung saat merespon, dia tidak ingin ada orang yang mengetahui terror yang terjadi di rumahnya ketika malam hari. Karena itulah Adrienne yang cantik ini membantu di saat yang tepat. Haaah aku merasa seperti pahlawan. Beberapa detik setelah aku memuji diri sendiri, Tuan Michael sudah pergi meninggalkan teras rumah. Aku cepat-cepat duduk sopan di sofa.

 “Terima kasih bantuannya, tadi itu sangat membantu,” ucap Nyonya Anake sambil tersenyum. “Sama-sama,” ucapku ‘maaf karena aku menguping,’ tambahku dalam hati. “Aku mau mandi dulu. Kalau kamu mau sarapan, panaskan sendiri makanannya,” ucap Nyonya Anake sambil berjalan memasuki kamarnya. Aku mengangguk senang. Yes, makan.

Setelah mengahbiskan sarapan sekaligus makan siangku, aku kembali ke kamar untuk melaporkan informasi yang kudapat dari percakapan Nyonya Anake dengan kedua tamunya tadi. Orlando menutup bukunya tepat ketika aku duduk di sampingnya. “Berapa orang tamu?” tanyanya. “Dua, Tuan Mike dan Robin,” ucapku. Orlando tersenyum, “Ada percakapan yang menarik?” tanyanya. “Nyonya Anake pernah di lamar oleh Tuan Erick ketika mendaki Merapi, tapi Nyonya Anake menolaknya. Tuan Michael ingin Nyonya Anake kembali ke perusahaannya, tapi Nyonya Anake menolak juga,” ucapku menjelaskan. Orlando mengangguk paham. “Ada lagi?” tanyanya, aku menggeleng. “Hah, ku pikir ada salah satu diantara mereka yang menanyakan tentang keadaan Nyonya Anake,” ucap Orlando malas. Aku terperangah, “tunggu dulu, sepertinya aku melewatkan sesuatu,” ucapku. Orlando kembali bersemangat, “apa itu?” ujarnya dengan nada penasaran. “Tadi Tuan Robin menanyakan apakah ada hal yang menggagu Nyonya Anake, lalu Nyonya itu menjawab ada tapi dia baik-baik saja,”

“Klik!” pekik Orlando senang, “itu dia, dia mencurigakan. Tapi kalau Tuan Mike dan Tuan Erick memiliki motif untuk melakukan terror, Tuan Robin tidak memiliki motif apapun,” lanjut Orlando sambil meringis. Aku menahan senyum, “Tuan Robin dan Tuan Erick bersahabat. Apakah kakak tidak akan dendam pada wanita yang menolak sahabat kakak?” tanyaku. Orlando terperangah, lalu tersenyum. “Itu bisa dijadikan motif,” ucapnya. “Sekarang kita punya 3 tersangka tetap,” ucap Orlando senang. Ini artinya kami semakin dekat dengan kesimpulan. “Tapi kita belum mengetahui dengan pasti siapa pelakunya dan bagaimana kronologi kejadiannya,” ujar Orlando. “Nanti malam, jangan membaca novel lagi,” ucapku mengingatkan. Orlando menyengir “padahal aku sudah niat ingin menyelsaikan satu novel lagi,” ucapnya. Aku melemparnya dengan novel yang baru selesai dia baca. “Oke, aku tidak akan baca novel malam ini,” ucap Orlando sambil tersenyum.

---------------------------

Entah kenapa, malam ini dingin terasa lebih menusuk daripada biasanya. Bahkan pada musim kemarau pun udaranya masih terasa dingin. Pemanasan global sepertinya benar-benar sudah terjadi. Orlando duduk menunggu di tangga teras, berharap kodok-kodok itu menyapanya dengan nyanyian mereka yang cukup merdu untuk mengisi hening. Aku menggigit coklat yang kucuri dari tas kakakku. Dia pernah mengatakan kalau coklat bisa memperkuat jantung sehingga jantung akan memompa darah ke otak dengan lebih baik. Dengan lancarnya peredaran darah ke otak, manusia bisa berpikir dengan lebih baik. Alasan Orlando memang baik, tapi kurasa alasanku lebih baik, aku menggigit dan menelan coklat ini karena aku lapar. Orlando berdiri tiba-tiba ketika mendengar suara kodok yang samar terdengar. “Terrornya masih terjadi, ayo kita lihat apakah kodoknya sejenis dengan yang kemarin atau tidak,” ucap Orlando sambil menarikku. Cepat-cepat aku memasukkan coklatku ke saku jaket dan ikut Orlando yang sedang berlari menuju sumber suara.

 Kami sampai di dekat tanaman rendah yang tanpa bunga. Tidak ada apa-apa di sana, padahal kami yakin kalau suara kodok itu berasal dari sini. Orlando menunduk dengan kaca pembesarnya, aku membantu pengcahayaannya dengan PCku. Aku tahu PCku memang sangat  berguna. Dia menggeleng. Tidak ada apa-apa di sana, apa pendengaran kami mulai error? Kenapa bisa error dengan bersamaan? Suara kodok itu terdengar lagi, Orlando langsung berlari dengan cepat. Aku berjalan enggan sambil berpikir, bisa saja kami tidak akan mendapat apa-apa lagi saat sampai di asal suara. Yah, tidak ada salahnya juga untuk melihat.

Asal suara itu ternyata benar-benar dari kodok berwarna cerah yang sedang melompat-lompat di atas tangga. Kodok itu berwarna kuning keemasan, dart frog. Kodok yang sama dengan kodok kemarin, dan di tempat yang sama dengan tempat yang kemarin. “Ada yang berbeda,” ucap Orlando sambil menunjuk kodok yang menyilaukan terkena pantulan cahaya lampu. Aku memperhatikan kodok itu sekali lagi. Lalu terkejut, “warnanya,” ujarku pelan. Orlando mengangguk menyetujui. “Kodok yang kemarin berwarna biru, malam ini mereka berwarna kuning,” ucap Orlando. “Bagaimana cara kita memasuki rumah?” tanyaku mengalihkan perhatian Orlando dari kodok yang warnanya tidak sama dengan kodok yang kami lihat kemarin. Seakan-akan tersadar bahwa dart frog menyebalkan itu memblokir jalan Orlando menolehkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri untuk melihat apakah ada jalan masuk lain selain pintu ini. Nihil. Aku melempar tatapan tanya ke Orlando.Kemudian dia mengangkat bahu tanda tidak tahu. Aku meringis, sedetik kemudian aku terkejut melihat Orlando yang melompat naik ke teras. Melawati kodok-kodok beracun di bawahnya. Aku mendengus, “aku bagaimana?” tanyaku bingung. “Lompat saja,” ucapnya. Tanpa benar-benar berpikir, aku melompat naik. Orlando saja bisa, masa aku tidak? Ketika kakiku sudah menginjak lantai teras, aku terpeleset. Sial, selain sakit aku akan mati karena racun dari kodok itu.

Tentu saja Orlando tidak akan membiarkanku mati, dia menarikku dan membiarkanku tersungkur di lantai teras. Aku berteriak kaget sekaligus kesakitan. “Sama-sama,” ucapnya, lalu berjalan masuk. Hah kali ini kumaafkan karena dia sudah menolongku dari racun dart frog. “Hoi, Adrienne!” panggil Orlando dari dalam rumah. “Di luar dingin, masuklah,” ucapnya. Kakak yang menjengkelkan, seandainya aku yang lahir lima menit lebih cepat itu. Aku menurut, berjalan masuk sambil terpincang-pincang lalu duduk di karpet berludru milik Nyonya Anake. Nyonya Anake sedang tidak di rumah. Orlando memintanya untuk menginap di tempat lain malam ini. “Kita diam di sini saja, lalu mengecek kenapa suara kodok itu menghilang ketika mendekati tengah malam,” ucap Orlando sambil duduk di sampingku. Aku meringis, lalu menyandarkan kepalaku di bahu Orlando sambil berharap semoga tengah malam datang dengan cepat.

Waktu berlalu seperti merangkak, suara kodok di luar tidak berhenti. Aku melirik jam tangan dan mendapati bahwa tengah malam sudah lewat. Aku melihat Orlando yang tertidur di sampingku. Hah dia pulas sekali. Aku lalu berjalan keluar rumah untuk melihat keadaan kodok beracun itu. Rambut perak panjangku, kubiarkan tergerai untuk mengurangi dingin malam. Daun-daun mawar bergoyang pelan tertiup angin. Suara kodok semakin keras terdengar ketika aku berada dekat dengan tangga. Aku menunduk untuk melihat kodok berwarna kuning keemasan itu. Kodok itu masih di sana, aku tersenyum lalu berbalik. Ketika aku berbalik, sekilas aku melihat ada yang mengganggu pengelihatanku. Aku membatalkan niatku untuk masuk ke rumah dan berjongkok di dekat tangga.

 Seketika itu juga aku membeku. Darahku seakan-akan berhenti mengalir. Aku mual dan pusing. Ingin berteriak, tapi suaraku seperti tertahan. Tercekat di tenggorokan. Aku bisa mendengar suara langkah Orlando yang berlari menghampiriku. Orlando mendekatiku, “ada apa?” ucapnya khawatir. Aku bergeming, lalu tidak sadar menangis. Orlando terlihat semakin khawatir, “hey hey, kenapa?” tanyanya bingung. Aku menunjuk. Di sana, tepat di hadapanku. Seorang laki-laki terbujur tidak berdaya di tanah dengan kepala mendongak. Matanya menatapku seakan-akan membenciku. Kulitnya pucat pasi, seakan-akan membiru. Orlando terlonjak kaget lalu memelukku. “Ra- cun e-mas,” rintih laki-laki yang terbujur itu lalu terkulai lagi di tanah. “Dia sudah mati,” ucap Orlando sambil menuntunku masuk ke rumah. Aku bisa merasakan bahwa tubuhku menggigil ketakutan. “Yah, Tuan Robin Tollan sudah mati,” ucap Orlando. Aku tau dia kesulitan berpikir sekarang. 

-----
 To be Continue ^^